Sementara Adrian yang sejak tadi bersama dengan gadis cantik itu, kini duduk di bawah pohon beringin. Tidak ada yang tahu dia sampai di sana dengan naik apa? Sedangkan tangannya masih membawa tisue untuk mengelap bibirnya yang kotor bekas soto di warung tadi. Terlihat dari rona wajahnya berseri melihat pohon beringin yang besar. Gadis yang bersamanya juga nampak makan soto di sana dengan lahap. Keringat terlihat menetes di dahi, dan bibirnya yang merah berkali-kali maju dan berdesis kepedesan sambal.
Adrian terlihat serius sambil tersenyum melihat ke arah gadis itu. Sering kali tangannya mencoba bergerak maju ke dekat gadis itu, tetapi selalu diurungkan saat gadis itu sudah mengelap keringat dengan tangannya. Berada berdua dengan angin sepoi yang mulai datang, daun pohon beringin yang berguguran tidak membuat Adrian tersadar. Dia terus saja melihat ke arah gadis cantik itu dengan sesekali mulutnya ikut berdesis.
“Kepedesan ya? Mau minum?” ucap Adrian tanpa kedip menatap gadis cantik.
“Eh enggak, nanti aja! Gue habiskan dulu, ini enak sekali sotonya! Mantap! Lu tadi dah makan sotonya kan?" ucap gadis itu tanpa melihat ke arah Adrian yang sedang asyik menatap ke arahnya seraya menganguk.
"Emm ... boleh kenalan nggak, Neng?"ucap Adrian sambil mengangkat tangan untuk minta jabat tangan.
Akan tetapi gadis itu tidak memperdulikan, bahkan dia terus saja makan dan menghabiskan satu mangkok soto ayam. Sesekali menyeka keringat dan mengelap dahi dengan tangannya, terkadang dengan baju yang dia kenakan. Membuat parasnya yang cantik terlihat polos tanpa riasan apa pun itu terlihat seksi di mata Adrian. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Adrian, bahkan keadaan sekeliling yang kotor tidak dia hiraukan sama sekali. Hingga beberapa menit berlalu, soto sudah habis ludes tak bersisa. Gadis itu kembali duduk berjejer dengan Adrian dengan tangan diremas di pangkuannya.
“Lu tadi nanya apa? Mo kenalan ama gue? Hehehe kenapa baru sekarang nanyanya? Enggak apa sih tapi ada syaratnya.”
“Apa?” Tatapan Adrian semakin tak berkedip. Perasaannya sudah tertarik dengan gadis yang sekarang duduk tepat di hadapannya.“Enggak sulit kog, hanya sayang saja ama gue. Jangan pikirkan gue itu siapa dan dari mana asalnya, itu saja. Lu tahu enggak, kalo daerah sini itu angker? Lu nggak takut gitu, berkenalan ama gue?” ucap gadis itu tanpa menoleh sedikit pun ke Adrian.
Sementara Adrian hanya tersenyum mendengarnya. Bahkan duduknya dia geser lebih mendekat ke arah gadis itu. Dia bahkan tidak perduli jika yang dipakai alas adalah tanah yang belum kering dan ada kotoran burung. Jauh berbeda saat dia bersama dengan Wandi, temannya yang justru masih duduk pada tanah yang tidak ada kotoran burungnya.
“Baiklah gue terima syaratnya. Tak apalah asalkan bisa kenalan ama elu udah cukup.Gue gak merasa apa-apa tuh, gimana? Boleh nggak kenalan? Nama gue Adrian setiap hari lewat sini.”
Adrian menoleh ke sekeliling, dan kembali menatap gadis cantik yang mulai menguap berkali-kali. Terlihat dia menahan kantuk dengan mengerjapkan mata dan menguceknya berkali-kali. Gadis dengan rambut panjang terurai itu kemudian memutar tubuhnya menghadap Adrian dengan jarak satu meter.
“Hehehe ... gue biasa di panggil dengan nama Hesta, setiap hari mainnya di sini, kagak punya temen sih. Itu rumah gue ada di belakang pohon ini,” jawabnya sambil matanya mulai mengerling manja ke arah Adrian yang tidak lepas melihat ke arahnya.
“Oh, Hesta nama elu? Cantik ....”
“Hahaha ... ada aja lu ini. Mana ada gadis hutan yang cantik, mata udah rabun kali hahaha ... atau ini hanya rayuan lu saja? Kagak bakal mempan, yang ada lu terpesona ama gue, ya kan?” ucapnya lirih dengan kerling mata menggoda."Kelihatannya tadi sepertinya ngantuk?"
"Hehehe ... enggak jadi, batal kantuknya."
Keduanya bercanda dengan obrolan gaya anak muda jaman sekarang, sesekali saling menepuk bahu atau tangan bahkan sesekali mencubit dan tertawa terpingkal-pingkal. Adrian tidak menyadari jika sudah berada lama sekali di bawah pohon beringin hingga bayangan pohon, sama persis di bawahnya. Kedua anak muda itu tidak menyadari jika pohon beringin sesekali bertiup dan merontokkan daunnya meskipun tidak ada angin. Jika orang lain yang melihat, pasti sudah berpikiran lain. Lalu lalang kendaran yang terlihat dari jauh lewat tidak mereka pedulikan.
“Lu sekolah di mana? Boleh dong besok gue jemput?”
“Kagak sekolah, mana ada gadis hutan sekolah.”Tiba-tiba terdengar suara serak memanggil nama gadis itu.
“Hesta, lu di mana?”
Hesta dan Adrian seketika menoleh. Nampak kakek tua yang tadi pagi menemui Adrian dan Wandi datang masih dengan mengenakan kaos singlet dan celana pendek selutut yang sudah sobek bagian bawah. Dia datang menghampiri kedua anak beda jenis dan menatap tajam ke arah Adrian. Kakek yang datang dengan membawa botol air, segera mendekat kearah Adrian yang baru saja berdiri bersama dengan Hesta.
“Lu lagi? Napa ke sini? Udah gue bilang jangan ke sini lagi! Tetap aja bandel, gue gak mau nanggung kalau terjadi sesuatu dengan elu,” lantang suara kakek sambil menatap tajam pada Adrian yang duduk tak jauh dari Hesta.
“Kakek ini kenapa ya? Ada masalah dengan Adrian? Dia teman Hesta yang baru Kek. Memangnya kalian sudah saling kenal? Kakek nggak asyik banget, nggak suka cucunya dapet teman main,” ucap Hesta dengan wajah cemberut dan bergerak maju di depan Adrian. Dia segera berdiri di hadapan Adrian menghalangi kakek yang mendekatinya. Nampaknya dia sudah nyaman berteman dengan cowok ganteng yang di temui di warung tadi.“Bukan begitu Hesta, lu tahu dia laki-laki? Nggak pantes teman ama elu, mending cari teman cewek itu aja. Lagian ini udah siang, kenapa kalian nggak pada pulang ke rumah? Kasihan Emak udah nunggu dari tadi.”
“Hesta udah pamit kog tadi, nggak mungkin dicariin. Kakek ngapain di sini? Ganggu aja,” ucap Hesta dengan nada kesal.
Adrian yang sejak tadi hanya jadi penonton akhirnya maju berdiri sejajar dengan Hesta dan memegang tangan gadis itu. Tetapi Hesta menolak dengan pelan dan menepisnya. Hal ini tentu saja membuat Adrian kaget, namun berusaha untuk tersenyum ke arah gadis yang sudah membelanya. Gadis cantik yang sudah menarik perhatian sejak di warung, hingga melupakan temannya. Bercanda cukup lama hingga tidak terasa waktu sudah beranjak malam. Hal yang aneh bagi Adrian yang tak pernah dekat dengan cewek pasti membuatnya berbeda.
Baru saja akan membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba Adrian merasakan gelap dan tidak ingat apapun. Tubuhnya tergeletak di tanah yang sudah mulai basah dan penuh dengan kotoran burung dan daun. Adrian sendrian sementara kakek dan Hesta sudah menghilang dari tempat itu.
Adrian terbangun karena mendengar suara berisik di dekat telinganya. Napasnya tersengal berkali-kali terasa sesak. Perutnya terasa mual mau muntah. Perlahan dia membuka mata. Dan di depannya ada Wandi yang sedang memencet hidung Adrian dengan mulut mengaga bau.“Anjir, lu ngapain mencet hidung gue? Kurang asem awas lu, gue tinggalin lu di sini tau rasa! Ngapain lu? Woiii ... sakit tau!”“Heh, lu yang ngapain tidur di sini?”keluh Wadi kesal. Dia sudah satu jam menyusuri jalan gelap mencari Adrian.Wandi berteriak kencang di telinga Adrian yang berusaha mendorongnya. Adrian yang sedang kesal dengan Wandi akhirnya berdiri, dan melihat sekeliling. Matanya membola seakan mau loncat dari sarangnya. Adrian berulangkali menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah Wandi yang asyik memainkan kunci motornya. Ingatannya kembali kepada kejadian pagi tadi yang membuatnya dapat berkenalan dengan Hesta. Gadis yang cantik dan menggoda di matanya.“Hesta ... Hesta ....!”Wandi memegang dahi Adrian yang
Kedua anak itu saling berpandangan. Dilema dengan benda yang mereka temukan saat ini. Bagaimana tidak, kain yang berwarna krem dengan noda darah yang terlihat masih baru. Mungkinkan itu miliknya Hesta? Hal itu yang ada dipikiran Adrian. Mengingat hanya dia dan Hesta yang ada di tempat itu. Mungkikah sudah terjadi sesuatu dengan gadis itu? Panik hati Adrian melihat kain yang ada di depannya. Rasa takut kehilangan gadis yang baru saja di kenalnya.“K-kain ini, ada darahnya? Takut Yan, buang jauh jauh sonoohh...!”“Helehh ... ini apa an sih! Masih serem rambut kriting elu, dari kain ini,” ucap Adrian sambil mendorong tubuh Wandi yang sejak tadi menempel dan memegang bajunya.Bruk ....“Asem, tega ama temen.”“Lu bau, kagak nyadar apa? Ambil gih! Kunci motornya, biar gue yang urus kain ini. Nggak usah deket-deket kalo takut. Pergi sonoo ....!”Wandi mengambil kunci motor yang ada di tangan Adrian. Dia langsung pergi dari tempat itu, dan duduk di atas sepeda motor . Rambutnya yang keriti
Wandi terus mengamati sikap Adrian yang sangat jauh berbeda dari hari biasanya. Emosinya suka meledak dan tidak perduli dengan siapa dia bicara. Tapi ada yang aneh, kenapa dia tidak ngerjain gadis tetangganya itu? Biasanya juga sampai mereka ketakutan, gak bakal godain Adrian lagi. Wajah dia memang tampan banyak menarik perhatian banyak orang. Para perempuan sering merasa gemas, ingin menggoda dan dekat dengannya. Kulit sawo matang, hidung mancung dan tubuh proposional. Idaman gadis jaman sekarang. Berbeda jauh dengan Wandi. Jangan berpikiran dia kembaran Adrian. Seratus delapan puluh derajat perbedaan fisik dan sifatnya, bisa ketawa ngakak jika mereka sudah berdampingan.Wandi mengikuti Adrian hingga teras rumah, matanya melotot melihat pemandangan yang ada di depannya. Entahlah, apakah Adrian melihat atau tidak. Ada makhluk hitam dengan sorot mata tajam bersinar menatap ke arahnya. Seketika bulu kuduk Wandi berdiri, jika dilihat pakai lup pasti sudah seperti duri yang berdiri tegak
Wandi akhirnya berdiri, dan berjalan ke tempat pencucian piring. Kasihan jika melihat anak kecil itu. Namun dia sangat penurut dengan Adrian. Semua perintahnya selulu dia turuti, meskipun dengan mulut ngedumel seperti kereta api panjangnya. Cucian piring se ember sudah beres, sekarang Wandi masuk ke kamar mandi, sementara Adrian pergi ke kamarnya.Suara guyuran air sangat berisik, pertanda Wandi membuang air sangat banyak. Entah cara mandi yang bagaimana sampai menghabiskan air satu tandon kamar mandi. Barangkali dia nyelam masuk ke dalam bak, habis itu dibuang semua airnya.“Seger banget ternyata, airnya lebih dingin dari rumah. Bisa seharian gue berendam dalam kamar mandi. Eh ... ups ... bisa berabe kalo kedengeran ama Adrian. Bisa diusir dari rumahnya ini, hahaha ... dasar nasib anak ganteng seperti gue, selalu dapat rejeki tak terduga. Puas banget mandinya hehehe ....” ocehnya sendiri di dalam kamar mandi.Wandi tersenyum sambil mengibaskan rambutnya yang keriting. Rambut yang ter
Adrian dan Wandi masih tergelak meski menyadari jika kondisi mereka tidak bersahabat. Beruntung kamar Adrian yang berlantai porselin berwarna gelap hingga masih terlihat tetesan air kencing tergenang di lantai. Namun posisi keduanya yang berada di pojok kamar lebih memudahkan air tidak melebar ke mana- mana. Dapat dibayangkan jika hal itu terjadi meski airnya tidak banyak namun bau pesing pasti menyebar penuh di dalam kamar.“Gila ... ini napa kita sampai ngompol gini? Kurang asem, gara-gara suara kagak bener nih!”Wandi menggerutu sambil memegang kolormya yang sudah basah. Demikian juga dengan Adrian. Keduanya masih tetap menempelkan telinga sesekali ke dinding kamar. Tentu suara dari sebelah kamar dapat mereka dengar dengan jelas, tidak ada plafon terpasang di dua kamar tersebut. Adrian yang biasanya galak dengan Wandi kini terlihat bengong seperti bukan sosok yang dikenal Wandi selama ini.“Lu kenapa jadi rada konslet sih. Biasanya juga gue yang eror, apa jangan-jangan ini bawaan d
Suara Wandi terdengar lumayan keras dari luar kamar. Adrian yang baru saja keluar dari kamar mandi merasa heran. Ini bukan yang peetama kali Wandi berteriak ketakutan. Bergegas dia berlajan ke kamarnya melupakan celana basah yang masih tergantung di pintu kamar mandi.Adrian tiba-tiba masuk dan memukul kepala Wandi dengan keras. Kalau dihitung, seharian tadi Wandi sudah menerima pukulan beberapa kali. Untungnya kepala Wandi seperti batu, hingga tidak mungkin bonyok meski dipukul berkali-kali. Pukulan Adrian juga tidak serius seperti preman atau jago silat. Hanya ingin membuat Wandi jera saja, tapi ternyata meleset. Wandi tidak pernah takut kepada Adrian yang sudah dianggapnya seperti saudara.“Astaga! Lu jangan kelewatan! Ini kepala ... bikan batu, enak aja main pukul.”“Hehh ... lu ngapain? Cepet ganti celana! Udah bau kemana-mana itu.”“Iyee ... gue juga udah risih, gara-gara elu sih ini. Jadi gue terus yang dia gangguin.”“Apa? Lu ngomong apa? Yang jelas! Jangan ambigu gitu, udah c
Semakin dekat mereka dari kamar kedua orang Adrian untuk mencari sumber suara, semakin ke arah kamar kedua orang tua Adrian. Keduanya berhenti dan saling memandang. Telunjuk jari tangan mereka masing-masing berada di bibir, saling memberi isyarat untuk diam. Sedangkan telinga mereka tempelkan di pintu kamar. Tidak sadar jika mereka terlalu keras menempelkan telinga ke pintu, hingga pintu terdorong. “Astaga ....! Lu gimana sih? Main dorong aja,” bentak Adrian mendorong tubuh Wandi lebih masuk ke dalam kamar.Keduanya melihat ke sekeliling ruangan kamar, tidak ada tanda-tanda orang melakukan aktifitas yang seperti mereka bayangkan. Ranjang juga rapi, sudut ruang juga terlihat bersih. Mata Adrian melihat benda hitam kecil yang ada di atas meja. Terdengar suara gemerisik dari sudut ruangan. Perlahan mendekat dengan tetap berjingkat ke sumber suara agar tidak ketahuan.Dua anak itu saling menatap, Adrian menggelengkan kepala memberi isyarat pada Wandi untuk mengikutinya. Suara yang mereka
Kedua pemuda itu berdiri diam mematung di depan pintu, sambil menggigit jari. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam. Melihat sosok yang sudah ada di depannya dengan perasaan yang tidak dapat digambarkan.“Ya-Yan, lu kagak t-takut?”Dengan berani Wandi berbicara sambil meraih tangan Adrian untuk digenggam. Kontan hal ini menimbulkan kejutan buat sahabatnya. Dia tidak pernah sembarangan dipegang oleh orang lain. Biasanya Wandi menjadi bulan-bulanan sikap jahilnya.“T-tidak, na-napa? Kagak ada apa-apa,” kilah Adrian berusaha untuk menepis tangan Wandi. Namun tidak dapat dia pungkiri jika persaan takut menyerang saat ini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yanga gemetar.Wandi melotot melihat ke arah Adrian, tawa renyah mengembang dari bibir tebalnya.“Hahaha .... apa an, katanya gak takut. Tuh kali lu! Napa gemetaran kayak gitu?”Adrian menoleh ke arah Wandi, “Opo opo? Ngomong aja lu!”Segera melangkahkan kakinya duduk kembali di ruang tamu diikuti Wandi. Tawa renyah masih terdengat dari