Share

5. Komedi Hidup

“Pak Agam?"

Agam langsung tersadar saat mendengar panggilan itu. Dia kembali menatap dokter dan berusaha untuk fokus. Untuk saat ini, Agam tidak bisa mendengarkan penjelasan dokter mengenai kondisi Dika dengan serius. Entah kenapa dia masih memikirkan hal yang membuatnya terkejut.

Apalagi jika bukan karena kejadian di lift tadi. Agam masih tidak percaya dibuatnya. Bisa jadi dia salah lihat. Namun matanya sangat sehat untuk melihat semuanya dengan jelas.

"Ada pertanyaan, Pak?"

Agam menggeleng dan mulai berdiri. Dia mengucapkan terima kasih sebelum keluar dari ruangan dokter. Bukan tanpa alasan tiba-tiba Agam berada di rumah sakit. Dia mendapatkan kabar jika Dika sudah sadar.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, kenapa rumah sakit menghubunginya dan bukan keluarga Dika sendiri? Dika adalah seorang yatim-piatu. Bisa dibilang ia tidak memiliki siapapun di dunia ini selain dirinya. Bukan bermaksud sombong, tetapi Agam dan Dika sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP.

Mereka bersahabat, meski tidak banyak orang yang mengetahuinya.

Agam bergegas kembali ke kamar Dika setelah selesai dengan dokter. Saat tangannya akan membuka pintu, Agam melihat sesuatu yang mengejutkan. Dari kaca bening di pintu, Agam bisa melihat seorang gadis yang berada di dalam ruangan. Seseorang yang sama seperti saat ia di lift tadi.

"Cia," gumam Agam lagi.

Ternyata ia tidak salah lihat. Agam benar, ternyata gadis itu memang Cia.

"Sus?" panggil Agam saat perawat melewatinya. "Apa dia keluarga pasien?" tanya Agam menunjuk Cia.

Perawat ikut mengintip dan mengeleng. "Bukan, Pak. Dia yang datang bersama pasien waktu kecelakaan dulu."

Agam mengangguk mengerti. Sekarang ia tahu kenapa Cia berada di kamar Dika. Ternyata gadis itu yang membuat kecelakaan ini terjadi. Kebetulan macam apa ini? Setelah bertahun-tahun berlalu, gadis itu kembali muncul dengan tragedi mengenaskan.

Agam memutuskan untuk pergi. Tidak ada alasan baginya untuk masuk ke dalam ruangan. Dia tidak mau mereka kembali mengingat masa lalu.

Agam memutuskan untuk kembali ke kantor. Niat awal dia ingin ke bagian administrasi untuk membayar sisa pengobatan Dika sekaligus pindah kamar yang lebih baik, VIP. Namun saat tahu jika Cia yang bertanggung jawab, Agam mengurungkan niatnya. Jangankan membantu, untuk bertemu saja Agam tidak melakukannya.

***

Di dalam kamar pasien itu, Cia duduk dengan rasa bersalah. Apalagi saat melihat kondisi Dika yang masih belum bisa dikatakan baik. Namun semua butuh proses. Melihat pria itu sudah sadar saja Cia sudah sangat bahagia.

"Kak, maafin saya." Sudah puluhan kali Cia mengucapkan kalimat itu.

Dika yang memang masih lemah terasa sulit untuk berbicara. Dia hanya bisa mengangguk dan kembali memejamkan mata. Sudah mulai lelah dengan ucapan Cia yang selalu sama.

Jujur, Dika tidak tahu harus bersikap bagaimana. Saat membuka mata, dia mendapati tubuhnya terasa sangat sakit. Setelah mendengar apa yang terjadi dari Agam, dia hanya bisa menghela napas pasrah. Menyesal pun percuma karena tidak ada untungnya. Lebih baik fokus dengan apa yang akan terjadi dari pada apa yang sudah terjadi.

"Saya akan tanggung jawab, Kak. Saya yang akan tanggung semuanya sampai kakak pulih," ucap Cia lagi.

Peduli setan dengan dari mana ia akan mendapatkan uang. Yang pasti Cia akan tetap tanggung jawab. Pria itu tidak memiliki wali. Siapa lagi yang akan merawatnya? Patah lengan dan kaki bukanlah masalah biasa. Apalagi pria itu juga masih menggunakan penyangga leher karena trauma akibat kecelakaan. Melihat Dika bisa sadar dengan cepat saja sudah menjadi keajaiban dunia bagi Cia.

Lagi-lagi Dika hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa banyak bicara karena rasa lemas. Bersyukur gadis itu mau bertanggung jawab dan membantunya mengurus semua keperluan rumah sakit.

"Bisa.. panggilkan teman sa—ya?"

Cia langsung berdiri dan mendekat. "Apa, Kak? Saya nggak denger."

"Panggilkan teman saya," bisik Dika lagi.

Dahi Cia berkerut mendengar itu. Teman? Teman siapa yang pria itu maksud. Selama beberapa hari ini Cia tidak melihat siapapun. Tidak ada yang menjenguk pria itu selain dirinya. Itu yang Cia tahu.

"Kak Dika punya temen?" tanya Cia ragu. Dia sudah takut jika nasibnya akan habis di tangan teman pria itu.

Dika hanya menunjuk pintu kamar dengan jari telunjuknya. Beberapa menit yang lalu ia tidak sengaja melihat Agam di sana. Namun pria itu pergi entah ke mana.

"Oke, saya panggil dulu. Kak Dika jangan banyak gerak."

Dengan cepat Cia berlari keluar kamar. Pandangannya mengedar ke segala arah. Tidak ada seorang pun yang menunggu di depan ruangan. Cia juga tidak melihat adanya wajah yang ia kenal di sana.

Siapa yang pria itu maksud? Apa dia melihat hantu?

Cia seketika bergidik ngeri. Mereka berada di rumah sakit saat ini. Melihat hantu bukanlah hal yang mustahil. Apalagi kondisi Dika berada di titik yang terendah.

"Maaf, Sus. Saya mau tanya." Akhirnya Cia memilih untuk bertanya pada perawat yang biasa menangani Dika. "Apa sebelumnya ada yang pernah jenguk pasien di dalam?"

"Oh, ada, Mbak."

"Di mana orangnya sekarang, Sus? Dicariin sama pasien."

Perawat itu ikut melihat sekeliling. Dia sempat melihat pria itu tadi tetapi sekarang sudah menghilang.

"Kayaknya sudah pergi, Mbak."

Cia menghela napas kasar mendengar itu. Seketika kepalanya berdenyut.

"Kalau boleh tahu siapa namanya, Sus? Atau ada nomernya? Saya mau hubungi biar dateng."

"Namanya Pak Agam kalau nggak salah. Untuk nomornya bisa ikuti saya, Mbak. Ada di data rumah sakit. Nanti bisa saya bantu untuk hubungi."

Bukannya berjalan mengikuti, Cia malah berdiri dengan kaku. Pandangannya seketika berubah menjadi kosong karena pikirannya mulai tidak fokus. Dia tidak salah dengar, bukan?

Nama itu terdengar tidak asing di telinga Cia. Dia sering mendengar nama itu dulu. Sudah bertahun-tahun dia tidak mendengar nama itu, lalu sekarang dia kembali mendengarnya. Cia hanya bisa berharap jika itu bukan Agam yang sama.

"Mbak?" panggil perawat itu lagi.

Cia tersadar dan berjalan mendekat. Tangannya sudah berubah dingin. Bahkan sesekali bergetar karena gugup. Dia tidak menyangka jika efek dari sebuah nama bisa membuatnya seperti ini. Seketika hati Cia kembali sakit. Percuma jika dia melarikan diri selama bertahun-tahun jika nama itu belum bisa menghilang sempurna dari pikirannya. Ternyata selama ini nama itu hanya terkubur sementara sampai ada pemicu yang kembali membangkitkannya.

"Bisa tolong dihubungi, Sus?" tanya Cia dengan suara tercekat.

"Nggak perlu."

Suara berat itu membuat tubuh Cia kembali menegang. Dia ingin berbalik tetapi ada sesuatu yang membuatnya bertahan dengan posisi seperti ini. Mata Cia terpejam saat jantungnya mulai berdegup kencang. Ternyata doa dan harapannya sia-sia. Dia sangat mengenal suara itu. Suara yang ternyata masih sama seperti dulu.

Dia adalah Agam Mahawira.

Pria itu di sini, berada di belakangnya.

Apa yang akan Cia lakukan sekarang? Dia seperti terjebak dalam kondisi mengejutkan ini. Benar, tidak ada pilihan lain selain menghadapinya. Cia memejamkan matanya dan mulai menarik napas dalam. Setelah itu dia membukanya dan tersenyum pada perawat di depannya.

"Saya permisi ya, Sus."

Satu detik kemudian, Cia langsung berlari dengan langkah terbirit-birit. Bahkan dia tidak menoleh sekali pun ke belakang.

Menghadapi Agam? Tentu saja tidak! Cia memilih untuk kembali melarikan diri.

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status