"Ayo berangkat!""Kemana, Pak?""Bukannya kepalamu sakit?"Mataku memutar, celaka! tadi aku hanya ngomong sekenanya saja. Lupa kalau bapak orangnya seriusan."Lain kali saja, Pak. Gigi bisa sendiri. Sakitnya sudah hilang kok. Hari ini karyawan yang masuk hanya sedikit, kita tidak bisa meninggalkan kantor."Bapak terlihat berpikir, "Kalau sakit lagi, jangan tunda untuk periksa!""Siap, Pak." Aku menarik garis senyum untuk meyakinkannya.Bapak kembali ke kursinya, beliau mulai terlihat sibuk dan sangat serius. Sedangkan, aku? Tidak ada pekerjaan yang bisa kulakukan sekarang, hanya duduk terpaku memandangnya. Menunggu instruksi yang beliau berikan, selain itu aku tidak bisa melakukan apa-apa tanpa perintah.Usiaku mungkin tidak jauh berbeda dengan Den Aaraf, itu artinya aku lebih pantas jadi anaknya dari pada istri beliau. Ih! Kenapa juga aku berpikir sejauh itu. Bapak mungkin akan menikah lagi, tapi bukan berarti denganku. Ini semua gara-gara Minah! "Sadar-sadar Gigi, jangan ikutan gil
Bapak memintaku untuk menunggu sampai Non Laras keluar dari ruangan dokter. Kami sedikit melipir sembari menunggunya. Cukup lama, hampir 45 menit aku dan bapak menunggu, Non Laras keluar bersama seorang suster, wajahnya terlihat lebih pucat dengan tubuh yang lemas."Non .... " Aku sempat memanggilnya sebelum bapak menarik tanganku. Beliau menggeleng, bukankah kami menunggu untuk bertemu dengannya, kenapa bapak malah mencegahku?"Aku ingin menemui dokternya," ucap bapak membelokkan kursi roda. Lalu, menggelinding cepat ke arah sana. Aku setengah berlari mengejarnya. Ternyata selama menunggu, apa yang ada dalam pikiran kami berbeda."Selamat siang dokter.""Ya." Dokter itu berdiri saat kami datang. Bapak menghampirinya dengan cepat."Saya Giantara, ayah mertua dari wanita yang baru saja keluar dari ruangan ini." Bapak menjabat tangannya, sang dokter mempersilahkan kami untuk duduk."Apa yang Bapak maksud adalah Laras?""Ya, benar dokter.""Saya kira Laras tidak menikah." Dokter cantik i
Bapak berbaring di tempat tidur dengan tangan bersedekap, matanya terpejam tapi jemari tangannya masih bergetar. Jelas terlihat ia hanya pura-pura tidur.Aku, Minah dan Mbok Darmi sibuk membersihkan kamarnya, pecahan beling dan kaca di mana-mana. Hampir semua benda di kamar ini tergeletak di lantai, jarang yang selamat , semua hancur berkeping, ada pun yang masih bisa diselematkan, pasti memiliki retakan atau pecahan."Terimakasih, Mbok."Mbok Darmi mengangguk. Mengelus lenganku. Ia menengok bapak sebentar sebelum meninggalkan kamar yang berhasil kami bersihkan setelah 1 jam bekerjasama saling membantu dengan hati-hati.Aku menutup kaki bapak yang terbuka, sedikit noda darah bahkan terlihat di sana. Seperti ada pecahan benda yang mengenainya. Bergegas aku mengambil obatk P3K, mengolesnya dengan alkohol, dan memberinya plester."Pergi dan bantulah Aaraf!" ucap bapak tanpa membuka mata.Aku mengerti dan langsung menemuinya, Den Aaraf masih menunduk di atas kursi. Satu jam lebih dia dala
Aku seperti menyaksikan dua patung yang saling berhadapan, dekat tapi sibuk dengan perasaan masing-masing.Bapak duduk bersandar pada sandaran kasur, Den Aaraf masih berdiri menunduk di sampingnya.Aku menepuk kasur di samping bapak setelah membantunya. Meminta Den Aaraf untuk duduk di sini agar lebih dekat. Pria itu menurut, ia duduk dengan wajah yang semakin menunduk."Maaf, Pa. Aaraf belum bisa memberi Papa cucu," ucapnya parau, menahan tangis yang sepertinya kembali ingin tumpah.Bapak merangkul tubuh anaknya. Tangis itu pun pecah, bapak mengusap punggung Den Aaraf dengan lembut. Air mataku berlinang penuh haru. Keluarga akan tetap menjadi tempat kembali meski beribu kali dijauhkan oleh kepentingan duniawi."Jadilah pria yang kuat!" Bapak menepuk-nepuk pundak anak lelakinya. Den Aaraf mengangguk pelan dan melerai pelukan."Aaraf sudah menghubungi orang tua Laras agar menjemputnya pulang. Bagaimana pun dia harus merenungkan kesalahannya.""Papa rasa ini adalah permulaan, kamu akan
Apa arti dari ucapan bapak? Apakah maksud beliau ingin aku temani sampai habis usia? Menjadi istrinya? Aih! Hatiku melambung tinggi, berbunga-bunga penuh warna.Enggak-enggak! Sadarlah Gigi! Bagaimana kalau bukan itu tujuannya? Jika aku salah menangkap maksud ucapan bapak, bunga mekar pun akan layu dan berguguran, terdampar, dan akhirnya jadi santapan cacing tanah. Ngenes banget kan? Ngeles ajalah, cari aman. Kalau pun iya, perempuan kan harus jual mahal."Tentu saja, Pak. Selama bapak mempekerjakan saya. Saya akan tetap setia.""Aku rasa ada yang berbeda antara ucapan dan pikiranmu saat ini?" Jangan-jangan bapak cenayang? Mataku menyipit untuk menyelidik. Ah! Mana mungkin. Pasti hanya kebetulan."Aku bukan cenayang, tapi gelagatmu mudah terbaca. Ngeles cuma buat nutup malu dan pura-pura jual mahal."Bagaimana bisa bapak adalah cenayang?! Apakah selama ini beliau selalu membaca semua pikiranku?"Heum!" Bapak menggeleng , lalu mengambil alih piring yang ada di tanganku."Menunggu kamu
"Eheum!"Den Aaraf dan Farel tertunduk pada sarapan mereka. Tidak ada yang berani berbicara satu kata pun setelah kami datang, tepatnya setelah bapak duduk di kursinya."Apa yang tadi kalian bicarakan?" tanya bapak kepada dua anak yang ada di depannya.Keduanya menoleh, menggeleng, lalu menunduk lagi. Tangan mereka sibuk memasukkan makanan tanpa memilah."Kurasa kalian tadi membicarakanku dengan senangnya."Kedua pria muda itu kompak menoleh lagi, menggeleng dan kembali menghabiskan sisa-sisa makanan yang masih tersisa."Selesai!" ucap Farel langsung kabur."Aku pun selesai!" Den Aaraf tak kalah bergegas dan siap meninggalkan meja."Eh, duduk!""Aku?""Siapa lagi?" Den Aaraf melirik pada Farel yang ternyata bersembunyi dan tersenyum mengolok. Ia terpaksa kembali duduk dan mencoba memandang bapak yang ternyata sudah fokus menatapnya."Apa aku memang terlihat setua itu di matamu?"Den Aaraf yang terlihat sedikit heran dengan pertanyaan itu tetap mencoba menjawab."Sedikit." Ia menautka
Den Aaraf masuk ke dalam ruangan, menatap kami penuh selidik, nampak sekali ia tidak sabar untuk mendapat jawaban."Kita akan bicarakan ini di rumah!"Bapak mematahkan tatapan dan harapan itu."Kenapa?""Karena ini masalah pribadi, kantor hanya tempat untuk orang-orang yang bekerja secara profesional."Aku berpura-pura sibuk sendiri dan tidak mendengar percakapan mereka. Kutangkap selintas Den Aaraf menatapku."Baiklah. Aku hanya datang untuk memberikan ini."Den Aaraf berjalan ke meja bapak dan menyimpan sebuah berkas. Lalu, menatapku lagi dan bergegas menuju pintu."Aku rasa belum saatnya kita memberitahu ini, Pak." Aku sedikit berbisik mengatakan ini, takut Den Aaraf masih ada di luar dan mendengarnya."Dia bukan anak kecil, Gigi. Dia bahkan sudah menikah. Hal seperti ini harusnya bisa diterima. Selain itu, Aaraf bisa melihat gelagatmu yang berbeda."Perasaan tidak ada yang berbeda dariku, bukannya bapak yang bertingkah aneh dua hari ini?"Itu salah satu contoh penyakit barumu, suk
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 malam, aku sangat khawatir karena belum melihat Den Aaraf kembali, di cek ke kamar pun masih kosong tanpa terkunci. Den Aaraf bukan orang yang suka menghabiskan waktu di jalanan, ia adalah anak rumah dan kantoran."Den Aaraf belum kembali, Pak," ucapku sembari memandang tubuh bapak dari belakang, beliau tidur menyamping ke kiri dan memunggungiku saat ini."Dia butuh merenung, tidak apa-apa sesekali membiarkannya sendiri."Aku tahu getar suara itu, bapak sama sekali tidak tenang. Ia pasti sangat khawatir. Aku keluar dan menutup pintu kamarnya pelan. Duduk menunggu di ruang tamu. Jarum jam sudah bergerak ke angka 11, tapi tidak ada tanda-tanda Den Aaraf akan kembali.Aku tidak bisa duduk termenung seperti ini! pekikku dalam hati. Berdiri dan mengambil kunci mobil, berusaha mencari dari pada hanya terpaku menunggu. Jalanan sudah cukup sepi dan gelap. Baru kali ini aku mencoba berkendara di tengah malam. Lajunya benar-benar seperti keong, bahkan berkali-k