Monalisa terus disemangati oleh Namira. "Rezeki nggak ada yang tahu, umur juga bukan patokan."Malam harinya, mata Monalisa terasa sulit dipejamkan. Tidak terhitung pula dia bertukar posisi tidur."Mata panda kamu kelihatan, Mon. Nggak nyenyak ya tidurnya semalam?"Kedua wanita dewasa ini sedang berada di stasiun menunggu kereta api."Susah, aku kepikiran soal interview nanti.""Wajar sih, hal normal kok. Pake ini aja." Namira merogoh sebuah benda berbentuk bulat dan panjang, rata-rata perempuan memakai ini."Nggak menor ntar, Na?" Monalisa tampak ragu menerima benda itu."Nggak kok. Coba aja dulu. Ntar kalau nggak nyaman bisa dihapus. Atau solusi lain pake kacamata."Dari rumah, Monalisa hanya memakai sunscreen, bibir di poles dengan lipstik berwarna merah bata, serta matanya dipakaikan eyeliner.Sebelum kereta jurusan mereka datang, Monalisa sibuk merias diri, memberi cushion dan concelear di wajahnya."Nah, gitu kan lebih cantik. Mata panda nya jadi lenyap," puji Namira setelah se
Seminggu pun berlalu ... kabar dari perusahaan tak juga ada. Monalisa mulai merasa gundah dan berfirasat dirinya tidak akan diterima."Tadi ibu yang interview kamu kemarin, nemuin aku, katanya dia srek sama kamu, cuma mengingat kamu umurnya sudah cukup dewasa, jadinya dia urung lanjutin kamu ke test selanjutnya."Sesampainya di kost, Namira langsung menuju kamar Monalisa."Aku sudah feeling sih, tapi ya nggak papa juga. Nanti aku cari lowongan kerja lainnya. Kamu udah makan belum? Kalau belum makan di luar yuk!" ajak Monalisa menghempaskan suasana yang sempat tidak enak.Saat dirinya mengambil bergo dan memasangnya, di tiba-tiba ..."Tapi ... tadi, lepas ibu itu keluar, ada temenku yang sama-sama posisinya HRD ngasih tahu, kalau saudaranya baru mendirikan sebuah klinik, terus butuh posisi administrasi satu lagi, kalau kamu berkenan bikin aja surat lamarannya, biar besok aku kasih ke dia. Gimana?"Monalisa sempat bergeming sesaat ..."Boleh, dicoba aja kali ya. Sambilan nanti aku bikin
"Saya bisa bicara dengan Bu Eti nggak, Bu?""Bisa, tapi tidak sekarang, nanti palingan, Bu Mona. Tapi sebelumnya, saya minta untuk dikabulkan permintaan beliau, ya. Semoga kesehatan beliau semakin membaik dan hatinya juga ikut membaik. Sebagai perempuan ibu pasti paham."Monalisa bergeming mendengar ucapan ketua pengelola panti jompo."Apa sebenarnya yang dikatakan Bu Eti selama di sana? Apa ibu Eti tahu jikalau aku ... tidaklah, mana mungkin dia tahu tentang ...," batinnya."Iya, Bu. Palingan sore atau malam saya bisa standby hape. Sekitaran jam segitu bisa, Bu?""Bisa, nanti saya telpon lagi."Waktu berjalan kian terasa berat, dibalik dirinya harus fokus mempelajari jobsdesk sebagai administrasi di sebuah klinik, pikiran Monalisa tak hentinya dihantam dan begitu berisik.Dadanya penuh sesak, pikirannya juga selalu berbisik penyesalan. Ada terbesit penyesalan kenapa ibu yang hampir ditabraknya itu adalah ibu dari perempuan yang sudah menyakitinya dengan sengaja."Halo. Assalamu'alaik
"Mas, udah dengar berita terbaru belum soal virus itu tuh yang lagi riweh mondar-mandir di berita?" tanyaku pada Mas Bryan ketika dia tengah asyik mengeringkan rambutnya dengan handuk.Suamiku baru selesai mandi sepulang dari kerja. Mas Bryan bekerja di salah satu perusahaan Farmasi di kota ku tinggal, Kota Padang. Sedangkan aku mengurus minimarket yang ada di samping rumah kami. Sebelum menikah aku adalah seorang staff administrasi di perusahaan asuransi. Aku mengundurkan diri dari pekerjaan supaya bisa lebih fokus menjalani peranku sebagai istri, apalagi nantinya aku akan mempunyai keturunan."Oh itu, iya udah dengar tadi. Tapi aku nggak percaya Mon. Masa iya virus begitu nggak boleh sampai kontak fisik terus banyak bla bla nya juga." jawabnya santai seolah acuh tak acuh sama virus yang menggelegar ke penjuru dunia."Yaelah, Mas. Jangan gitu ngomongnya. Nih baca! Dunia saja udah dibikin heboh sama virus yang satu itu," kusodorkan gawai pipih pada Mas Bryan biar dia membaca berita ya
"Lho, Mas kok jam segini sudah pulang?" tanyaku heran ketika Mas Bryan keluar dari mobil, aku yang tadi tengah mencuci baju sekesiap berlari ke depan karena mendengar deru mobil Mas Bryan. Betapa tidak heran sekarang masih menunjukkan pukul 10.00 pagi."Iya, seluruh karyawan di suruh pulang sama pimpinan." jawabnya sambil berlalu masuk ke dalam rumah dengan wajah kusut."Lho, lho kenapa? Kok bisa?" aku pun mengekor dari belakang."Monaa! Bisa diam nggak sih! Kamu jangan seperti Nenek lampir!" Mas Bryan membalikkan badannya dan membentakku. "Aku pusing, please jangan banyak tanya dulu." dia pun melanjutkan langkah memasuki kamar tak lupa dia membanting pintu."Astagfirullah, Mas. Salahku apa coba?" aku bergumam masih di posisi mematung, seumur kenal dari pendekatan, pacaran, hingga menikah baru kali ini Mas Bryan membentakku. Bulir bening tanpa permisi sudah berjatuhan membasahi pipiku.Memang dua minggu belakangan ini sejak Indonesia dilanda virus meresahkan itu aku agak protektif den
"Momon, Assalamu'alaikum, Mas pulang sayang, bukain pintunya." panggil Mas Bryan sembari terus mengetuk pintu."Kak, Kak Momon buka pintunya," sambung Rara.Aku yang tadinya sempat mengintip mereka lewat jendela langsung memasuki kamar bukan karena aku takut ketahuan mengintip, hanya saja aku berpura-pura tidak melihat sikap mereka yang tampak mencurigakan di pelupuk mataku."Kompak banget kalian sampai bergantian memanggilku, enak ya sambil berdiri dekat-dekatan di depan pintu memang tak punya malu, bisa tidak untuk menghargaiku," gerutu ku dalam hati. Aku menggerutu diujung bibir ranjang.Aku merasa semakin parno apalagi Yuyul menjelaskan secara detail perselingkuhan antara mantan suaminya dan adik kandungnya sendiri padaku. Dan sekarang, yang kulihat berbau hampir mirip dengan cerita Yuyul, belum lagi bentakan Mas Bryan tadi siang. Giliran sama Rara dia malah senyum-senyuman."Astagfirullah, Monalisa, istighfar. Semua belum tentu benar." aku mencoba menepis semua pikiran buruk yang
"Mon, Mas udah selesai nih bersih-bersih. Maafin Mas soal yang tadi siang ya. Lagi banyak kerjaan dan masalah aja di kantor." aku terbangun dari lamunan ketika Mas Bryan menepuk pundakku."Kalau banyak masalah dan kerjaan nggak harus segitunya juga kali, Mas!" serangku."Iya, Mas minta maaf." dia tampak mencoba merayu ku, dengan bertekuk lutut di hadapanku yang sedang duduk di bibir ranjang."Ini bukan sekedar minta maaf aja, Mas. Kalau di biarin jadi kebiasaan. Seumur kenal baru kemarin lho kamu bentak aku seperti itu. Apa mungkin itu sifat asli kamu?""Astagfirullah, tidak Mon.""Itu beneran masalah kantor atau kamu sedang bermain api di belakang ku, Mas?!" lebih baik ku tanyakan perihal kegundahan yang menyesakan dada."A-anu, enggak, hmm, iya masalah kerjaan dek." Mas Bryan yang tadinya bertekuk lutut sontak berdiri salah tingkah."Dek? Sejak kapan kamu manggilnya Dek ke aku, Mas? Biasa juga manggil Dek ke Rara." gumamku."Oh." aku pun beranjak lalu merebahkan tubuh penat ini di a
"Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar."Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya."Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar."Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teri