Share

HADIAH MUKENA DARI IBU
HADIAH MUKENA DARI IBU
Penulis: Nay Azzikra

Bab 1

Note: Awal cerita ini berlatar waktu tahun antara tahun 1998-2000

Namaku Dinis Maheswari. Aku duduk di kelas tiga sekolah dasar. 

Hidup dalam keluarga yang cukup kekurangan, membuatku harus memaklumi banyak hal termasuk tidak memiliki fasilitas dan barang-barang yang sifatnya harus dipunya. Termasuk sebuah mukena. 

Ibuku, Resminanti, tidak dinafkahi oleh bapak. Sehingga dia harus berjuang seorang diri memberikan aku dan adikku makan.

Mukena menjadi barang mewah yang sangat kuimpikan sejak awal mengaji. Aku harus memakai mukena ibu secara bergantian. Hingga suatu ketika, ibu membelikanku sebuah mukena yang cukup cantik. Akan tetapi, karena mukena itulah ibuku harus berurusan dengan orang kaya bernama Juragan Ratno. 

Ibuku mencuri uang untuk membeli mukena? Benarkah?

***

Part 1

“Bu, cepetan dong, Bu,” teriakku sambil memangku Hasbi, adik semata wayangku. Adzan Maghrib telah berhenti berkumandang beberapa menit yang lalu.

“Iya sebentar. Ibu masih menggoreng ikan asin nanggung,” jawab Ibu dari dapur dengan suara keras.

Aku sudah hampir menangis saat Ibu tergopoh masuk kamar dengan wajah yang basah. Sesekali kepalaku mendongak keluar jendela, melihat dan memastikan jika di luar masih sedikit terang. Akan tetapi, malam mulai turun sehingga langit justru terlihat semakin gelap.

“Mbak, maem. Mbak, maem.” Hasbi merengek meminta diambilkan nasi.

“Sudah lewat Maghrib, nanti Mbak terlambat lagi,” ucapku kesal dan masih hampir menangis.

Tak berapa lama Ibu keluar kamar dan menyodorkan mukena lusuh yang setengah basah. “Ibu tadi gak lap muka, ya? Ini basah,” protesku sambil berurai air mata. “Sudah lama, dibuat basah pula,” kataku lagi menggerutu.

“Kamu gak makan dulu?” tanya Ibu.

“Enggak,” jawabku sambil berlari ke masjid yang jaraknya lima ratus meter dari rumah.

Bisa kupastikan sampai sana orang sudah selesai dzikir. Segera ambil wudhu dan sholat lalu berlari ke rumah ustadz yang mengajar ngaji.

“Dinis terlambat lagi, Pak Ustadz.”

“Dinis pemalas.”

“Dinis harus dihukum lagi. Masa tadi gak ikut menata meja. Dinis juga gak pernah ikut dzikir.”

Ucapan menghakimi selalu keluar dari mulut teman-teman tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Aku diam saja karena memang di mata mereka semua, aku bersalah.

“Dinis kenapa selalu terlambat dan tidak ikut dzikir?” tanya Pak Ustadz terdengar sangat dingin.

Aku mengusap air mata yang keluar terus menerus. Sudah kupastikan, malam ini akan pulang paling terakhir karena harus piket seorang diri. Mengatakan kalau mukena yang kupakai harus menunggu Ibu dulu? Itu sama dengan bunuh diri. Mereka tahunya hanya membully saja, tanpa mengerti bahwa aku adalah orang susah.

Terkadang kesusahan kita adalah lelucon bagi mereka yang tidak memiliki nasib sama.

“Sudah, duduk! Tadarus dulu biar lancar ...,” kata Pak Ustadz menengahi.

Aku mengambil antrian mengaji paling terakhir. Teman yang tadi duduk disitu beringsut minggir, mencoba menjauh dari tubuhku yang berbalut mukena lusuh. Aku yang sadar diri segera menjauh dari dia. Tadarus Alquran untuk memperlancar bacaan saat nanti maju.

Beberapa teman ada yang mengobrol sambil tertawa.

“Besok aku mau dibelikan mukena baru sama Ibu,” ucap Nazma.

“Itu masih bagus, kok beli lagi?” tanya Rizka.

“Aku mau yang warna biru. Biar bisa buat ganti kalau lagi dicuci.”

Bibir ini tersenyum getir, menahan hati yang sangat pilu. Anak lain membeli mukena lagi karena ingin koleksi. Sedangkan aku? Harus menunggu Ibu sholat lebih dulu, baru dapat giliran untuk dibawa mengaji.

“Dinis, bilang dong sama ibu kamu biar belikan mukena. Itu sudah banyak bintik hitamnya. Lagian, kamu tubuhnya kecil, masa pakai mukena besar,” celetuk salah satu teman yang duduk di deretan depanku.

“Iya, Dinis. Terus bilang sama ibu kamu, jagain Hasbi kalau mau ngaji, jadi kamu tidak terlambat terus,” sahut yang lain.

Aku tidak mengindahkan apa yang mereka katakan. Membeli sebuah mukena adalah mimpi yang entah kapan bisa terwujud. Bapak pergi merantau ke Jakarta dan sudah lama tidak pulang. Sekalinya pulang, pasti memukul-mukul Ibu. Mana bisa meminta sama Bapak? Bahkan untuk bertanya saja, aku sangat takut.

“Asal kamu tahu, Pak Ustadz sebenarnya belum mau memulai mengaji kalau belum berkumpul semua,” celetuk teman lain. “Makanya, jangan membuat kami semua susah,” lanjutnya lagi.

Aku menundukkan wajah semakin dalam. Sungguh, berada dalam posisi ini adalah hal yang tidak ku inginkan. Berkali-kali aku hanya menelan ludah, menahan tangis di tenggorokan sehingga tercipta rasa sakit di sana.

“Sodaqollahul adzim,” ucapku sambil menutup Al Qur'an lusuh pemberian kakak sepupu.

Kami membaca doa sesudah mengaji. Setelahnya mereka semua berlarian keluar. Aku masih disini, berkutat dengan puluhan meja kecil. Menatanya dengan menahan sesak dalam dada.

Allah, kenapa harus aku yang menjadi anak yang tidak beruntung dalam hal kekayaan?

Aku pulang ke rumah, menapaki jalan yang sudah sepi. Cahaya remang dari lampu teras warga sedikit mengurangi rasa takut. Penerangan di kampung hanya mengandalkan kincir air, sehingga jalan tidak diberi lampu oleh warga.

Derit pintu membuat Ibu langsung berdiri menyambut. “Kamu belum makan, ayo, makan dulu,” ajak beliau.

“Aku sudah kenyang diejek teman-teman,” sungutku kesal.

Ibu menarik napas dalam. “Maaf ya, Mbak, Ibu belum bisa membelikan mukena buat Mbak,” kata beliau sambil mengusap sudut mata yang basah.

Aku tahu Ibu kesusahan memberi makan kami, tetapi aku hanya meminta mukena agar tidak harus bergantian dengan Ibu saat Maghrib tiba. Jika waktu sholat lain, aku masih bisa memaklumi, tetapi tidak dengan waktu Maghrib.

“Ibu, sampai kapan?” Tangisku pecah sambil terduduk di atas ubin yang di beberapa bagian sudah hancur.

Ibu mendekat sambil mengusap kepalaku. “Besok Maghrib, kamu langsung berangkat ya? Mbak tidak perlu menunggu Ibu sholat,” kata beliau.

“Benarkah?” Aku bertanya senang.

“Iya,” jawab Ibu sambil memeluk.

Seperti biasa, kami tidur bersama di atas dipan kayu yang kasurnya sudah tidak terlalu empuk. Tengah malam aku terbangun. Ibu masih terjaga sambil menjahit kain jarik di bawah remang cahaya lampu.

***

Tidak ada hidup yang sempurna. Begitu yang selalu ibu katakan. Meski baru duduk di kelas tiga SD, aku sering dipuji orang karena menjadi juara kelas, tetapi selalu diejek dengan kemiskinan yang membelenggu keluarga. Belum lagi gosip tidak sedap tentang bapak yang sering dibawa orang dari Jakarta, membuat diri menjadi orang yang lebih memilih menyendiri saat bermain di sekolah karena tidak ingin dibully.

Sore itu, ibu langsung memberikanku mukena dan menyuruh untuk cepat berangkat. Aku menerimanya dengan perasaan bahagia--benda putih yang sudah berbau harum. Tidak seperti tadi malam saat memakainya.

“Dinis mukenanya robek di bagian kepala,” ucap seorang teman.

“Iya, rambutnya kelihatan, sholat sama ngajinya tidak sah itu,” tambah yang lain.

“Giliran berangkat tepat waktu, mukenanya robek.”

Tangan ini langsung memegang kepala, dan benar saja, rambutku langsung bersentuhan dengan kulit. Kali ini tidak bisa lagi kubendung rasa malu. Tidak peduli kalau belum mulai mengaji, aku langsung berlari pulang.

“Maafkan Ibu, itu Ibu sikat lama biar bintik hitamnya keluar.” Ibu mencoba memberi penjelasan yang justru membuat aku tambah marah.

Malam ini, aku memilih tidur sendirian di kamar lain. Rasanya besok tidak ingin keluar rumah agar tidak malu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status