Share

Bab 4 : Putus

Sean Gervino berada di hadapanku. "Lura? Kamu ngapain di luar? Nggak belajar? Itu pipi kamu juga kenapa?"

Aku menatapnya sinis, "Lo peduli?"

Sean memiringkan sedikit kepalanya dan tersenyum bingung, "Ma-maksud kamu apa? Jelas aku peduli. Aku pacar kamu."

Sean berjalan mendekat dan menggenggam tangan kananku, "Kita ke UKS, ya? Obatin luka kamu. Takutnya terinfeksi."

Hahaha, dasar sialan. Bisa-bisanya dia bertingkah sok peduli padaku padahal dia hanya mempermainkan aku.

Langsung saja aku menepis tangannya dengan kasar membuatnya terkejut. Ya, Allura yang terkenal sangat baik pada orang-orang sangat jarang bertingkah kasar, bahkan aku tidak pernah memperlihatkan sisi kasarku pada mereka. Jelas saja dia terkejut.

"Lu-lura?"

"Nggak usah pegang gue," tegasku.

"Kamu kenapa sih? Cara ngomong kamu juga kenapa berubah gitu? Aku buat salah?"

Senyum miring terbit di wajahku. "Keren juga lo. Gue tersanjung dengan akting lo. Gue sampai tertipu selama ini." Aku bertepuk tangan tepat di depan wajahnya yang bingung. "Gue benar-benar kagum dengan akting lo. Kerja bagus!"

"Lura ... kamu kenapa? Kamu marah karena semalam aku mengabaikan pesan kamu? Aku kan udah bilang, aku temani mama ke rumah temannya."

Sean kembali menggenggam tanganku lembut, "Maafin aku, oke?"

Tangannya kembali ku tepis. "Gue nggak butuh maaf dari lo. Lebih baik lo kembali ke lapangan."

"Pak Yoshua sedang rapat. Sekarang kamu jelasin sama aku, kamu itu kenapa? Apa yang bisa aku lakukan supaya kamu berhenti marah sama aku."

Lucu. Dia pikir aku marah padanya karena dia mengabaikan pesanku. Padahal karena dia yang selingkuh dengan sahabatku sendiri.

Memangnya aku kurang baik apa daripada Ceysa? Bahkan saat tadi malam aku ingin menenangkan diri dengan bertukar pesan dengannya, dia tidak peduli. Aku bahkan belum memberitahunya soal kesedihanku semalam, dan ternyata dia pacaran dengan Ceysa. Brengsek.

"Lura?"

"Kita putus."

Mata Sean membelalak. Ia kembali berusaha mengambil tanganku, tapi langsung ku tepis. "Lura, jangan kayak gini. Aku tau aku salah semalam, tapi memangnya itu alasan yang tepat untuk putus? Kamu tau aku memang sering sibuk, kan? Ini bukan pertama kalinya. Ja--"

"Ya. Bukan pertama kalinya. Dan sekarang gue tau alasan sikap lo itu."

"Maksud kamu? Karena aku sibuk, kan?"

Muak. Aku sangat-sangat muak dengan semua kepalsuan ini.

Tidak tahan, aku langsung menamparnya sangat keras. Bahkan dapat aku liat teman Sean di pinggir lapangan yang melihat kami terkejut.

"Lu-lura? Kamu apa-apaan? Kenapa nampar aku?"

"Lo masih nanya? Mau sampai kapan lo pura-pura sayang sama gue, hah?! Mau sampai kapan lo mempermainkan gue?!" Dadaku naik turun karena emosi. Rasanya aku benar-benar ingin menginjak-injak wajahnya. "Emang, ya, lo cocok sama Ceysa. Sama-sama bangsat."

Wajah Sean terlihat sangat terkejut. "Lu-lura ..."

"Bisa-bisanya lo mempermainkan gue?! Emangnya gue kurang apa?! Harusnya lo nggak usah mempermainkan gue! Lo pikir gue boneka?! Atau gitar lo itu yang selalu lo mainkan terus saat udah rusak atau lo nggak butuh lo buang gitu aja?!"

"Lura ... aku bisa jelasin ... Kamu salah paham."

"Salah paham lo bilang? Jelas-jelas gue dengar sendiri di toilet tadi! Ceysa sendiri bilang kalau lo pacar dia sekarang!"

"Lura ... aku ..."

"Stop! Gue nggak mau dengar penjelasan dari lo lagi. Gue nggak mau lagi kenal sama orang kayak lo."

Sean mengambil kedua tanganku dan menggenggam erat, "Aku benar minta maaf sama kamu. Aku bisa jelasin semuanya. Aku juga mau bilang sesuatu sama kamu."

"Apa lagi, hah?! Lo mau bilang kalau lo memang sayang sama Ceysa dari dulu dan lo cuma mempermainkan gue?! Nggak perlu! Gue udah tau semua!"

Aku melepaskan tanganku dari genggaman Sean.

"Lura, plis. Aku--"

"Gue bilang stop!! Jangan jelasin apa-apa lagi. Mau lo jelasin kayak gimana pun, gue nggak akan maafin lo."

Hatiku kembali sesak. Sangat sakit.

Aku menutup mata. Menahan air mata yang mau kembali keluar. Aku jelas tidak mau menangis di depan orang yang sudah mempermainkan perasaanku.

Setelah sedikit tenang, aku kembali menatap tajam Sean, "Intinya gue mau putus."

"Lura ..."

"Congrats hubungannya sama Ceysa. Semoga kalian langgeng," ucapku dengan senyum palsu. Dan langsung meninggalkannya. Senyumku itu langsung luntur begitu saja. 

Aku tidak mau mengenal orang seperti Sean ataupun Ceysa lagi. 

Aku terus berjalan ke rooftop sekolah yang berada di atas gedung seni yang terdapat ruang seni musik, tari ataupun ruang untuk pelajaran seni rupa.

Di rooftop, hanya ada sofa panjang dengan meja di depannya dan pagar pembatas. Tempat ini sering didatangi anak-anak yang bolos ataupun sekedar untuk merokok. Untunglah sedang tidak ada orang di rooftop ini, jadi aku bisa menenangkan pikiran.

Aku duduk di sofa yang terlihat rusak di beberapa bagiannya dan meletakkan kedua kakiku di atas meja. Menatap langit biru yang bersih dari awan, sangat indah.

Aku tersenyum getir. Ayah sangat suka dengan kondisi langit seperti sekarang.

Ayah kemungkinan besar tidak akan bisa menatap langit lagi. 

Mataku kembali berkaca-kaca. Tanpa bisa kutahan, air mataku kembali lolos. 

Aku membiarkan diriku menangis sekarang. Toh, tidak ada orang yang berada di tempat ini selain aku. Kalaupun ada, aku tidak peduli lagi.

Aku hanya berharap ada keajaiban yang membuat ayah sembuh dan kembali sehat. Rasanya sangat menyakitkan laki-laki yang sangat aku sayang terbaring lemah dan tidak berdaya.

Aku menutup mataku, menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Semua ini menyiksa ... Kapan semua ini berakhir?"

Aku sangat lelah dengan semua ini. Kenapa masalah terus datang silih berganti? Apa aku sudah melakukan kesalahan dan ini hukumanku?

Bukannya, aku selama ini berusaha jadi anak baik? Anak yang tidak pernah meminta atau menuntut hal secara berlebihan. Tapi kenapa?

"Kenapa ... Kenapa ... Hiks ..."

Aku menurunkan kakiku dan menutup wajahku dengan telapak tanganku.

Aku hanya sedih dengan keadaan ibu. Ibu saat ini sangat terluka. Bahkan ibu bilang dia yang akan mencari uang.

Aku jelas tidak mau ibu mencari uang. Aku ... aku ... takut ibu jadi seperti ayah ...

Aku bukannya mendoakan, tapi aku hanya takut saja. Aku tidak mau kehilangan ibu.

"Lo tanya gue?"

Aku berhenti menangis dan menoleh. Terlihat seorang laki-laki di dekat sofa sambil menatapku datar. Aku melihat lambang kelasnya dan dia ternyata kakak kelas.

"Yang ... bicara sa-sama Kakak siapa?" Suaraku masih sedikit sesenggukan.

Aku menghapus air mataku dengan kasar dan lupa ada luka di pipiku. Aku kembali meringis saat tidak sengaja mengenai lukaku.

"Tadi lo tanya kenapa."

Masih setengah meringis, aku menatap kakak kelas itu jengkel, "Gue bukan bicara sama Kakak."

"Terus?"

"Gu-gue bicara sendiri."

Alis laki-laki itu terangkat, "Udah gila lo?"

Aku memutar bola mataku jengkel,  "Lebih baik Kakak pergi sekarang. Jangan bikin gue emosi."

"Padahal ini tempat gue biasanya. Kali ini gue biarin lo di sini supaya bisa nangis sepuasnya."

Mataku melotot, "Siapa yang nangis?!"

Aku menarik kembali ucapanku tadi kalau aku tidak peduli jika ada yang datang. Nyatanya aku malu karena dilihat kakak kelas menangis.

"Lo."

"Gu--"

"Nih." Dia memberikanku plester luka.

Meski dengan kening berkerut, aku mengambilnya, "Buat apa?"

Dia memutar bola matanya, memasukkan kedua tangannya kembali ke kantong celana. "Nutup luka. Buat apa lagi memangnya?"

"Eh?"

"Luka harus ditutup segera agar nggak semakin terluka. Tapi kalau lo nggak mau, itu terserah lo. Tapi rasa sakitnya akan membuat lo semakin sakit kalau nggak ditutup dan diobati secepatnya."

Aku terdiam.

Belum sempat aku berterima kasih, dia sudah pergi.

Aku menatap plester luka di tanganku. Entah yang dia maksud luka di pipiku atau yang ada di hatiku sekarang, tapi setidaknya aku sadar. Luka memang harus segera diobati. Jika dibiarkan, hanya akan membuat penderita semakin terluka.

-Bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status