Share

EGO
EGO
Penulis: Mae Takata

Prolog

Dimulai dari sini. Saat hal yang sebelumnya baik-baik saja berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan rumit. Problematika hidup tak kunjung surut. Terlalu banyak takdir yang membuat sesak. Takdir yang tidak bisa diubah sesuka hati. Tidak bisa disamakan dengan buku resep makanan yang dapat diaplikasikan sesuai selera.

Elzora Giandra Oktaviani. Rentetan nama itu dimiliki oleh gadis biasa yang hidupnya tidak ingin lepas dari tantangan. Sejak kecil hidup bersama keluarga yang ulet, pekerja keras, dan ambisius. Bahkan, sering lupa dengan intensitas hidup sesungguhnya. Menurunlah darah itu kepada Elzora. Gadis berkepala batu tapi hati selembut salju.

Lahir dalam kondisi belum diinginkan memang menyebalkan. Wanita yang ia sebut Mama merupakan seorang wanita karir. Membuat keputusan sejak awal menikah untuk menunda hamil. Sementara semesta berkata lain. Lahirlah Elzora sebelum orang tua mengharapkan kehadirannya. Bahkan, nama yang ia milikipun pemberian sanak saudara. Nama Elzora pemberian dari tante yang telah menetap di Eropa. Giandra, adalah nama pemberian mendiang kakek yang mengira putrinya akan melahirkan anak laki-laki. Sementara Oktaviani, nama pemberian Ayahnya. Bukan karena lahir bulan Oktober, tapi karena itu nama yang sama dengan mantan pacar yang tak terlupakan. Tentu semua itu rahasia yang dipendam sendiri, tanpa diketahui sang istri.

Begitulah saking acuhnya. Meski sekedar perihal nama, seharusnya orang tua berperan penting. Menunda punya anak memang sebuah pilihan. Namun, bagaimanapun keadaannya itu bukan alasan. Orang tua tak berhak menelantarkan anaknya. Membesarkan anak agar tumbuh dengan baik tidak cukup dengan materi, tapi juga butuh hati. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi kebanyakan orang. Justru menjadi tempat paling mengerikan. Semua perlahan damai sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD, itu karena lebih sering diasuh tante. Diperlakukannya dengan sangat baik, selayaknya anak sendiri. Hal itu karena tante sangat mengidamkan buah hati. Sepuluh tahun menikah, tapi tak kunjung dikaruniai anak. Sebab Tuhan masih menguji kesabarannya dan seakan bersabda belum saatnya.

Waktu kelulusan tiba. Tradisi corat-coret sana-sini ada dimana-mana. Merayakan pelepasan masa putih abu-abu. Perempuan yang acap kali dijuluki perempuan setengah jantan itu girang bukan kepalang. Ditambah lagi mendapat kabar diterima oleh kampus impiannya di Jakarta. Keinginan Dimulai dari sini, saat hal yang sebelumnya baik-baik saja berubah menjadi pertanyaan-pertanyaan rumit. Problematika hidup tak kunjung surut. Terlalu banyak takdir yang membuat sesak. Takdir yang tidak bisa diubah sesuka hati. Tidak bisa disamakan dengan buku resep makanan yang dapat diaplikasikan sesuai selera. Elzora Giandra Oktaviani. Rentetan nama itu dimiliki oleh gadis biasa yang hidupnya tidak ingin lepas dari tantangan. Sejak kecil hidup bersama keluarga yang ulet, pekerja keras, dan ambisius. Bahkan, sering lupa dengan intensitas hidup sesungguhnya. Menurunlah darah itu kepada Elzora. Gadis berkepala batu tapi hati selembut salju.

Lahir dalam kondisi belum diinginkan memang menyebalkan. Wanita yang ia sebut Mama merupakan seorang wanita karir. Membuat keputusan sejak awal menikah untuk menunda hamil. Sementara semesta berkata lain. Lahirlah Elzora sebelum orang tua mengharapkan kehadirannya. Bahkan, nama yang ia milikipun pemberian sanak saudara. Nama Elzora pemberian dari tante yang telah menetap di Eropa. Giandra, adalah nama pemberian mendiang kakek yang mengira putrinya akan melahirkan anak laki-laki. Sementara Oktaviani, nama pemberian Ayahnya. Bukan karena lahir bulan Oktober, tapi karena itu nama yang sama dengan mantan pacar yang tak terlupakan. Tentu semua itu rahasia yang dipendam sendiri, tanpa diketahui sang istri.

Begitulah saking acuhnya. Meski sekedar perihal nama, seharusnya orang tua berperan penting. Menunda punya anak memang sebuah pilihan. Namun, bagaimanapun keadaannya itu bukan alasan. Orang tua tak berhak menelantarkan anaknya. Membesarkan anak agar tumbuh dengan baik tidak cukup dengan materi, tapi juga butuh hati. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi kebanyakan orang. Justru menjadi tempat paling mengerikan. Semua perlahan damai sejak ia duduk di bangku kelas 4 SD, itu karena lebih sering diasuh tante. Diperlakukannya dengan sangat baik, selayaknya anak sendiri. Hal itu karena tante sangat mengidamkan buah hati. Sepuluh tahun menikah, tapi tak kunjung dikaruniai anak. Sebab Tuhan masih menguji kesabarannya dan seakan bersabda belum saatnya.

Waktu kelulusan tiba. Tradisi corat-coret sana-sini ada dimana-mana. Merayakan pelepasan masa putih abu-abu. Perempuan yang acap kali dijuluki perempuan setengah jantan itu girang bukan kepalang. Ditambah lagi mendapat kabar diterima oleh kampus impiannya di Jakarta. Keinginan menjadi kura-kura yang keluar dari tempurung, tercapai. Terbang bebas selayaknya burung merpati yang tak nyaman berada dikandang sendiripun, terkabulkan. Dedaunan ikut berguguran seakan berubah musim, mengikuti suasana hatinya. Dengan penuh semangat, terbanglah ia menuju ibu kota. Mengadu nasib untuk menimba ilmu. Sekaligus menenangkan diri dari masalah keluarga. Meninggalkan tempat dimana setiap manusia didalamnya hanya sibuk mengejar duniawi. Tak peduli sisi kanan, kiri, atas, bawah, depan, dan belakang.

Ialah perempuan yang tidak pernah memiliki panjang rambut lebih dari sebahu. Senyum semanis madu, sebab lesung pipi bersama deretan gigi kelinci yang putih. Pemilik bola mata dan bibir yang indah. Berkulit putih, perlahan berubah kuning langsat khas perempuan Indonesia. Itu karena terlalu sering bermandi terik matahari. Dibalik pesona alami yang diberikan Tuhan itulah, meski berperangai cuek, keras kepala dan dingin. Elzora tetap menjadi primadona kampus. Dengan gaya seadanya, gadis tomboi yang sebetulnya sangat memesona jika dipoles make up. Tidak sedikit pula kaum hawa menjadikannya bahan pembicaraan yang tidak mengenakkan. Penyebabnya karena perasaan iri dengki. Takut tersaingi oleh kecantikan Elzora yang alami. Tanpa polesan dempul warna-warni, seperti yang mereka pakai untuk sekedar mempercantik diri. Hujatan demi hujatan tak terelakkan. Namun, Elzora mengatasinya dengan sikap bodo amat. Dalam berpenampilan yang terpenting adalah kenyamanan. Kesederhanaan itulah yang membuat beberapa laki-laki menyukainya. Ialah definisi cantik alami. Cantik sejak lahir memang keberuntungan, tapi bisa jadi masalah jika pemilik kecantikan itu menyalahgunakanya.

Jika ditanya soal cinta? Elzora bukan perempuan beruntung. Beberapa kali telah menjatuhkan hatinya tapi, bukan bahagia justru kecewa yang diterima. Untungnya, masih ada si konyol anak Jakarta yang selalu sabar menemaninya. Mampu menghibur Elzora yang tengah dirundung kegalauan. Ardan, sahabat sejak awal masuk dunia perkuliahan hingga bergelut dalam organisasi yang sama.

Kisah cinta itu rumit, pasti berujung sakit. Sempat menerima laki-laki mantan anggota geng motor bahkan terkenal play boy. Sebab

terlalu fanatik dengan tantangan, Elzora menerima laki-laki itu. Jadi pacar dari sebuah rasa keingintahuan bukan rasa sayang. Namanya Andrean, sosok laki-laki yang yang diharap dapat berubah menjadi lebih baik dan berhenti mempermainkan hati perempuan. Saat batu dalam hati mulai terkikis. Kepura-puraan berubah menjadi kesungguhan. Pada akhir bulan pertama hubungan mereka berjalan, Andrean membuat ulah. Lagi-lagi menjadikan hati gadis itu bahan permainan. Tanpa ampun! Babak belurlah ia dengan tangan Elzora sendiri. Pada ujungnya tetap sama. Ialah penyebab adanya awal dan akhir. Si hidung belang tampaknya sudah permanen. Sebelum diujung peristiwa terciduknya Andrean bersama Gisel, sebenarnya Elzora pernah menuai benih cinta. Semua itu tinggal kata pernah, tidak mungkin terulang. Sekali tali kepercayaan diputuskan, maka tidak akan bisa disambung kembali. Sudah terlanjur putus dan patah sepatah-patahnya. Ia bersumpah tidak akan mencintai sosok laki-laki yang berperangai serupa Andrean.

"Yang harus diselesaikan dalam hidup adalah pertanyaan rumit tentang: Hidup ditambah tantangan dikali dengan seni maka akan sangat indah dan menyenangkan. Namun, setelah dibagi dengan cinta semua berubah menjadi dilema".

Menghabiskan waktu di perjalanan untuk melihat dunia baru. Menjadi solusi memediasi diri. Menjelajah daerah baru dan bertemu tokoh baru di muka bumi. Menjadikannya lawan berdialog di atas panggung kehidupan. Manusia sekedar aktor, sementara Tuhan adalah sutradara sekaligus penulis skenario hidup. Tugas aktor cukup mengikuti alur sembari mengusahakannya agar pantas disaksikan oleh semesta.

Sumber bahagia bisa dicari dimana saja. Gunung, sawah, ladang, pantai, bukit, lembah, gua, air terjun, atau bahkan padang pasir. Setiap langkah ada cerita yang harus diselesaikan agar pulang dengan tenang. Persis seperti hidup dalam dunia fana. Tubuhnya akan semakin jauh berkelana. Sementara jemari akan terus menulis takdir yang dialami. Semua itu akan terus dilakoni seraya problematika hidup masih mengikuti rotasi bumi. Dari waktu ke waktu bisa berkurang maupun bertambah. Tidak ada yang bisa menebak, kecuali takdir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status