Share

BAB 1

Sekarang telah masuk waktu istirahat. Syara bersama Mira, teman sebangkunya, dan Karina yang sebetulnya teman dekat Mira dari kelas lain sedang makan di kantin. Lagi dan lagi, Mira dan Karina selalu membicarakan tentang pacar masing-masing. Seakan tak ada topik lain yang lebih menarik minat mereka untuk dibahas. Apalah daya Syara yang dari zigot sampai sekarang tak punya pacar. Alhasil, ia hanya bisa menjadi pendengar budiman dan diam memendam kebosanannya.

***

Sepulang sekolah, tanpa mengeluarkan suara Syara terus membuntuti Rendi sampai ke parkiran. Lukman, salah satu teman dekatnya Rendi yang sedari tadi sudah curiga menegurnya. “Permisi. Lo mau ngapain, ya?”

Rendi tak memedulikan gadis itu. Ia lebih memilih mengeluarkan motornya dari tempat parkir.

“Hai, kamu Lukman, kan? Sekelasnya Rendi?”

Lukman silih berganti menatap Syara lalu Rendi kemudian Syara lagi. “Iya. Terus... kenapa, ya?”

Syara mengulurkan tangannya. “Kenalin, aku Syara. Dari kelas sebelas-C. Oh iya, boleh ngobrol sama Rendi-nya bentar, nggak?” tanya Syara dengan senyum yang ramah.

“Entar dulu, Ren! Lo mau main cabut aja,” sergah Lukman menarik tas punggung Rendi saat cowok itu sudah bersiap menaiki motornya. “Noh, ada yang mau ngobrol sama lo! Gue yang mau pulang nih sekarang.” sambungnya.

Tak lama berselang, Lukman membonceng Heni, pacarnya, bersiap pulang juga. “Kita lebih dahulu, ya. Bye!” pamit Heni, melambaikan tangan pada Syara dan Rendi yang mematung dengan motornya.

Rendi menyalakan mesin motornya. Syara bediri tepat di depan motor Rendi, menjegal. Berniat menahan cowok itu lebih lama karena ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

“Ngapain lo di situ?” tajam Rendi. “Minggir!” usirnya.

“Be-bentar Rendi. Maaf sebelumnya aku ngalangin gini. Aku mau tanya sesuatu sama Rendi.” Syara menghela napas panjang. Ia menelan ludah, tenggorokannya mendadak terasa kering. “Rendi,”

“Gue nggak mau lo tanya!” sergah Rendi tajam.

Syara tak peduli, sudah kepalang tanggung kalau momennya seperti ini. “Rendi suka sama cewek yang kayak gimana, ya?” tanyanya.

Cowok itu tersenyum licik. “Pastinya bukan kayak lo.”piciknya.

“Hah?”

“Lo budek?! Gue bilang minggir! Atau lo berbesar hati gue tabrak? Oke.”

Rendi menarik gas motornya hingga membuat Syara terperanjat dan spontan menghindar. Apa yang barusan Rendi katakan? Kalimat itu terus mendengung di telinga Syara. Dan tanpa ada yang tahu, sungguh menyayat perasaannya.

***

Rendi menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Gerah sekali siang ini. Mungkinkah itu efek dari pikirannya yang gersang? Atau hatinya yang tandus?

Rendi menatap langit-langit kamarnya. Ia mengundang ingatan di parkiran tadi datang ke pikirannya. Ia tak merasa ada yang salah termasuk dengan apa yang ia ucapkan. Tapi mengapa rasanya seperti ada yang salah? Entahlah, mungkin ini efek teriknya matahari yang menyengat di luar sana. Jadi berimbas pada dirinya yang seperti cacing kepanasan saat ini. Mungkin.

***

Langit malam ini begitu indah berhiaskan bulan dan taburan bintang. Tapi Rendi tak menyaksikan keindahan itu. Ia memilih tidur sekitar sepuluh menit yang lalu dengan lampu kamar temaram.

Braaakk!!

Pintu kamar Rendi didobrak seseorang. Sakelar lampunya dinyalakan. Rendi terbangun tapi terlalu enggan membalikkan badannya ke arah pintu yang ia belakangi.

“Kak Rendii! Bangun!” suara Rasthi, adik perempuan Rendi memaksanya bangun.

Seperti zombi, Rendi bangkit. Ia terduduk di pinggir tempat tidurnya. “Bisa nggak, sehari aja biarin gue tidur dengan tenang?” kesal Rendi setengah sadar.

“Nggak bisa. Apa gunanya orang pinter kalau nggak digunain?” umpat Rasthi yang menyodorkan beberapa helai kertas berisi soal fisika ke hadapan Rendi.

Rendi mengerjapkan matanya beberapa kali untuk bisa fokus melihat tulisan di kertas itu. Total empat soal lagi yang belum terjawab dari dua puluh lima soal multiple choice secara keseluruhan.

Rendi mendegus kesal, menahan murkanya yang ingin meledak. “Ini soal pil-gan, lo jawab asal-asalan aja empat soal itu. Kalau yang lainnya udah bener kan tetap bakalan bagus nilainya.” tolak Rendi seraya menguap tak bisa menahan kantuknya. Matanya berair pertanda ia hanya ingin tidur sekarang.

Rasthi mengomel. “Ihh, gue maunya nilai sempurna. Udah cepetan, ajarin aja! Nanti tidurnya!”

Rendi mengetukkan bolpoin ke dahi adiknya itu. Lalu, ia beranjak duduk di kursi belajar dan mulai mengajari soal yang tak bisa terjawab Rasthi.

Di satu sisi, sebenarnya Rendi merasa kasihan dengan Rasthi yang kurang mendapat perhatian darinya maupun mamanya. Maklum saja, Mama mereka seorang single parent yang terlalu sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan di rumah dan sekolah putra-putrinya itu.

Di sisi lain, hampir setiap malam memang Rasthi seperti ini. Minta diajari mengerjakan soal yang tak ia mengerti. Terkadang, itu hanya alasannya saja agar bisa mendapat perhatian setidaknya dari salah satu anggota keluarga ini. Tapi mengapa di saat-saat yang sangat mengganggu waktu tidurnya Rendi?

Sementara itu, pada waktu yang sama di rumah Syara, gadis itu senang sekali memandangi bintang-bintang di angkasa lewat jendela kamarnya. Rasanya menyejukkan hati. Ia menghitungi bintang guna memulihkan hatinya yang tersayat secara sengaja oleh Rendi hari ini.

Berteman atau tidak adalah pilihan. Menentukan pilihan itu mudah tapi mempertahankannya ternyata susah. Dan kini Syara terperangkap dalam pilihannya sendiri. Pertemanan parasitisme seperti belenggu yang terus mengurungnya. Ini pertama kalinya Syara mengerti bahwa tak selamanya senyum itu menunjukkan kebahagiaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status