Share

BAB 5 - POV Ratih Indira

Setelah pertemuan dengan Arin di restoran , keesokan harinya  Aku dan Mas Abi mendatangi dokter kandungan yang juga temanku. Dokter Utari yang tidak lain adalah sahabatku.

Aku dan Mas Abi menceritakan semua rencana kami kepada Utari. Bahwa kami akan melakukan bayi tabung dengan menyatukan sel telurku dan sel sperma milik Mas Abi dan menaruhnya di rahim Arin.

Namun hal yang mengejutkan Utari ucapkan kepada kami.

"Oke, saya mengerti maksud kalian. Tapi maaf sekali saya harus menyampaikan hal penting ini." 

Aku dan Mas Abi saling tatap merasa khawatir dengan apa yang akan Utari ucapkan.

"Kenapa Tar? Katakan saja." 

"Maaf Tih, tapi kalian tidak akan bisa untuk melakukan proses bayi tabung, karena sel ovariumu tidak ada yang bisa di selamatkan dari sel kanker." 

Bagai di sambar petir, Ratih begitu terluka mendengar ucapan dokter Utari. Abi mencoba memeluk Ratih agar istrinya bisa merasa tenang.

"Dok, apa tidak ada cara lain agar kami bisa memiliki anak kandung?" Ucap Abi kemudian.

"Ada. Caranya dengan menggauli istri keduamu. Kalian akan bisa memiliki anak." 

Abi merasa begitu terkejut, sudah dari awal Mas Abi tidak akan berniat menyentuh Arin tapi kali ini dirinya harus menyentuhnya.

"Saya tidak bisa melakukan hal itu, Dok." 

Dokter Utari juga seolah terlihat putus asa, sebenarnya Utari sudah tidak sanggup untuk memberitahu kondisiku, Aku tahu dia merasa tidak enak hati kepadaku. Tapi sebagai seorang dokter, Utari harus memenuhi tugasnya.

"Saya minta Maaf kepada Ratih dan Mas Abimanyu, tapi kenyataannya memang seperti itu, tiga pekan lagi Ratih harus kembali ke rumah sakit untuk operasi angkat rahim."

Aku hanya mampu memeluk Mas Abi, kenyataan memang selalu berat untukku.

"Dok, apakah bisa saya melakukan bayi tabung saja dengan istri keduaku? Saya tidak sanggup menyentuhnya." 

Utari menghembuskan nafas perlahan, sebuah kenyataan pahit juga akan dia katakan lagi.

"Maaf Mas Abi, tidak bisa. Mas bilang untuk merahasiakan pernikahan ini, jika kita melakukan proses bayi tabung itu akan diketahui publik. Jadi tidak ada cara lain selain pembuahan secara alami." Jelas Utari.

Setelah kami konsultasi dan menemukan jalan keluarnya, Aku dan Mas Abi mencoba untuk menerima kenyataan. 

Mobil Kami membelah jalanan ibu kota dengan saling diam dengan pikiran masing-masing. Mas Abi mulai memegang tanganku.

"Dek?" 

"Hmm..."

"Tolong, penjelasan dokter Utari jangan kamu pikirkan, mas tetap tidak akan menyentuh Arin." 

"Tidak Mas, sepertinya memang seperti ini yang Tuhan mau. Kamu memperlakukan Arin sama seperti Aku."

"Jangan bicara omong kosong , Dek." 

"Mas, hanya Aku yang tidak sempurna tetapi Kamu bisa memiliki anak. Gauli Arin ketika kalian sudah menikah nanti."

Ciitt... Mobil seketika Mas Abi hentikan di pinggir jalan setelah mendengar ucapanku.

"Dek, jangan minta hal yang sulit Mas lakukan!"

Aku membingkai wajah suamiku dengan penuh kasih sayang. Lalu mengecup keningnya.

"Aku sudah ikhlas berbagi dirimu dengan Arin, Mas. Hanya ini permintaanku, jangan menolak lagi, hanya ini cara kita agar bisa memiliki anak." Jelasku dengan airmata yang menetes begitu saja.

"Dek.." 

"Tolong Mas, jangan terus menolak. Jika tidak rencana ini akan semakin berat dan sulit untuk kita lalui." 

Mas Abi memejamkan matanya dan tak lama kemudian menganggukkan kepalanya. 

"Baiklah, jika itu yang kamu mau Dek. Mas akan lakukan apapun untuk kebahagiaan kita." 

Aku hanya bisa tersenyum lega ketika melihat mas Abi tidak lagi menolak apapun saranku. Kamipun melanjutkan perjalanan ke rumah kami.

---------------------

Setelah persiapan untuk pernikahan kedua Mas Abi selesei , mengumpulkan orang terpercaya yang akan menjadi saksi dan penghulu pernikahan kedua Mas Abi. Agar pernikahan ini tetap menjadi rahasia.

Semalaman Aku tidak bisa tidur, membayangkan Mas Abi akan menikahi wanita lain di hadapanku esok hari. Walau Aku sudah merasa ikhlas Mas Abi untuk menikah lagi, tapi naluri wanitaku sama seperti wanita yang lain, merasakan sakit yang teramat sakit di hati ini. Tidak mau di madu.

Kupandangi wajah tampan yang sudah tertidur di sampingku, dengkuran halusnya terdengar. Mas Abi begitu tampan ketika tidur, tiba-tiba Aku merasa tidak ikhlas untuk membagi dirinya juga cintanya dengan orang lain. Tapi Aku juga tidak bisa egois, Mas Abi berhak memiliki keturunan.

"Ah lebih baik Aku solat saja." 

Waktu menunjukkan pukul tiga pagi lebih sepuluh menit. Aku solat agar hati menjadi tenang. Setelah itu Aku berdoa agar Tuhan menguatkan hatiku supaya tidak ragu dan berat lagi.

"Tuhan, jika ini yang terbaik. Maka berilah keikhlasan kepadaku agar tidak merasa ragu lagi." 

Waktu berlalu bergitu cepat, kami sudah berada di rumah pertama kami, rumah dengan lantai dua yang di dominasi warna putih dan hitam, rumah ini adalah rumah kami yang pertama sebelum tinggal di rumah yang sekarang.

Prosesi ijab qobul itu kini akan dimulai, hatiku berdegup kencang, menguatkan mental dan hati.

Dengan suara lantang Mas Abi mengucapkan ijab qobul. Kini Arin sah menjadi istri keduanya.

"Yaa Tuhan, kenapa sesakit ini!" Lirihku sembari menahan air mata yang akan menyeruak keluar.

Hatiku merasa tidak tahan, Aku kembali ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Walau hatiku sudah ikhlas tapi tetap saja rasanya begitu sakit.

Bukan hanya proses pernikahan ini yang membuatku berat, tetapi sikap Mas Abi dan Arin yang membuatku semakin mengelus dada. Mas Abi sama sekali tidak ingin dekat dengan Arin, lalu Arin hanya diam saja tanpa melakukan hal apapun .

Tapi ada hal yang menarik saat kami bertiga makan malam, Mas Abi terpergok mencuri pandang kepada Arin lalu tersedak karena salah tingkah. Hatiku memang sakit, tapi seolah ada angin segar agar membuat mereka akur.

Seperti biasa Mas Abi mengajakku nonton film jika besok tidak bekerja. Suatu ide terbersit dalam benakku. 

"Aku akan menyatukan mereka bagaimanapun caranya." Batinku.

"Mas Aku sudah ngantuk, Aku tidur dulu." 

Sebelum ke atas aku membisikkan kepadanya bahwa aku akan memberikan kejutan nakal untuknya malam ini, wajahnya berubah sumringah.

Mas Abi dengan berat hati mengizinkanku untuk pergi ke kamar, Aku segera ke atas. Membuka lemari dan mengambil lingerie kesukaan Mas Abi dan parfum favoritnya saat hendak bercinta denganku.

Ku bawa dua barang itu ke kamar Arin, Aku telpon Arin agar membukakan pintu kamarnya, jika Aku ketuk pintunya Mas Abi pasti akan tahu.

"Rin, boleh Kakak Masuk?"

Arin tidak menjawab tapi membukakan celah untukku masuk. 

"Ada apa ka?" Tanyanya setelah kami di dalam kamar.

"Pakailah ini dan pindah ke kamarku, layani Mas Abi sebagaimana seorang istri melayani suaminya."

"Tapi... Mas Abi pasti akan menolakku." 

"Kali ini tidak akan, jangan ambil hati sikapnya, Rin. Mas Abi orang yang baik. Dia akan memperlakukan dirimu lembut jika sudah mengenalmu." 

"Kak, Mas Abi akan langsung mengusirku jika melihatku berada di kamarmu."

Aku sejenak berpikir bagaimana caranya agar rencana ini terwujud. Sebuah ide kembali muncul di benakku.

"Matikan semua lampu dan tutup rapat semua jendela,Mas Abi tidak akan mengetahui jika yang berada di dalam kamar itu kamu!" 

"Mas Abi akan tahu jika itu bukan kamu jika aku bersuara Kak."

"Maka dari itu kamu diam saja, hanya berikan gerakan bahwa kamu sudah siap untuknya." 

Arin seolah ragu untuk menjalani rencanaku, tapi kemudian mengangguk menyetujuinya. 

"Baik kak, Aku akan melakukan apapun untuk membantumu." Ucap Arin dan ku balas anggukan kepala.

"Aku akan ke kamarmu, kak."

Aku hanya membalas anggukan kembali, Arin segera berjalan keluar membawa lingerie serta parfume yang telah ku berikan.

Dadaku tiba-tiba terasa sesak, walau Aku yang menginginkan hal ini terjadi tetap dada ini terasa begitu sakit. 

"Aku harus ikhlas, ini semua demi kebahagiaan Mas Abi." 

Satu jam lebih berlalu, Aku tidak bisa memejamkan kedua mataku, suara teriakan Mas Abi sayup terdengar olehku.

"Mas Abi?" Lirihku setelah mendengar teriakan Mas Abi.

Ada rasa ragu untuk menghampiri kamarku, tapi teriakan Mas Abi kembali terdengar. Rasa khawatir langsung memenuhi hatiku.

"Arin?" 

Aku memikirkan Arin, takut Mas Abi akan bersikap nekat kepadanya.

"Mas, buka pintunya, Mas. Kenapa kamu berteriak?" Panggilku agar Mas Abi segera membuka pintu.

Mas Abi membuka pintu dengan wajah begitu marah. Ku lihat di atas ranjang Arin tengah menangis dengan menutupi dirinya dengan selimut.

"Ada apa, Mas?" 

"Kamu tanya ada apa, Ratih? Bukankah ini semua rencanamu, hah!" Bentak Mas Abi kepadaku.

Selama 15 tahun baru kali ini Mas Abi membentakku dan menyebut namaku langsung. 

"Mas, dengarkan Aku dulu, biar Aku jelaskan!" 

"Tidak! Menjauhlah dariku Ratih!" 

Mas Abi lantas pergi ke bawah, Aku sudah tahu dia pasti akan tinggal di kamar tamu.

Aku tatap Arin yang masih menangis di balik selimutnya. Hatiku merasa begitu bersalah kepada Arin, dirinya pasti hancur. Ku dekati  Arin, dan mencoba menenangkannya.

"Rin.. maafkan Kaka.. Kaka tidak sangka semuanya akan jadi seperti ini." 

"Untuk apa meminta maaf Bu? Bukankah Aku hanya boneka kalian, hiks." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status