Aku terlahir sempurna. Cantik dan lumayan pintar. Namun bukan berarti tanpa kekurangan. Baik buruk kita di masa lalu tetaplah masa lalu yang hanya bisa dikenang sebagai evaluasi diri agar menjadi manusia yang lebih baik.
Arini, begitu orang memanggilku. Nama indah yang disematkan Abah sembilan belas tahun yang lalu. Aku mempunyai keluarga yang harmonis Teh Anggi yang lembut, polos dan mudah sekali kubohongi. Ambu yang lembut dan Abah yang dingin namun perhatian. Kami hidup bahagia sekali. Tapi itu dulu sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan tinggal di ibu kota yang keras ini.“Selamat pagi, Mey,” seorang perempuan dengan pakaian APD masuk ruanganku, dan 'Mey' nama panggilanku di Jakarta.“Pagi..." balasku.“Saya periksa dulu ya," pinta Dini. Dokter yang merawatku dua pekan ini. Aku mengangguk membiarkannya memeriksa kondisiku saat ini."Mey... Apa enggak sebaiknya kamu hubungi keluargamu?" sarannya setelah melalukan berbagai rangkaian pemeriksaan. Kami sudah lama saling kenal. Tidak kenal dekat hanya kita pernah tinggal satu atap waktu aku masih berstatus sebagai mahasiswa LaSalle Collage International di Jakarta sebelum hidupku benar-benar sesat. Usianya lima tahun lebih tua dariku."Buat apa? Apa kondisiku separah itu?" jawabku ketus."Bukan gitu, keluargamu pasti mengkhawatirkanmu," jawabnya. "Udahlah lakukan saja tugasmu." Aku tak ingin menanggapinya. Jika ditanya rindu atau tidak dengan keluarga, jelas aku rindu. Aku butuh keluargaku. Apa lagi penyakit yang menyerangku saat ini. Benar-benar membuatku takut. Namun, aku tak sanggup untuk menampakkan diri dengan kondisiku, malu.Dini mengembuskan napas kasar. Dua pekan sering bertemu mungkin dia sudah paham dengan keras kepalanya aku. Hebatnya dia masih saja sabar menemaniku meski kadang aku berkata kasar padanya. Aku beruntung bisa bertemu dengannya. Entah apa yang akan terjadi padaku jika aku tak bertemu dengannya saat titik nol-ku."Ya sudah terserah kamu. Aku pergi dulu. Hasilnya mungkin akan keluar besok." Dini keluar ruangan setelah selesai memeriksaku. Aku kembali sendiri melawan penyakit yang bisa kapan saja merenggut nyawaku. Dalam hening, aku teringat kembali dengan saran Dini untuk menghubungi keluargaku. Ada rasa sesak yang menghujam dada. Masih pantaskah aku menerima maaf dari mereka. Kuambil ponsel diatas nakas, membuka galeri menatap foto keluarga yang sudah lama kutinggalkan. Tanpa sadar butiran bening menerobos dengan lancangnya membasahi pipi polosku. Wajah cantik yang sering dipuji ribuan orang di setiap postingan feed instagramku kini tak lagi berisi. Tubuh seksi tinggi semampai kini sudah kurus kering. Aku hampir putus asa. Namun mengingat apa yang sudah kulakukan di masa lalu, membuatku sekali lagi bersyukur. Ini pesan cinta dari Yang Maha Kuasa, bentuk kasih sayang-Nya. Hingga tak membiarkanku tersesat semakin jauh lagi.Aku mengambil smartphone yang aku simpan di dalam laci. Smartphone yang kumiliki yang dibelikan Teh Anggi sebelum aku meninggalkan Bandung.Melihat isi galeri di mana foto keluargaku tersimpan membuat dadaku semakin sesak. Aku benar-benar takut tak sempat mengucapkan maaf sebelum meninggalkan dunia ini. Keluar dari galeri ponsel. Aku membuka I*******m. Ingin rasanya menyapa teman-temanku di sana. Tak ada yang istimewa di sana. Hanya orang-orang yang numpang eksis memamerkan kebahagiaan mereka. Melihat tingkah mereka mengingatkanku pada diriku yang dulu. Dengan sombongnya menikmati titipan Tuhan.
“Lihatlah sekarang Mey, kemana orang-orang yang memujamu?” lirihku.Pencarianku berhenti kala menangkap satu postingan dari akun pemberitaan daring dengan tagline pasien terkapar covid yang kian bertambah. Tenaga media yang makin memprihatinkan.Gelombang negatif mulai membekap pikiranku, mengirimkan pesan-pesan kecemasan dan melemahkan syaraf di sekujur tubuhku. Tanganku gemetar hingga ponsel jatuh di sampingku. Aku termasuk salah satu pasien yang terpapar covid-19. Aku kira cuma demam biasa. Namun, akhirnya aku harus tinggal juga di rumah sakit untuk menjalani perawatan. Dadaku terasa sesak. Padahal hanya ingin menghirup udara yang gratis. Nikmat dari Allah yang kerap kali aku abaikan.***
Gelap berganti terang. Hari yang biasa kulalui dengan duduk-duduk manis di kafe-kafe ternama kini aku habiskan dengan terbaring lemah di atas tempat tidur. Seperti biasa, sarapan pagi, obat dengan aturan pakainya serta vitamin sudah bertenger di atas meja. Sebenarnya aku sudah jenuh, namun aku juga tak ingin mati sia-sia."Sudah bangun?" Dini masuk ke ruang rawatku masih dengan APDnya."Sudah," jawabku. "Kenapa masih saja di sini? Nggak pulang?"Dini tersenyum, seolah tak ada beban dalam hidupnya. Padahal jelas-jelas bahaya ada di sekitarnya. "Aku enggak pulang. Banyak yang membutuhkanku di sini. Lagian kasian keluargaku kalau aku pulang. Bisa saja aku menularkan virus pada mereka."Aku ikut tersenyum. Dina masih saja seperti dulu. Jiwa sosialnya tinggi. Dan selalu mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan dirinya sendiri. Aku makin bangga padanya. Andai saja dulu aku memilih berteman dengannya."Sudah diminum obatnya?" tanya Dini.Aku menunjuk ke arah nakas, "Bentar lagi.""Mey, aku - " kata Dini yang membuatku penasaran."Kenapa?" tanyaku."Kamu pasti sembuh dan kamu harus sembuh." Mendengar jawabannya aku ragu, bukan itu yang akan ia katakan tadi. Dini bukan orang yang pandai berbohong. "Udah terus terang aja. Apa kondisiku mulai parah?"Aku mencoba menguatkan hatiku. Walau sebenarnya aku takut. Ada hal yang harus kutebus sebelum hal itu datang."Bukan begitu. Ini tentang Angel, teman kamu.""Kenapa?" tanyaku."Dia sudah tiada." Satu lagi kejutan yang kudapatkan. Satu orang yang kusayangi pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku tatap mata Dini, berharap semua yang dikatakan itu tidak benar. Namun, sekali lagi tidak ada kebohongan di matanya.Angel, teman baikku. Gadis yang selalu ada disampingku, bahkan saat dunia meninggalkanku. Saat keluargaku tak ada untukku. Dari Angel, aku bisa mengenal hidup lebih luas lagi. Bukan hanya sekedar halaman rumah dan teras masjid. Abah selalu membatasi semua gerakku. Menuntutku untuk menjadi gadis penurut berhijab menutup dada seperti Teh Anggi yang selalu Abah banggakan."Hidup itu sekali, buat happy aja kenapa." Seorang gadis berambut coklat datang menghampiriku. Penampilannya sangat jauh dariku yang terkesan kampungan. Aku hampir tercengang dibuat olehnya. Kulitnya yang putih mulus dan semua yang menempel ditubuhnya bukan barang grosiran yang biasa aku dan teman-temanku dapatkan dipasar tradisional. Maklum, hidup sederhana diterapkan oleh Abah sejakku kecil."Eh - mbak," sapaku."Anak baru?" tanyanya padaku. Saat itu adalah hari kedua aku di kota orang, dan jauh dari keluarga."Iya, mbak.""Angel.” Ia mengulurkan tangannya padaku. Melihatku yang masih terpukau menatapnya membuatnya mengulangi kata-katnya lagi. “Angel aja. Panggil aku Angel, kamarku sebelah sana." Ia menunjuk salah satu pintu yang tak jauh dari kamarku.Aku mengangguk. "Salam kenal, Angel."Gadis itu mengangguk. Lalu, ia melenggang meninggalkanku menikmati senja pertama di ibu kota."Mey..." Dini menepuk bahuku. Menyadarkanku dari lamunan kala pertemuan pertamaku dengan Angel. "Kamu yang kuat ya, Mey. Kita doa bersama untuk Angel."Aku mengangguk. Kupejamkan mata sambil merapalkan doa sebisaku. Setelah berdoa, aku menoleh ke arah Dini. "Apa Tuhan akan menerima taubatku?" Lirihku."Tuhan itu Maha Pengampun, Mey. Mohonlah ampun pada-Nya dengan sungguh-sungguh." Dini mengusap tanganku pelan. Menepis gelombang negatif yang mengombang-ambingkan hatiku. Aku bersyukur masih bisa mengenal Dini."Izinkan aku bersimpuh di bawah telapak kaki Ambu," pintaku.Aku masih bergeming. Menatap foto keluarga yang tersimpan di galeri ponsel. "Buat apa sih Teh foto bersama?" Protesku. Hari itu Teh Anggi memaksaku pergi ke studio foto. Untuk foto keluarga katanya. Padahal menurutku foto pakai kamera ponsel dengan kecanggihannya saat ini, itu sudah cukup."Neng, kamu bakal kangen kita nanti." Aku ingat betul kata-katanya. Dan sekarang- aku benar-benar rindu akan kebersamaan itu. Aku tersenyum, mengingatnya menjadikanku teringat kembali perjuanganku untuk memperoleh kebebasan. Kebebasan yang kukira baik, namun justru menyesatkan."Ayolah, Teh... bantuin Neng," rengekku pada Teh Anggi, saudara perempuanku satu-satunya. Anak kebanggaan abah dan ambu. Teh Anggi tak merespon, ia masih saja fokus dengan tumpukan berkas dan laptop di depannya. Kesal - aku menggoyang-goyang tangan Teh Anggi. Dia mulai terganggu. "Teteh sibuk, Neng ..." protesnya. Namun, aku enggak peduli. Teh Anggi harapanku satu-satunya untuk dapat meyakinkan abah dan ambu.
Aku menatap gedung mencakar langit di hadapanku penuh haru. Syukur, masih ada kesempatan bagiku untuk menikmati keMaha baikan-Nya. Dua bulan tinggal di sini, sudah cukup membuatku tersiksa. Gedung megah namun mencekam. Tak ada tawa bahagia di dalamnya.Aku menengadahkan kepala, kupejamkan mata sembari menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya berulang-ulang. Meski udara panas dan sudah bercampur dengan polusi, namun ini lebih melegakan dari pada harus di dalam gedung itu. Setelah aku cukup puas, aku membalikkan badan, beranjak menjauh dari tempat itu. Langkahku terhenti kala seseorang memanggil namaku.“Kak Dini...” sapaku melihat gadis berkerudung merah muda berlari dari dalam gedung mendekatiku. “Ada apa?”Senyum mengembang dibibirnya, menunjukkan dua lekukan di pipi. “Aku antar ya, kebetulan aku istirahat,” tawarnya.“Tidak usah, Kak. Aku naik bus saja nanti,” tolakku. Sudah banyak aku merepotkannya s
Aku memutar-mutar ponsel di genggamanku. Sambil berusaha menerawang kata apa yang pantas untuk kukatakan ketika berbicara dengan Teh Anggi. Dari pesan singkat yang ia titipkan pada bu Luluk, sudah pasti Teh Anggi sudah mengetahui semuanya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa marahnya Teh Anggi. Sembilan belas tahun hidup bersama dengannya, tak pernah ia marah padaku. Selalu saja mengalah dengan sikapku yang suka seenaknya. Namun kesalahanku kali ini beda, bukan hanya menyangkut diriku tapi juga hati abah dan ambu. Membayangkan bagaimana kecewanya mereka saja aku tak mampu. Aku takut hal itu terjadi.Aku mengganti sim card yang sengaja satu bulan ini aku abaikan. Selain untuk menghindar dari abah dan ambu, rasanya sudah tidak ada hubungan penting lagi di nomor itu. Palingan teman-teman kampus yang menanyakan keberadaanku, atau sengaja julid atas gosib tentangku yang beredar di kampus.Setelah sim card terpasang aku instal ke
Aku melempar kaleng minum bekas minumku ke dalam tempat sampah di sudut kamarku. Tempat sampah berbahan plastik itu hampir penuh dengan plastik-plastik bekas snack. Sudah tiga hari kubiarkan menumpuk di sudut ruang. Jika kak Dini melihatnya sudah pasti dia akan mengelus dada. Sebenarnya aku bukan orang sejorok itu. Aku hanya malas saja.Aku masih di tempat tidur dengan selimut yang menggulung di tubuhku. Sambil melihat stand up comedy dari Ytube. Ah, heran aku. Apa coba yang lucu sampai mereka tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Yah, meskipun memang ada sebagian ucapan sarkas mereka yang menggelitik.Ketukan pintu menghentikan aktifitasku. Aku bergegas bangun. Berjalan mendekati pintu kamar kos. “Pagi banget sih, Kak,” rengekku.“Assalamualaikum,” sapanya. Saking tidak bersemangatnya, aku lupa belum mengucapkan salam.“Waalaikum salam,” jawabku.Tak terpikir, kak Dini akan tiba sepagi ini. Dia tak sendi
Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut. Sudah beberapa hari menunggu, namun tak ada satupun jawaban dari teman-teman terdekatku tentang lowongan pekerjaan yang aku cari. Jangankan menjawab ada juga yang hanya me-read pesan dariku. Kuletakkan kembali dompet yang hanya tersisa dua lembaran hijau di dalamnya. “Duh, gimana? mana cukup untuk satu bulan ke depan,” gerutunya dalam hati, padahal hilal pekerjaan pun belum juga tampak. Sedangkan uang kiriman dari kampung, ia hendak menggunakannya untuk mendaftar kuliah bulan agustus nanti.“Sepertinya harus benar-benar berhemat, sebelum punya pekerjaan pasti,” ucapku. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan uang di rekeningnya. Tapi, bimbang, khawatir saat nanti benar-benar butuh tapi uangnya belum ada.Aku membuka almari plastik yang ada di samping meja belajar. Biasanya aku selalu menyimpan makanan-makanan instan atau snack di sana. Untunglah masih ada beberapa bungkus mie instan yang bisa meng
Aku mengusap peluh yang membahasi kening dengan punggung tanganku. Sudah hampir tengah hari, namun belum juga ada satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi hanya dengan ijazah SMA tanpa embel-embel sertifikat ketrampilan.Aku duduk di samping taman, salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan ini adalah perusahaan ke-10 yang aku datangi. Aku meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang keliling saat di halte tadi. Dinginnya air mineral mampu menyiram tenggorokanku yang kering. Sekering harapanku saat ini. Ternyata memang tak mudah hidup jauh dari orang tua.Aku kembali beranjak. Kembali menulusuri trotoar mencoba mencari keberuntungan pada setiap jengkal yang kulalui. Mataku menyapu setiap gedung yang kulalui berharap ada harapan yang bisa kugantungkan di sana. Aku menoleh kearah restoran Jepang di depanku. Dulu tempat ini bisa saja dengan mudah kukunjungi hampir tiap malam. Tapi, sekarang ... Ah, rasanya mustahil. Jangankan untuk duduk sambil makan
Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum lagi lecet di kaki karena terhimpit flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlis
Entah kenapa netraku tak bisa berhenti membidik sosok jangkung di hadapanku. Wajahnya begitu tenang menatap buku ditangannya. Ia terlihat asyik bergumul dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. tak peduli betapa riuhnya jalanan yang ia lalui.Laki-laki itu tiba-tiba menutup bukunya. Membuatku terkejut karena tiba-tiba dia menegakkan kepalanya. Pandangan kami bertemu sesaat. Aku yang gugup buru-buru membuang muka ke arah lain. Bisa memalukan kalau sampai dia menyadarinya.“Rumah sakit kiri, Bang,” seru laki-laki itu.Aku mengembuskan napas kasar. Ada rasa kesal juga lega yang datang bersamaan. Duh, kenapa lagi sih kamu, Mey?“Permisi,” ucapnya ketika melewatiku yang duduk tepat di samping pintu angkot.“Eh, iya,” jawabku gugup.Laki-laki itu turun. Lalu, menyerahkan beberapa lembar uang pada supit angkot. “Mungkin dia kerja di sini,” batinku. Angkot biru muda yang aku tumpangi pun melaju kem