“Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih telah memberi kami rezeki makanan yang tak terduga. Terima kasih masih memberikan kesempatan pada anak saya untuk bisa merasakan makanan enak. Terima kasih, Ya Allah.” Intan berulang kali berkata demikian di dalam hatinya. Dia yang sudah putus asa ternyata Allah kirimkan orang baik untuk membantunya. Abid dan Aldo merasa sangat senang karena bisa makan sate. Mereka makan dengan sangat lahap sekali. Intan yang hendak meneteskan air mata, buru-buru menghapusnya karena tak ingin dilihat oleh sang anak. Tak tahu harus kemana, Intan dan kedua anaknya masih bertahan di masjid itu. Saat itu jarum sudah menunjukkan pukul delapan malam. Masih ada beberapa jamaah yang bertahan di masjid. “Aku harus kemana sekarang? Anak-anak juga sudah tidur. Bagaimana ini?” gumam Intan seorang diri. Tiba-tiba saja ada perempuan yang menghampiri Intan yang tengah kebingungan. “Maaf, Bu, apa ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan muda itu.“Saya sejak tadi memperli
“A—ada apa, ya, ini, Pak?” tanya Intan pada dua orang laki-laki bertubuh tegap di depan pintu kamarnya. Mereka berdua memakai seragam polisi yang membuat Intan ketakutan setengah m*ti. “Selamat pagi! Mohon maaf kalau kedatangan kami mengganggu. Kami hanya melakukan patroli rutin ke penginapan-penginapan di dekat sini. Boleh kami minta identitasnya? Dan boleh kami periksa ke dalam?” kata salah seorang polisi kepada Intan. Sungguh ini adalah pengalaman pertama bagi Intan. Oleh karena itu, dia sangat gugup menghadapinya. Seumur-umur baru kali ini dia berhadapan langsung dengan polisi. “Bo—leh, Pak. Silahkan!” Intan mengizinkan polisi untuk memeriksa ke dalam. “Tapi mohon maaf, Pak, untuk identitas asli saya tidak ada. Kemarin saya habis kena jambret dan kebetulan KTP saya ada di tas yang dijambret. Tapi, saya punya salinannya, Pak. Tunggu sebentar saya ambilkan!” Intan membuka tas jinjing yang berisi baju itu. Dia meletakkan dokumen penting seperti buku nikah, akte kelahiran anak da
“Hey, Intan …” Suara perempuan yang sudah tidak ingin didengar Intan. Perempuan itu berdiri tepat di depan Intan saat ini. “Mau apa kamu? Jadi, semua orang ini suruhan kamu?” tanya Intan ketus. “Tentu saja. Apa, sih, yang gak bisa buat aku? Asalkan ada uang, semuanya beres!” Perempuan itu menjawab dengan nada yang angkuh. “Dan kamu tahu gak kalau yang membayar ibu kontrakan kamu yang dulu itu aku? Gak tahu, ya! Ya sudah sekarang aku kasih tahu kamu. Itu aku sengaja membayar bisa mau mengusir kamu dari sana,” sambungnya lagi. “Apa? Astaghfirullah hal adzim! Belum puas kamu menyakiti hatiku dan anak-anak? Apalagi yang akan kamu lakukan? Ini sudah sangat keterlaluan!” Intan begitu terbawa emosi hingga tak sadar dirinya bicara sambil berteriak. Hingga orang-orang yang ada di sana memperhatikannya beberapa detik. “Belum! Kamu belum menderita seperti aku dan ibuku, Intan! Aku akan lebih buat kamu menderita lagi dan lagi!” Terlihat sekali amarah perempuan itu meluap. “Kenapa kamu seper
“Assalamu'alaikum.” Suara Intan menarik perhatian orang yang berkerumun di rumah Ibu Lastri. Mereka semua menoleh ke belakang melihat Intan yang berjalan ke arah rumah Ibu Lastri. Satu di antara kerumunan ibu-ibu itu menghampiri Intan dengan tergopoh-gopoh. “Ini Intan? Betul Intan, kan?” kata Ibu itu. Intan mengangguk dan ibu tadi langsung memeluk Intan dengan sangat erat. Ibu itu adalah Ibu Marni yang juga adik dari Ibu Lastri—ibunya Intan. “Ada apa ini, Bulek? Kenapa di rumah banyak orang?” tanya Intan sambil melihat sekeliling. “Ibumu, Nduk! Ibumu …” ujar Ibu Marni tanpa penjelasan apapun. “Ibu kenapa, Bulek? Ibu baik-baik saja, kan?” Intan mulai panik karena Bu Marni bicara sambil menangis. Tanpa menunggu jawaban Bu Marni, Intan langsung merangsek masuk ke dalam rumah. Dia meninggalkan Abid dengan Bu Marni, sedangkan Aldo ada digendongannya. “Ibu …” lirih Intan saat melihat ibunya terbaring di dipan ruang tamu. Ibu Lastri tak berdaya. Di samping Ibu Lastri, ada seorang l
“Ibu kenapa? Ibu kenal dengan Ibu Linda? Jawab, Bu!” Intan mulai ketakutan jika apa yang diucapkan Dona benar adanya. Jika melihat dari gelagat Ibu Lastri, Intan mempunyai keyakinan jika benar apa yang dikatakan Dona kepadanya. Tapi, dia juga tidak mau langsung menghakimi sang ibu sebelum tahu cerita dari pihak ibunya. “Jawab Intan, Bu! Ini sangat penting untuk Intan tahu,” desak Intan. “Apa benar Ibu ada hubungan dengan suami Ibu Linda?” Intan terus saja mencecar ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia bahkan lupa kalau sang ibu baru saja sakit. “Tidak! Bukan begitu, Intan. Mana mungkin Ibu mengkhianati ayahmu. Semua itu fitnah,” sanggah Ibu Lastri dengan cepat. “Lalu, kenapa Dona berkata lain, Bu? Dia bilang kalau Ibu dan ayahnya main belakang. Yang benar yang mana? Apa Ibu tahu sekarang aku kena imbasnya?” Intan tak tahan lagi. Dia menangis sesenggukan. Menangis tanpa suara sangatlah menyakitkan. Dia sebenarnya mencoba untuk kuat, tapi nyatanya tak bisa. “Kamu kenapa, N
Setelah Intan berangkat, Ibu Lastri kembali masuk ke dalam rumah untuk menemani cucu-cucunya bermain. Badannya memang sudah lebih baik karena sudah minum obat. Jika tidak bertemu dengan anak majikannya itu, Ibu Lastri tidak tahu lagi nasibnya. Bisa jadi dia sudah beda alam dan tidak bisa lagi bertemu dengan anak serta cucu-cucunya. “Kakak sama adik main apa ini? Masya Allah akur terus, ya, cucu nenek. Nenek boleh ikut main?” ujar Ibu Lastri. Dia ikut duduk bersama kedua cucunya. Abid dan Aldo kompak menganggukkan kepala. Selain karena obat, Ibu Lastri bersemangat sembuh karena anak dan cucunya pulang. Walaupun kedatangan anaknya memberi kabar kurang baik, Ibu Lastri tetap bersyukur karena masih diberi umur untuk bertemu sang anak. Setengah menemani cucunya main selama kurang lebih satu jam, Ibu Lastri terlihat duduk di atas dipan sambil melihat kedua cucunya yang sedang menonton televisi. Pikiran Ibu Lastri kembali teringat akan pertanyaan yang dilontarkan Intan kepadanya. Ingata
“Bukannya kamu yang kemarin menolong Ibu saya?” ucap Intan ketika melihat Bagas di rumah yang dia tuju. Bagas mengangguk dan berkata, “Iya. Kenapa kamu kemari?” “Kemarin saya belum berterima kasih. Mumpung sekarang ketemu, saya ucapkan terima kasih karena berkat kamu, Ibu saya sekarang baik-baik saja,” ujar Intan sambil menunduk sebentar. “Saya kemari untuk menggantikan Ibu saya agar Ibu bisa istirahat lebih dulu,” sambung Intan lagi. “Oh begitu. Kal—“Ada siapa, Gas?” Ada seseorang yang memotong ucapan Bagas. Mata Intan tertuju pada sumber suara. Dari arah dalam rumah, muncul wanita cantik bergamis dan berjilbab bergo warna merah maroon. Wanita itu diperkirakan berumur lima puluhan tahun. Walaupun sudah kepala lima, wanita itu terlihat masih muda dan cantik. “Ini ada anak Ibu Lastri, Ma. Katanya dia mau gantiin Ibu Lastri sementara waktu,” kata Bagas menjelaskan. Ternyata wanita itu adalah ibunya Bagas yang itu berarti majikan Ibu Lastri yang bernama Ibu Dewi. Dalam hatinya, I
Ibu Lastri kembali bercerita soal masa lalu. Ternyata Ibu Dewi dan Ibu Lastri dulunya bersahabat. Persahabatan mereka sangat erat bahkan sampai menikah pun mereka di tahun yang sama. Saat memiliki anak, keduanya berencana menjodohkan anak mereka berdua. Walaupun pada akhirnya kedua anak mereka tak berjodoh karena pada waktu itu Ibu Dewi pindah ke luar negeri ikut suaminya. “Apa kamu lupa sama Bagas, Nduk? Dulu kalian sering bermain bersama saat masih kecil. Umur kalian saat itu tiga tahunan.”“Pasti kalian berdua tidak ingat. Tapi tak apa. Itu kenangan terindah buat Ibu karena saat itu ayahmu masih hidup.” Ibu Lastri menghela nafas berat. Rasa rindu pada orang yang sudah tidak bisa dilihatnya adalah hal yang menyakitkan. Betapa beruntungnya dia memiliki seorang suami yang sangat sabar dan mau menerima kekurangannya. Menurut cerita Ibu Lastri juga, ayah dari Dona kabur begitu saja dan sampai sekarang tak diketahui rimbanya. Mungkin karena itulah Ibu Linda menjadi depresi. Intam ki