Mobil ambulans yang dipesan bapak sudah tiba di depan rumah. Aku dan Mbok Pati mengepak beberapa pakaian yang akan digunakan Om Haris.Tim kesehatan membawa tandu untuk membopong tubuhnya, kurus kering tinggal tulang, begitu lemas tak berdaya."Mungkin Papa akan seperti ini kalau bukan Mama yang merawatnya," ucap bapak sendu menelukupkan tangan di atas pundakku. "Terimakasih." Aku menoleh untuk menatapnya, pria itu masih memandang lurus, memperhatikan Om Haris yang sedang dibenahi agar nyaman saat dibawa berkendara untuk jarak yang cukup jauh."Semua tidak terlepas dari kebaikan bapak, Tuhan mengirimkan Mama untuk menjaga," jawabku lembut, bapak mengulas senyum saat mendengarnya.Mobil ambulans berangkat lebih dulu, aku dan bapak bersiap mengikutinya."Mbok, jika ada yang tanya, katakan saja jika saya membawa Om Haris untuk berobat." Pesan bapak pada Mbok Pati sebelum menaiki mobil. Wanita setengah baya itu berlinang air mata."Den, jika bapak lama di sana, mbok pun ingin pulang saja
"Apa semua sudah selesai?""Sudah, Pa. Hari ini kantor baru kita sudah beroperasi.""Papa akan melihat ke sana setelah mengambil beberapa berkas yang masih diperlukan di kantor lama.""Kantor itu sedang diliburkan dua hari kerja oleh Tante Sarah."Sesekali sembari menata sarapan aku menoleh pada mereka yang sedang berbicara di sofa menunggu semuanya siap."Ma.""Pagi sayang." Farel mencium pipiku, menoleh sebentar pada dua pria di sana, lalu dengan lemas duduk di kursi makan. Wajahnya semakin menunduk lesu saat bapak dan Aaraf berjalan ke arah kami.Bapak melirikku saat melihat Farel hilang semangat, dunia ceria saat kakak adik itu bersama seolah sirna begitu saja. Tidak ada kata, panggilan apalagi guyonan, keduanya hanya menunduk menatap semangkuk salad buah. Aku dan bapak pun sepakat untuk tidak mencampuri urusan mereka, membiarkan semuanya menjadi sunyi. Sarapan kelam sepanjang sejarah aku menjadi nyonya. Menghadapi dua anak sekaligus dengan usia yang terpaut sangat jauh."Biarkan
"Papa udah kaya supir aja sih." Gerutu bapak sembari mengintip di kaca spion. Mata yang tidak sengaja melihatnya segera kupalingkan, berpura-pura sibuk sendiri di kursi paling belakang.Aku memilih duduk di kursi pojok, mengisolasi diri sendiri, berharap bapak tidak mencium bau pesing yang ternyata lebih sedap baunya pas mau kering kaya gini dari pada tadi. "Udah deh jangan lihat-lihat Mama begitu," ucapku ketus menghindar tatapan matanya yang terus mencuri-curi."Papa sakit hampir setahun ya, Ma?""Iya," jawabku seadanya. Nggak semangat bicara, pengennya cepat sampai saja."Papa lumpuh, mandi dianterin, makan di suapin, bahkan mandi sore di lapin. Papa ingat sesekali, saat malam Papa pipis di celana karena sulit untuk ke kamar mandi, intinya nggak mau usaha. Betul begitu 'kan, Ma?""Iya, Pak. Kenapa bahas itu sekarang sih? Mama lagi nggak mood." Tolakku halus."Setiap kali itu terjadi, Papa selalu memperhatikan Mama. Selama itu, tidak pernah sekali pun Papa melihat Mama jijik atau m
[Gi, bukannya ini anak kamu?]Sebuah foto masuk ke dalam WA-ku, dialah Rina, teman lamaku yang sama-sama kerja di kota. Dan sekarang sedang pulang kampung.Aku membuka gambar yang Rina kirim, Farel_ Anakku pasti sudah lumayan besar sekarang, mungkin saja Rina jadi pangling, soalnya menurut Bang Abas Farel tambah ganteng, banyak orang yang membicarakannya di kampung.Aku mengamati foto yang dikirimkan Rina, seorang anak kurus, kucel terlihat kurang gizi sedang mendorong sepeda butut yang rantainya putus.[Nggak mungkinlah Rin, dia anakku.]Ada-ada saja si Rina. Aku menggelengkan kepala dan hendak meneruskan pekerjaan. [Aku udah tanya anaknya, dia anakmu, Gi.]Tangan yang memegang wortel langsung bergetar, segera kuperbesar potret itu. Benar, itu nampak Farel. Namun, keadaannya jauh berbeda dengan 3 tahun dulu sebelum aku meninggalkannya untuk bekerja menjadi pembantu di sebuah rumah mewah di daerah Jakarta.[Ngapain kamu kerja cape-cape di kota Gi, anakmu nggak keurus. Dia kaya kekura
[Aku ingin berbicara dengan Farel, Mas.]Setelah menguasai emosi aku kembali menghubungi Mas Abas, rasa ingin memeluk Farel dan mendengar suaranya begitu besar.[Anakmu terlalu senang mendapat sepeda baru, mana ada jam segini sudah pulang.]Rasanya ingin sekali aku memaki pria tidak tahu diri itu saat ini, namun kutahan untuk waktu yang lebih tepat.[Ini sudah mau Magrib, Mas. Masa Farel belum pulang, kamu tidak mencarinya?][Iya, sebentar lagi Mas cari. Dia lupa waktu, bagaimana tidak? Sepeda yang Mas belikan adalah sepeda paling mahal di tokonya.] Lagi, dia membual dan membuatku ingin menerkamnya hidup-hidup. "Abas!""Ya."Seseorang terdengar memanggil namanya. Panggilan masih tersambung sedangkan Mas Abas sudah pergi meninggalkan ponselnya. Gagal lagi untuk berbicara dengan Farel. Selalu seperti itu jika aku ingin mencoba berbicara dengannya. Bodohnya aku menganggap semua baik-baik saja. Hatiku meratap, betapa sedihnya membayangkan Farel yang diperlakukan seperti itu oleh ayahnya
"Saya simpan di sini lagi, ya Pak." Aku kembali menyimpan ATM milik Pak Gian. Orangnya nampak termenung menatap langit-langit kamar."Saya sudah memberitahu jadwal makan dan mandi Bapak pada Minah, dan juga makanan kesukaan serta pantangan makanan yang harus Bapak jauhi. Habisin ya Pak. Jangan disisa-sisa makannya."Wajah Bapak masih sama, tidak ada reaksi apapun yang yang tersirat dari wajah itu. Meski sudah berusia 55 tahun, Bapak masih jauh terlihat muda menurutku dibandingkan dengan pria seusianya saat ini. Apalagi jika ia sehat seperti dulu, gagahnya masih tiada tanding, berani ngadu sama Den Aaraf yang masih berusia 30-an."Sekalian Gigi pamit dulu, Pak." Sesak rasanya harus meninggalkan Bapak dalam keadaan seperti ini. Apalagi selama ia sakit setahun ini, hanya aku yang menemaninya. Dan menolak untuk diurus oleh pembatu lain. Padahal ada tiga orang di sini, aku, Minah dan Mbok Darmi.Masih tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Bapak meskipun kakiku sudah diambang pint
Hampir jam 21.00 malam aku sampai di terminal kotaku bebeberapa tahun ini. Tepatnya 9 tahun, saat Mas Abas membawaku ke kota kelahirannya.Aku masih harus menaiki angkutan kota untuk bisa sampai ke halaman rumah kami, rumah tembok sederhana yang sebelumnya sudah banyak retakan dan kebanjiran saat hujan. Karena itulah salah satu alasan aku pergi menjadi pembantu di kota orang, bertaruh nasib pada orang yang sama sekali tidak dikenal.Rintik hujan kebetulan turun malam ini, tanganku yang penuh barang bawaan dibantu kondektur bus untuk bernaung di salah satu toko yang sudah tutup. Sengaja aku tidak memberitahu Mas Abas, dan menjemputku di sini. Kami masih punya motor legenda kesayangannya untuk bepergian, tapi kuurangkan. Aku ingin tahu situasi kampung ini setelah 3 tahun ditinggalkan. Jadi, aku minta tolong Rina untuk meminjam kendaraan orang lain dan menjemputku di sini.Tiiiid!"Woy!" Reflek aku berteriak. Orang yang ada di dalam helm tertawa terbahak."Kenapa nggak bilang dari awal,
Aku menghambur pada Farel, memeluknya dengan erat. Tidak kugubris ucapannya yang mengundang air mata. Tangannya terus memberontak, aku tidak peduli, semakin dia memberontak semakin erat tanganku mendekapnya dalam pelukan, rasa rindu yang menyesakkan ini ingin sekali terobati."Lepaskan aku!" Kali ini ia benar-benar memberontak dan mendorongku kuat. Napasnya tersenggal-senggal, keringat bahkan bercucuran dari pelipis matanya, ia menahan amarah yang besar. Menatap dengan tajam, lalu berlari dengan kencang.Tubuhku yag terdorong ke tanah, dibantu bangun oleh Rina. Ia bahkan menepuk-nepuk tanah dan rurumputan kering yang ikut menempel pada pakaian."Kuatkan hatimu, Farel masih anak-anak. Dia butuh adaptasi, kamu sudah meninggalkannya cukup lama." Aku menatap kosong pada tubuhnya yang semakin menjauh, berlari tanpa menoleh. Farel benar-benar memendam kemarahan padaku selama ini."Kita bawa dulu barang-barangmu, kuantar kau pulang." Lagi, Rina menarik tangan. Tubuhku masih bergeming, menden