"Mas, hentikan!" bentak Ayana. Sontak membuat usaha Dindar terhenti.
"Aku bukan binatang yang sesuka Mas Dindar lakukan dengan seenaknya!" Kali ini Ayana melawan. Nafasnya memburu menahan emosi."Aku istrimu, Mas. Tapi cara kau memperlakukanku sudah seperti bukan istrimu saja. Dengan kau mengikat dan melakban mulutku itu sudah seperti kau bukan ingin mengambil hakmu. Tapi kau merampas milik orang lain.""Diam, kau!" bentak Dindar, membuat Ayana kaget.Dindar mencengkeram rahang Ayana. "Kenapa sekarang kau membantah keinginanku, Aya?""Lepas, Mas. Sakit." Ayana menyingkirkan tangan Dindar dari wajahnya."Aku tidak akan membantah jikalau Mas Dindar melakukan sesuatu yang wajar. Tapi ini tidak wajar, Mas. Kapan aku pernah menolak keinginan Mas Dindar. Kapan, Mas. Kapan?" Ayana membalas tatapan Dindar."Ayana, kau—""Aku bahkan diam saja saat Mas Dindar menyakitiku. Lihat ini!" Ayana menunjuk bekas luka di kepala Ayana yang masih belum sembuh dan berbekas sebab perbuatan Dindar kemarin malam."Itu karena kesalahanmu, Ay!" ucap Dindar. Teriak."Kenapa kamu hanya bisa menyalahkan aku, Mas. Sedangkan semua perlakuan kamu tak boleh disebut sebuah kesalahan!" Nafas Ayana semakin memburu."Satu lagi, Mas. Kau hanya mau menikmati tanpa mau berbaginya. Bahkan kau menyakitiku, Mas." Ayana mengusap air matanya. Kasar."Tapi aku hanya diam saja, Mas. Tapi kali ini aku tak mau. Aku istrimu, Mas. Bukan peliharaanmu. Jadi tolong. Kerjasamanya." Suara Ayana melemah. Sedangkan air matanya tak berhenti mengalir.Dindar bergeming. Dengan mata masih menatap Ayana lekat."Jika kau terus-terusan membuatku seperti ini, maka…sepertinya aku nyerah, Mas…," lirih Ayana sambil terisak."Maksudmu apa, Ay?" Mata Dindar melebar."Aku nyerah jadi istrimu, Mas.""Tidak, Ay!" sahut Dindar. Cepat. Matanya memerah."Aku tidak kuat jika terus-terusan seperti ini, Mas," ucap Ayana dengan masih terisak.Dindar mengusap wajahnya kasar. Tampak frustasi. Lama ia terdiam dengan sebelah tangan bertengger di pinggangnya. Sedangkan tangan satunya memijit pelipisnya tampak sedang berpikir.Setelah agak cukup lama berpikir, Dindar mengangkat pandangannya menatap Ayana yang masih terisak."Maafkan aku, Ay." Tangan Dindar meraih tubuh kecil Ayana dan membawa kedalam dekapannya.Ayana pasrah saat Dindar memberikan kehangatan lewat dekapannya. Ayana masih saja terisak di dalam sana."Sudah, Ay. Jangan menangis. Aku tak suka melihatmu menangis." Dindar berucap dengan tangan mengelus-elus rambut Ayana.Walaupun sulit untuk dihentikan, namun karena takut akan amarah Dindar meluap-luap lagi, sebisa mungkin Ayana menghentikan tangisannya."Istirahatlah!" Dindar membawa Ayana ke ranjang dan membaringkannya di sana.Ayana tak melawan. Bahkan ia membiarkan apapun yang Dindar lakukan padanya.Dindar menarik selimut dan menutupi tubuh Ayana. Ia juga mengecup lembut kening Ayana.Selanjutnya Dindar duduk di pinggir kasur. Kedua tangannya mencengkeram rambutnya. Ia tampak begitu frustasi.Ayana terus menatap Dindar dengan mata setengah terpejam. Namun buru-buru ia pejamkan matanya dengan rapat. Saat tiba-tiba Dindar menoleh menatap Ayana."Kamu istirahatlah, Ay. Aku keluar dulu." Tangan kekar Dindar mengusap pipi Ayana sebelum akhirya ia berdiri dan keluar dari kamar.*****Dimulai Ayana bangun, ia tak menemukan keberadaan Dindar sama sekali.Ayana tak tahu kemana suaminya itu pergi sedari semalam. Selain Dindar memang jarang memberitahu tentang kepergiannya kemana, sekarang Dindar pergi tanpa dengan sopirnya, bahkan Dindar tak membawa ponsel. Sebab Ayana liat sekarang ponsel Dindar ada di atas naskah kamar.Tangan Ayana mengambil ponsel suaminya yang jarang bahkan nyaris tak pernah Ayana sentuh itu.Karena itu Ayana penasaran dan ingin mengetahui isi ponselnya. Sebab Ayana penasaran dengan sikap Dindar yang menurut Ayana sangat aneh.Dengan membuka ponsel Dindar, siapa tahu Ayana dapat mengetahui sesuatu dari suaminya tersebut.Namun niat Ayana segera ia urungkan. Entah kenapa ia tiba-tiba takut. Oleh karena itu ia segera memasukkan ponsel Dindar ke dalam laci.****"Dokter Althan!" seru Ayana saat kakinya baru saja menginjak anak tangga terakhir di lantai bawah.Althan, tersenyum seraya berdiri dari duduknya. "Selamat pagi, Bu Ayana. Saya dikasih pesan semalam oleh suami Bu Ayana untuk memeriksa Bu Ayana."Aya sesaat terdiam dengan mata menatap penuh arti pada Althan. Hingga membuat Althan harus menundukkan kepalanya, merasa tak nyaman dengan tatapan Ayana.Setelah cukup lama menatap Althan, kaki Ayana melangkah menghampiri tempat dimana Althan berdiri."Sebenarnya sifat apa yang dimilik suamiku itu, Dok?" Ayana langsung bertanya pada Althan."Maaf, maksud Bu Ayam apa?" Althan masih tampak profesional dengan senyuman selalu mengiringi ucapannya."Aku rasa Dokter sudah tahu apa yang aku maksud. Setelah sering kali mengobati lukaku sebab perbuatan tuan dari Dokter Althan.""Maaf, Bu. Kalau itu saya tidak tahu. Sebab saya hanya bekerja disini."Ayana mendesah, ternyata tak mudah mengorek informasi dari Althan. Dokter suaminya tersebut."I beg you to help me. Beri aku sedikit informasi tentang tuanmu itu!" Wajah Ayana tampak melas dan menatap penuh harap pada Althan."Tapi saya benar-benar tidak ta—""Lihat ini." Ayana menyingkap lengan bajunya dan memperlihatkan luka memar pada Althan."Apa kau tidak kasihan padaku, Dok?" tanya Ayana sambil menatap Althan yang wajahnya kini tampak merasa iba pada Ayana."Lihat ini juga, Dok!" Ayana juga menyingkap dress nya hingga ke lutut. Menampakkan luka-lukan mem4r yang hijau dan keunguan tersebut. Tak hanya disitu, Ayana juga menunjukkan luka-luka lainnya yang nyaris semua bagian tubuh Ayana ada selain wajah. Sebab Dindar tak suka ada luka di wajah Aya yang menurutnya bisa membuat jelek di wajah cantik Aya."Apa Dokter tak ada keinginan untuk memberitahu sedikit saja informasi tentang suamiku itu. Kenapa ia mempunyai sifat yang menurut siapa saja yang tahu itu aneh. Aku tahu Dokter tahu sesuatu."Althan bergeming dengan pandangan dialihkan ke arah lain.Melihat itu, Ayana mengatupkan kedua tangannya di depan dada."Aku mohon, Dokter. Aku tak mengharapkan Dokter agar membantuku. Aku hanya ingin sedikit informasi saja mengenai suamiku. Agar lain kali aku bisa mengusahakan agar aku bisa terhindar dari amarahnya."Althan menoleh menatap Aya dengan raut iba."Kau tahu, Dok. Semalam ia mau mengikat dan melakban mulutku.""Apa?" Althan tampak terkejut."Jika tak separah itu, aku tidak mungkin meminta sedikit saja informasi tentang suamiku dari Dokter."Althan yang seperti sudah tergerak hatinya segera melangkah menghampiri Ayana."Apa Bu Ayana ingin tahu sesuatu tentang suami Bu Ayana?"Aya segera menganggukkan kepalanya. "Iya. Aku sangat ingin tahu.""Sebenarnya…."Ayana memasang telinga dengan tajam. Siap-siap mendengar penuturan Althan tentang suaminya tersebut."Sebenarnya…."_______"Sebenarnya apa, Dok?" tanya Ayana yang tak sabar untuk mendengar kelanjutan kata-kata dokter Althan.Althan tampak mendesah sembari mengusap wajahnya kasar."Maaf. Sebenarnya aku kurang tahu pasti dengan sikap yang dialami oleh suami Bu Ayana. Namun menurut prediksiku yang seorang dokter. Tampaknya suami Bu Ayana mengalami kepribadian ganda. Sebab jika saya lihat sepertinya setelah ia menyakiti Bu Ayana ia sangat menyesalinya. Dan saya bisa melihat itu sendiri saat Bu Ayana tak sadarkan diri sebab kepala Bu Ayana terluka karena perbuatan suami Bu Ayana."Ayana tampak menghela nafas. Tanpa Altha jelaskan pun kalau Dindar selalu menyesali perbuatannya pada dirinya, Ayana sendiri juga tahu itu. Cuman masalahnya Ayana tak tahu cara mengatasi sikap kelainan yang Dindar miliki itu. Sedangkan ia sudah tak tahan dengan sikap kasar Dindar.Ayana menjatuhkan diri di sofa sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku sudah capek dibuat seperti ini terus, Dok," keluh Ayana. Tampak frusta
"Aku adalah Aham!" ucap pria di depan Ayana."Aham?" Kening Ayana mengkerut seraya tampak berpikir dan mengingat-ingat. Apa ia mengenal atau pernah bertemu dengan pria yang mengaku bernama Aham tersebut."Abraham Pamungkas." Aham memperjelas namanya."Aku tidak mengenalmu. Dan aku rasa aku juga tak pernah punya urusan apalagi salah padamu. Oleh karena itu lepaskan aku," ucap Ayana. Pria itu tersenyum kecut. "Kau bilang kita tak pernah bertemu?" Aham semakin memajukan tubuhnya lagi. Hingga semakin dekat jarak antara Aham dan Ayana."Menjauh dariku. Kau salah orang. Kita tak pernah bertemu," sengit Ayana."Kita pernah bertemu, Ayana!" Mata Aham lekat menatap Ayana."Kapan? Dan dimana?" tanya Ayana. Dengan suara bergetar."Pada malam itu. Di pesta!""Pesta?""Tepatnya di depan toilet!"
"Akhh…!" Ayana terpel4nting saat tangan kekar Dindar menangkis tangan Ayana yang begitu cepat ingin menghvnuskan b3lati ke perut Dindar.Dindar segera meraih tubuh kecil Ayana yang tersungkur di lantai dan membawanya duduk di sofa.Namun sebelum itu ia membuang bekau yang dioegang Ayana, melemparnya jauh.Ayana tertunduk takut. Takut akan amarah Dindar sebab barusan dirinya berusaha meleny4pkan Dindar."Ayana!"Ayana memejamkan matanya masih dengan kepala menunduk. Seruan Dindar benar-benar membuat detakan jantungnya berpacu lebih cepat. Jangankan menatap Dindar, masih mendengar suaranya saja wanita itu begitu takut. Hingga tangannya berkeringat dingin juga bergetar."Lihat aku, Ayana!"Ayana semakin takut. Ia tak tahu, apalagi yang akan Dindar lakukan pada dirinya kali ini. Tangan Ayana satunya meremas tangan yang lainnya. Gugup da
"Be-benarkah yang aku dengar ini, Mas?" Suara Ayana bergetar saat menanyakannya. Saking terkejutnya mendengar ini kandung dari Dindar mati sebab bunvh diri.Dindar menjawab dengan anggukan kepala."Lalu...apa penyebabnya?" tanyanya lagi."Karena pengkhianatan Ayahku. Ayahku seorang perwira, namun ia tukang selingkuh. Setiap malamnya Ayah selalu membawa perempuan yang berbeda-beda ke dalam rumah. Aku dan Ibu setiap malamnya selalu mendengar rintihan wanita selingkuhan Ayah. Rintihan dan des4han dari wanita-wanita jal4ng Ayah. Oleh karena itu, setiap malamnya Ibu selalu menangis. Hingga pada suatu malam, saat aku baru saja masuk ke kamar Ibu, aku sudah menemukan Ibu bergantung ke sebuah tali." Dindar mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Sedangkan Ayana ternganga seolah tak percaya dengan apa yang ia barusan dengar dari cerita Dindar.Ayana tak menyangka bahwa Dindar ternyata punya kisah menyedihkan
Saat terbangun di pagi hari, Ayana langsung dikejutkan dengan keberadaan Dindar yang sedang duduk di pinggir kasur menatap Ayana.Ayana segera duduk dari posisi baringnya. "Ada apa, Mas?" tanya Ayana sebab merasa ada yang lain dari tatapan Dindar.Dindar tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Selamat pagi," seru Dindar. Ayana segera menyunggingkan senyuman manisnya. Tiba-tiba Ayana merasakan kalau Dindar sudah mengembalikan sikap awal waktu pertama Dindar mendekati dirinya. Begitu banyak kemanisan dan kelembutan dan tentunya sangat perhatian.Dalam hati Ayana berdoa. Semoga Dindar memang telah benar-benar berubah, sudah kembali seperti sifat sebelumnya."Aku sudah pesankan kamu sarapan. Makanlah." Tangan Dindar mengelus lembut kepala Ayana.Meskipun rasa Ayana pada Dindar sudah tak seperti sebelumnya yang mencintai Dindar, namun Ayana merasa senang dan bahagia dengan perlakuan lembut dan perhatian Dindar saat ini. Walaupun sebelumnya Ayana ada keinginan untuk berpisah dari Dind
"Sekarang kau mengerti, kan, Ayana? Kenapa kamu harus mendengarkan aku. Aku mengatakan ini padamu karena kasihan. Kau tak tahu apa-apa tentang Dindar." Aham berkata dengan tatapan yang begitu serius. Seolah ingin memperlihatkan pada Ayana bahwa apa yang dikatakannya adalah sebuah keberan.Sejenak Ayana masih termangu dengan kata-kata Aham, namun untuk selanjutnya ia menggelengkan kepala."Tidak. Kau salah. Kau yang tak tahu apa-apa tentang Dindar. Dan sekarang aku sudah tahu. Aku tahu kenapa dia punya sifat seperti itu," ucap Ayana penuh keyakinan."Aku sudah sangat percaya padanya. Dan seharusnya aku kemarin tak percaya sama kamu," ucap lagi Ayana."Kau harus lebih percaya aku, Ayana.""Kau siapa. Kenapa aku harus percaya kamu," tanggap Ayana. Sengit. "Aku tidak kenal kamu.""Lalu apa kau kenal Dindar.""Dia suamiku.""Suami akan memberikan surga untuk istrinya tapi dia akan memberikan neraka untukmu, Ayana.""Aku tidak percaya kata-katamu lagi. Aku tidak tahu ada masalah apa kamu s
Jika saja Ayana punya keberanian, sedikit saja. Tentu ia akan menghampiri Dindar dan menanyakan tentang status wanita yang bersamanya. Ayana benar-benar tak menyangka bahwa ia akan diselingkuhi oleh Dindar. Ia kira Dindar hanya punya sikap kasar terhadapnya, namun ternyata Dindar juga menduakan dirinya.Ayana memilih pulang dengan membawa hati yang terluka. Entah nasib apa yang ia punya hingga segitu buruk kisah hidup yang ia alami.Setibanya di rumah, Ayana segera mencuci muka sebersih-bersihnya untuk menghilangkan air matanya yang terus mengalir. Ia benci dengan air mata yang terus mengalir karena Dindar. Lebih-lebih karena diselingkuhi Dindar. Seharusnya Ayana tak merasa sakit hati hingga harus menangis sebab diselingkuhi pria kasar sepertinya. Karena Ayana mengakui sendiri bahwa rasa cinta untuk Dindar sudah mulai memudar tatkala pria itu mulai berlaku kasar pada dirinya.Namun naluri keistriannya yang membuat Ayana merasa tak terima dikhianati Dindar. Walau bagaimanapun Ayana
Ayana segera mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Sekuat mungkin ia menahan diri agar sampai tak menangis dan mengeluarkan air mata.Dindar segera menghampiri Ayana yang terduduk di lantai. Sambil berjongkok, tangan kekar Dindar menarik rambut Ayana dan menghadapkan wajah Ayana pada Dindar."Akhh…!" Ayana meringis kesakitan tatkala Dindar semakin kuat menarik rambut Ayana."Kenapa kau menunjukkan wajah jelekmu?" Gigi Dindar bergemeletuk. "Apa kau tak menyukaiku, heum?" Tarikan tangan Dinar semakin kuat di rambut Ayana."Jawab, Ayana. Kenapa kau menampakkan raut wajah masam?" bentak Dindar."Bukankah, kau sudah ada wajah cantik lain yang tentunya lebih sedap dipandang oleh dirimu?""Apa?" Mata Dindar melotot. Otaknya mulai mencerna apa yang dikatakan Ayana."Aku sudah tahu perselingkuhanmu, Mas!" ucap Ayana tanpa ada ketakutan sama sekali dalam dirinya."Oh, jadi kau—""Iya, Mas. Aku tahu semua. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Mas Dindar bercumbu mesra dengan wanita selingku