Esme memanfaatkan siang yang tenang itu untuk menyelinap. Dia sudah menghapal kebiasaan para pengawal di rumahnya. Saat siang seperti ini, mereka biasanya bersiaga di bagian depan dan samping rumah. Bagian belakang yang berupa taman sering dilupakan.
Dengan berbekal ranselnya, Esme mengendap menuju lantai bawah dan menuju taman belakang. Ibunya pastilah sedang menonton serial drama di televisi bersama dengan sepupunya. Sedangkan Enrique, kakak lelakinya, sudah dua tahun lalu memutuskan hengkang dari rumah itu.
'Good bye, Mom,' ucap Esme dalam hatinya saat melewati kamar ibunya dan mendengar suara serial drama dari televisi sang ibu.
Esme bergegas turun ke lantai bawah, menghindari pertemuan dengan para pelayan yang sedang bekerja di dapur. Gadis itu mengitari taman belakangnya dan memanjat tembok tinggi di sudut sana. Salah satu pengawal ayahnya baru saja melewati bagian luar sana saat dia berhasil memanjat tembok itu dan turun di bagian luarnya.
Bergegas Esme berlari melewati jalanan di sana, memutari kompleks menuju tempat lain, dan tiba di ujung jalan yang lain. Di sana, taxi pesanannya sudah menunggu. Dengan jantung masih berdegup kencang dan napas memburu, Esme melesak masuk ke dalam taxi.
Ini sangat gila! Dia berseru tegang. Tapi, dia pun tersenyum senang. Dia berhasil! Yeay! Dan tak ada yang membuntutinya.
Dengan segera, dia berseru pada driver taxi-nya, "Airport!"
***
Dua jam lalu, Catherine berpamitan kepada ibunya untuk kuliah, tapi yang terjadi kini, dia malah duduk di salah satu pesawat yang akan terbang menuju Hawaii.
Senyumnya terkembang penuh antusiasme. Di benaknya terbayang hidup bebas yang sebentar lagi akan dia reguk. Hidup tanpa aturan yang mengekang dari ayahnya maupun ibunya. Hidup penuh hura-hura, bersenang-senang setiap saat. Hidup liaaar!
Oh, Hawaii ... I'm comiiiing ...!!
***
Siang esok harinya, Esme sudah tiba lebih dulu di Honolulu International Airport, setelah melalui penerbangan yang panjang. Gadis ini masih tak menyangka bahwa dia akhirnya benar-benar bisa pergi dari rumah ayahnya itu. Rasanya masih sulit untuk dipercaya. Dicubitnya kulit pahanya, terasa sakit. Oh, ini sungguhan, bukanlah mimpi belaka!
Direguknya oksigen dalam-dalam hingga dadanya terkembang penuh. Kemudian, dilepasnya perlahan. Inilah hidupnya sekarang. Tanpa orang tuanya, tanpa rumah yang penuh dengan pengawal, tanpa aturan-aturan yang mengekangnya. Benar-benar hidup sesuai impiannya.
Dengan merangkul ranselnya erat-erat, Esme duduk di ruang tunggu. Hingga lebih dari satu jam kemudian, ponsel barunya bergetar dan Catherine yang meneleponnya.
"Aku di ruang pengambilan bagasi," jawab Esme.
Catherine segera mengiyakan dan tidak sampai sepuluh menit kemudian, suara wanita itu membahana di ruang pengambilan bagasi, memanggil nama Esme.
Gadis berambut panjang berwarna coklat muda itu menoleh dan mendapati si pirang Catherine berlarian di atas heels 10 senti-nya menghambur ke arah Esme.
Mereka berdua berpelukan sambil melompat-lompat kecil kesenangan.
"Is it real? We did it?" tanya Esme saat memandangi wajah nakal Catherine di depannya.
"Yeah, Bitch! We did it! Welcome to free lifeee ... , yeah!! Hahaha." Catherine menjawab Esme dengan antusiasme meledak-ledak. Mereka kembali melompat-lompat merayakan keberhasilan mereka kabur dari rumah.
"Ayo! Kita belanja pakaian, baru setelahnya kita ke apartemen."
"Kenapa tidak mencari apartemen dulu?" tanya Esme.
"Ah, tidak perlu. Aku sudah tau apartemen mana yang akan kita sewa. Jadi, lebih baik kita shopping dulu, secara kita tidak bisa membawa banyak baju, bukan?" Catherine mengatakannya dengan terkikik senang. Anting emas besar dan bulat yang tergantung di telinganya berkilauan terkena cahaya matahari.
Segera mereka menyetop taxi dan melesak masuk. Dari dalam, mereka meminta driver mengantar mereka ke mall.
***
Darren Javier turun dari pesawat. Dia menggeret kopernya menuju pintu keluar Honolulu International Airport.
Hatinya masih merasa kecut karena atasannya memberikannya selembar tiket berlibur di Hawaii.
Bukan istirahat yang dia mau. Apalagi berlibur dengan berjemur di pantai, menyaksikan wanita-wanita cantik nan seksi dalam balutan bikini yang minim. Selama tiga bulan pula! Terlalu lama! Dia bisa mati bosan berlibur selama tiga bulan.
Tapi, dia juga tidak bisa melawan perintah atasan. Kesalahannya memang fatal. Dia terlalu emosional, padahal selama ini, emosi merupakan hal yang jarang terkait dengan dirinya.
Tapi segala sesuatu yang berhubungan dengan rekan sekaligus sahabatnya, James Carter, selalu membuatnya emosional. Dan Don Signoraz, the Evil Capo, buronan nomor satu seantero Amerika, memang sangat piawai mencabik hatinya demi memancing emosinya meledak tak terkontrol.
Terakhir kali dia berurusan dengan Don Signoraz, Darren hampir saja tewas. Tapi saat itu James Carter menolongnya. Sahabatnya itulah yang tewas menggantikannya.
Sejak saat itu, memburu Don Signoraz adalah obsesi terbesarnya. Dia hampir selalu pulang hingga larut malam hanya untuk tidur, karena menghabiskan waktu after work-nya untuk diam-diam menyelidiki pergerakan Don dan antek-anteknya. Dia sudah melupakan apa yang disebut 'berkencan' dalam daftar hidupnya. Jangankan berkencan, istirahat saja dia lakukan seminimal mungkin. Seluruh waktunya dia curahkan untuk mengejar Don Signoraz.
Darren memijit pelipisnya menepis bayangan kelam tentang James. Kemudian dia memanggil taxi dan memintanya mengantar ke sebuah apartemen kelas menengah ke atas.
Dia masuk dan menuju resepsionis. Di sana, berdiri dua gadis muda dengan paper bag belanjaan yang sangat banyak. Belasan Paper bag itu berserakan di lantai sekitar mereka. Darren sampai menyingkir di samping meja resepsionis untuk bisa berdiri mengantri gilirannya.
Dia memperhatikan lagi kedua gadis itu. Penampilan mereka terlihat seperti dua gadis muda yang berlibur. Mereka terlihat bersemangat dan tak sabar menjalani liburan mereka di Hawaii. Sangat bertolak belakang dengannya.
Hanya saja, ada yang aneh pada kedua gadis itu. Mereka tidak membawa koper, hanya ada ransel di punggung mereka. Dan paper bag ... sebanyak ini?
Salah satu dari kedua gadis itu, yang berambut pendek pirang, dengan anting bulat yang besar menggantung di telinganya, baru saja mengisi pendaftaran mereka. Petugas resepsionis memberikan selembar kuitansi pada gadis itu.
"Tujuh ribu dolar untuk satu tahun," kata sang resepsionis pada gadis pirang itu.
Si pirang menoleh pada gadis di belakangnya, yang berambut panjang berwarna coklat muda. Rautnya tersenyum meminta si rambut coklat membayar sewa mereka.
Darren terus memperhatikan dalam diamnya. Gadis berambut coklat itu segera membuka tas pinggang yang berada di bagian depan perutnya. Dari tempatnya berdiri, Darren bisa melihat ratusan lembar uang 100 dolar di dalam tas itu. Dengan entengnya, si gadis berambut coklat mengeluarkan segepok, kemudian menghitung hingga mencapai 7.000 dolar, baru kemudian memberikannya pada temannya, si pirang.
Si pirang membayar. Darren terus mengamati meskipun dia sudah tahu, kedua gadis itu sangatlah naif. Menyimpan uang sebanyak itu di tas pinggang mereka hanya menunjukkan kebodohan, dan memancing terjadinya tindak kejahatan. Apalagi dengan terang-terangan menghitung lembar demi lembar uang itu di depan orang lain.
Meski begitu, Darren masih bergeming di tempatnya sembari terus mengamati. Dari tempatnya berdiri, dapat Darren lihat sepasang sejoli baru saja keluar dari lift dan melewati mereka saat teman si pirang tadi membuka tasnya untuk membayar uang sewa apartemen mereka.
Dari kedua sejoli itu, yang perempuan jelas melihat ke arah tas pinggang dari temannya si pirang. Segera saja kedua matanya membelalak lebar dan wanita itu berbisik pada kekasihnya seraya mereka melangkah ke arah pintu.
Dan benar saja tebakan Darren, tak sampai lima detik kemudian, sepasang sejoli tadi berbalik arah dan kembali masuk ke dalam gedung apartemen. Tapi, mereka berjalan pelan kali ini dan menaiki tangga.
Sementara itu, si pirang dan si rambut coklat sudah mendapatkan kunci dan access card mereka. Mereka pun melangkah menuju lift tanpa menyadari dua pasang mata dari dua sejoli tadi, yang sekarang menuju tangga, terus mengawasi mereka.
"Bagaimana menurutmu?" Catherine menoleh pada Esme saat pintu lift telah menutup, dan hanya mereka berdua yang masuk.Dari nomor unit yang didapat Catherine tadi, unit mereka di lantai 17. Lift melaju naik ke lantai 17."Bagus. Ini pas untuk kita. Cukup mewah, tapi tetap pas di kantong," jawab Esme apa adanya.Catherine terkikik mendengarnya. "Tenang saja! Jika uang kita habis, kita tinggal menelepon Jullio atau Enrique, dan merayu mereka untuk mengirimkan kita uang.""Tapi itu kan bisa membocorkan di mana keberadaan kita?""Pintar sedikit dong. Kita bisa pergi ke kota lain dulu barulah menelepon dari sana."Esme mengangguk-angguk mendengarnya. Tiba-tiba lift berbunyi dan berhenti di lantai 3. Saat pintu terbuka, sepasang insan yang sempat dilihat Catherine di lobby tadi yang masuk.Catherine mundur sampai ke dinding belakang lift, seraya menarik Esme mengikutinya. Entah mengapa dia merasa t
Margarita Bandares mengelap sudut matanya yang basah karena adegan drama yang baru saja ditontonnya. Drama keluarga yang tentram, yang menceritakan kehidupan keseharian yang solid, perjuangan melewati hari demi hari dalam keluarga sederhana adalah jenis drama yang paling dia sukai.Adegan yang simpel, yang mengungkapkan betapa hangat tokoh pria memperlakukan istrinya, meski hanya dengan sesuatu hal yang kecil, akan mampu meloloskan air matanya. Inilah yang baru saja terjadi. Wanita 51 tahun itu begitu terenyuh oleh kehangatan cinta tokoh pria di dalamnya.Wanita berambut coklat pendek, dengan ujung-ujungnya yang mengikal itu bangkit dari sofa empuknya, yang senantiasa menemaninya menonton serial drama setiap siang. Perasaan yang begitu terikat pada adegan di serial dramanya membuat Margarita menginginkan perbincangan dengan gadis kecilnya yang manis.Dia pun melangkahkan kaki menuju kamar Esme. Diketuknya perlahan sambil menan
Pagi hari di Honolulu terasa berbeda. Cuaca yang terasa hangat membuat semangat pagi menjadi lebih membara. Belum lagi aroma pantai yang begitu menggoda, membuat Esme bersemangat menjelajahi kota utama Hawaii itu.Esme sudah siap dengan pakaian joggingnya. Dia sedang mengucir rambut panjangnya menjadi ikatan ekor kuda.Diliriknya jam di dinding. Sudah pukul 05.03, tapi langit di luar sudah cukup terang.Esme menuju pintu dan membukanya. Tepat bersamaan dengannya, di depan pintu unit seberangnya, pria yang menolongnya kemarin juga keluar dari sana.Mereka sempat berpandang-pandangan beberapa saat lamanya, meskipun keduanya sembari menutup pintu.Esme memberikan pria itu senyuman manis yang berbinar-binar."Hai," sapanya dengan rona malu-malu di wajahnya.Pria di hadapannya hanya tersenyum sedikit sembari mengangguk kecil."Silakan." Tangan pria itu terulur mempersilakannya untuk lewat terlebih dahulu. Secercah ra
Dokter menyerahkan resep kepada Darren yang duduk di kursi depan meja kerja sang dokter. Sedangkan Esme dipapah suster menuruni examination table dengan hati-hati menuju kursi di sebelah Darren. Wajah pria itu tetap datar dan tak berubah sedari tadi."Ini resep untuk pain killer dan salep olesnya. Untuk pain killer bisa diminum tiga kali sehari. Jika sudah tidak sakit, bisa distop. Untuk salep boleh dioles sesering yang diinginkan."Selesai menjelaskan, sang dokter tersenyum pada Darren, kemudian menatap Esme yang meringis menahan sakit."Kalau kekasihnya belai penuh rasa sayang, pasti akan cepat sembuh," celetuk dokter yang terlihat berusia pertengahan lima puluh tahun itu, dengan tersenyum penuh arti kepada Esme.Gadis itu merona mendengar ucapan salah paham sang dokter. Diliriknya Darren yang ternyata malah mengangguk kecil. "Terima kasih, Dokter.""Maaf, dokter tadi jadi salah paham mengir
Ada 4 pria dan 2 wanita yang diakui Catherine sebagai teman-temannya. Ke empat pria itu berpakaian kaos kasual dengan celana panjang jeans yang sobek di lutut, di paha, ataupun di betis. Dua di antara mereka memakai topi terbalik. Dua lagi yang tidak memakai topi memiliki rambut yang warnanya di cat hijau dan abu-abu, atau biru bercampur merah.Esme melirik tato di lengan pemuda-pemuda itu. Mereka memasang tato bergambang sama di lengan kanan mereka. Tato bergambar elang yang sedang berdiam di daratan.Selain tato, hal lain yang membuat Esme merasa tidak nyaman adalah motor gede yang mereka bawa. Dia akan ikut naik motor? Yang benar saja! Esme belum pernah naik motor! Perasaannya berkecamuk antara takut tapi juga antusias. Sepertinya naik motor akan terasa seru. Tapi, berada dekat pemuda-pemuda itu membuatnya terintimidasi. Mereka terlihat seperti pemberontak jalanan."Hai semua! Ini adikku, Leah. Dan Leah, ini Hale, Akoni, Ek
Dalam sepuluh menit berikutnya, mereka tiba di sebuah night club terbesar di Honolulu. Setidaknya begitu yang dikatakan Hale. Setelah memarkir, mereka semuanya turun dari motor, termasuk Esme.Jika mau jujur, rasa antusiasme Esme sudah meletup-letup di dalam dadanya karena akhirnya dia bisa datang ke kelab malam bersama pemuda sebayanya. Rasa tidak nyamannya terhadap Brandon seketika dia lenyapkan dari benaknya.Dengan berpasang-pasangan, mereka memasuki night club itu. Musik berdentum-dentum menyambut kedatangan mereka. Dan karena malam ini malam spesial yang digelar oleh night club itu, semua pengunjung diharuskan membayar biaya masuk.Hale dan Catherine menuju kasir dan dapat Esme lihat bahwa Catherine-lah yang mengeluarkan sejumlah uang dan membayar biaya masuk mereka semua."Mau minum apa?" tanya Hale pada Catherine, juga yang lainnya saat mereka sudah mendapatkan tempat di sofa melingkar.
Esme mengeluarkan tenaga terakhirnya untuk meronta dengan sia-sia, sampai di satu titik dia tahu usahanya takkan mungkin menghalau kebejatan Brandon. Esme menangis karena merasa kalah. Dan di sisa-sisa tenaganya itu, dia hanya sanggup berharap alam berpihak padanya dan membantunya menghentikan Brandon.Dan sedetik kemudian, Esme benar terbebas dari cengkeraman Brandon. Secepat itu harapannya didengar Tuhan? Terima kasih Tuhan, batinnya penuh syukur.Bugh!!"Hei, apa-apaan! Siapa kau!"Suara pukulan di tengah bising musik, diikuti erangan sakit dari Brandon, mulai sampai di telinga Esme. Tatapannya kini terarah pada Brandon yang ternyata sedang diserang oleh seseorang.Seorang pria sudah menyelamatkannya dari terkaman nafsu Brandon. Pria itu memukuli Brandon bertubi-tubi hingga Brandon tergeletak di lantai dan tak sanggup melawan lagi.Beberapa saat berlalu dan akhirnya pria itu mulai berhenti dan menegakkan dirinya. Saat itulah Esme baru mel
"Berhati-hatilah dengan pemuda tadi. Sekali dia sudah kurang ajar padamu, berikut-berikutnya dia masih mungkin bersikap seperti itu."Entah kenapa, nasihat Darren yang biasa saja terdengar begitu manis bagi Esme. Seolah pria itu begitu mengkhawatirkannya.Tak ayal, Esme memberikan senyum manisnya yang malu-malu. Jarinya spontan menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Terlihat bibir Darren seakan siap mengucapkan perpisahan mereka untuk malam itu. Namun, dering ponsel Esme telah lebih dulu mengisi keheningan mereka yang canggung.Esme mengambil ponselnya dengan Darren yang masih di hadapannya."Ya, halo?""Little Girl, are you okay?" seru Catherine di ujung telepon. Suaranya terdengar sangat panik."Ya. Aku baik-baik saja. Dan aku sudah pulang.""Huft, syukurlah. Aku panik sekali tadi. Dengan siapa kau pulang?" tanya Catherine lagi."Dengan Darren," jawab Esme. Dia sebenarnya masih ingin menjelaskan banyak hal tenta