Feeling Tante Sonya mengatakan jika sebenarnya keadaan Gerald kemarin itu sedang tidak baik-baik saja. Itu bisa dia bandingkan dengan raut wajah Gerald antara saat ini yang tampak jauh lebih cerah dan semringah. "Gak rahasia sih, Tan. Hanya memang kurang enak didengarnya.” Gerald akirnya menjawab pelan dalam keragu-raguan. Hatinya terus bertanya-tanya apakah pantas dia menceritakan keadaan dirinya yang sejujurnya. “Apa tuh yang kurang enak didengar? Bicara jujur aja Ger, gak usah ragu, siapa tahu tante bisa bantu solusinya kalau memang itu sesuatu yang kamu butuhkan.” Tante Sonya sengaja melontarkan kalimat itu agar Gerald tidka merasa sendirian dalam mengatasi kesulitannya. “Hmm memangnya beneran Tante mau tahu?" tanya Gerald seraya menebak-nebak isi kepala lawan bicaranya. "Iya lah, Ger. Kalau gak mau tahu, ngapain juga tanya-tanya kamu terus. Dari kemarin, tante merasa sebenarnya ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ada apa sih Ger?" Tante Sonya bicara semakin lembut, tak uba
Umi Anisa bergelinjang manja dan menggoda. Dia meramas-remas kedua payudaranya sendiri sambil mendesah-desah lembut mengiringi setiap gerakan tangannya. Wanita yang kesehariannya terkesan sangat alim dan setia itu benar-benar telah terbakar libido dan gairah seksualnya. Bang Andre yang bertubuh tinggi besar dan bekulit agak gelap itu pun berdiri gagah. Tangan kanannya memegangi dan memainkan batang kejantanannya. Sinar matanya nanar menatap sayu Umi Anisa yang menggelinjang di atas kasur. Mereka saling bertatapan dan saling beradu senyum mesum yang tersungging dari keduanya. Dengan gerakan perlahan, layaknya binatang berkaki empat, Bang Andre naik ke atas ranjang mendekati tubuh bugil Umi Anisa. Kedua tangan Bang Andre memegangi kedua paha istri Ustad Umar itu dengan lembutnya, lalu melebarkannya. Tak lama kemudian Bang Andre menunduk lalu membenamkan wajahnya di selangkangan Umi Anisa. “Oooowhsss, Andreee ssssst…” Umi Anisa melenguh panjang dengan kepala menghentak. Sementara kedua
**Biar tdak membosankan cerita akan dilanjut dengan POV Gerald** Entah berapa lama aku tertegun duduk di dalam kamar kostku. Tak tahu harus berbuat apa, dan yang pasti masih tidak percaya dengan yang baru saja aku saksikan namun nyata adanya. Bayangan bersetubuhn antara Bang Andre dengan Umi Anisa masih terus menari-nari dalam benakku. Ternyata orang-orang yang selama ini aku hormati dengan sepenuh hati, tidak lebih mulia dariku. [Nak Gerald, siap-siap ya. Sebentar lagi kita berangkat lagi ke rumah sakit. Umi juga ketiduran barusan baru bangun, ini baru mau mandi] Sebuah pesan masuk dari Umi Yani, sontak membuyarkan lamunanku. Dan tanpa menuda waktu aku segera mengganti pakaian, lalu mengeluarkan kain sarung dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam tas soren. Lalu setelah berpamitan pada ibu kostku yang kebetulan sedang nonton tv, aku pun segera berangkat ke rumah Umi Yani. Ketik di tengah perjalanan Umi Yani mengirimkan pesan lagi. [Nak Gerald, masuk langsung aja lewat dapur
Umi Yani pun langsung menolak. Posisinya yang dekat dengan kamar mayat menjadi pertimbangannya. Namun beliau pada akhirnya menyerah setelah benar-benar tidak ada lagi tempat yang bisa ditempati. Aku pun berjanji untuk berjaga sepanjang malam, menemaninya tidur. Pikiran kotorku pun sudah hilang entah kemana. "Janji ya Gerald, kamu harus bangunkan umi kalau mau kencing atau beli rokok. Soalnya umi takut ditinggal sendirian, apalagi dekat…..," ucap Umi Yani dengan wajah yang tampak masih pucat dan cemas. Aku tahu dia sangat terpaksa menerima tawaranku dan belum bisa membuang rasa takutnya. "Persediaan rokok saya lebih dari cukup sampai pagi, Umi. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi, paling kecing, itu pun kalau gak bisa ditahan, hehehe," jawabku sambil cengengesan. Sengaja bercanda agar dia tidak terlalu merasa takut dan tegang. Akhirnya kami menggelar tikar dan plastik di teras bangunan yang jaraknya tidak lebih dari tiga meter dengan ruang kamar jenazah. Ternyata nyaman juga menempat
“Ger, pu…pu,…punya kamu ge..gede amat,” Bisikan yang sudah kuduga sebelumnya. “Ini beneran punya kamu?” tanyanya sambil terus meremas dan menggenggam batang rudalku. “Iya Mi, masa punya orang saya bawa-bawa, emangnya kenapa, Mi?” tanyaku pura-pura tak mengerti. “Gila, ini punya kamu gede amat, Gerald. Usia kamu berapa, sih?” Umi Yani tampak makin penasaran. “Hehehe, umi suka gak sama yang gede panjang dan keras?” Aku balik bertanya dengan mengacuhkan pertanyaannya. “Ini sih udah kaya punya orang bule, Ger. Kamu keturuan Arab sih ya.” Umi Yani semakin penasaran namun tangannya semakin gemas mencengkeram batangku yang masih dalam celana pendekku. “Emang Umi tahu punya orang Arab atau orang bule itu gede panjang?” tanyaku iseng dan sejujrunya penasaran dari mana dia tahu itu. “Pernah liat di internet, tapi…” ucapnya tidak selesai. Mungkin dia malu merasa keceplosan. “Hehehe Umi mau menikmatinya yang ada digenggaman Umi gak?” godaku sambil mengedut-ngedutkan batang rudalku yang maki
Subuh-subuh aku sudah kembali ke kostan karena harus kuliah. Umi Yani menyelipakan uang buat sarapan yang jumlahnya aku pikir lebih dari cukup buat 20 kali sarapan. Aku sudah menolaknya namun dia memaksa. Sungguh tidak terduga keberuntunganku minggu-minggu ini. Mungkinkah setelah bertemu dengan Tante Sonya aku menjadi sangat bersemangat dan percaya diri hingga semua terasa sangat mudah dan ringan untuk dijalani. Di kampus pun aku sudah kembali gaul dan berinteraksi dengan teman-teman karena pikiranku mulai tidak terlalu terganggu dengan problema keuangan. “Eh Dit kapan kerjaan dari Tante Intan itu pastinya?” tanyaku saat sama-sama hendak ke kantin. “Gak tahu, gua juga belum ketemu lagi sama dia. Lu hubungi langusng aja, kan ada nomornya,” saran Dito. “Gak enak juga sih. Entar aja deh nunggu dia ke sini, hehehe,” balasku seraya cengengesan malu-malu. “Proyek tambahannya, ngelonin dia, mau gak, Bro?” Tiba-tib Dito berbisiki di telingaku. “Hah! pala lu bau asbak! Dia kan mertua kak
“Oh gitu?” tanggapku seraya melongo karena tadi malam tak secuil pun Umi Yani membahasnya. “Iya, makanya kami datang mendadak untuk mengurus dan memastikan segalanya. Kalau deket sih, mungkin kami juga masih butuh tenaga Gerald. Tapi kalau di Jakarta kan bisa ngeganggu kuliah Gerald, iya gak?” “Iya sih Mas. Wah syukur kalau mau dirawat yang lebih baik. Saya hanya bisa turut mendoakan semoaga Pak Ustad bisa segera cepat sembuh dan kembali seperti biasa.” “Amin.” “Dan ini, maaf, jangan dianggap penghinaan. Mohon diterima, bukan gaji tapi sekedar ganti uang sabun dan uang lelah aja, Ger,” ucap Mas Budiana serya menyerahkan amplop yang kurasa sangat tebal. “Aduh Maaas, sa..” Aku berseru kaget. “Sssst, sudahlah jangan ditolak, mohon diterima. Mohon maaf jika jumlahnya tidak sesuai. Intinya kami menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati Gerlad.” Belum sempat aku menjawab, tak lama berselang Ustad Umar, Umi Anisa dan Bang Andre datang. Sepertinya mereka juga akan ikut ke Jakarta men
Saat tiba di rumah sakit, aku benar-benar tersentak tak percaya. Ternyata di sana sudah ada Tante Sonya yang sedang menjenguk Ustad Buyamin. Awalnya aku hampir tak percaya jika Tante Sonya benar-benar menjenguk suaminya Umi Yani. Mengapa mereka saling kenal? Setelah dijelaskan baru aku paham. Perushaan Mas Budiana ternyata salah satu partner bisnis perusahaan Tante Sonya. Antara mereka sudah sering bekerja sama, bahkan Tante Sonya sudah lama saling mengenal. Ketika mengetahi Mas Budiana ada di Bogor, Tante Sonya langsung menemuinya sekalian menjenguk Abinya Mas Budianan yang perawatannya akan dipindah ke Jakarta. “Seperi sebuah sinetron ya, Ger,” ucap Tante Sonya saat kami berdiri berdua melepas ambulance yang akan membawa suaminya Umi Yani ke Jakarta. “Amazing banget Tante, hehehe,” balasku masih sedikit excited. “Tante aja sampe kaget saat Umi Yani bilang kalau yang nemein dia selam di rumah sakit itu Gerald. Aku rasa pasti kamu, karena nama Gerald di sini sangat jarang. Dan ter