Share

Meninggalkanku Dengan Pacarnya

Aku tidur membelakangi mas Abi yang terlelap di belakangku. Sebenarnya, aku tidak pernah sedikitpun bisa terlelap setelah apa yang sudah kami lakukan sebelumnya. Iya, aku tahu, dia sudah berhak melakukanya, hanya saja tidakkah dia melakukannya dengan lembut dan jangan menyebut nama perempuan lain?. Ia seakan-akan melakukannya dengan perempuan itu, dengan memanfaatkan tubuhku. 

Bahkan kini, air mataku tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti menangis. Aku membungkam mulutku untuk tidak bersuara, membiarkan perasaan kecewa ini hanya aku saja yang boleh merasakannya. 

"Eughh..." 

Ranjang terasa sedikit bergerak. Sepertinya mas Abi sedang mengubah posisi tidurnya. Entahlah, aku tidak berminat untuk memastikan apa yang sedang dia lakukan di belakangku. Entah dia masih terlelap ataupun terbangun, untuk saat ini aku hanya mau menenangkan pikiran dan hatiku. 

"Jam berapa ini, Alesha?" 

Ternyata dia bangun. Segera aku menghapus air mataku dan berbalik menghadapnya. Aku sangat malu ketika mataku bertemu dengan sorot matanya, apalagi sekarang kami sedang tidak memakai baju sedikitpun. Hanya ditutupi oleh selimut. 

"Sudah jam delapan, mas. Aku tidak berani membangunkan mu karena terlihat kelelahan." Jawabku. 

Dia kaget dan langsung bangun. Dengan cepat memungut bajunya dan memakainya tepat di depanku. Beberapa kali dia berdecak kesal dan sepertinya dia sudah melupakan sesuatu yang penting. 

"Aku lupa kalau Elisa menyuruhku ke rumahnya. Sialan!" Gerutunya. 

Deg.

Sakit sekali rasanya mendengar mas Abi menggerutu seperti itu. Seakan-akan dia menyesali atas apa yang sudah ia perbuat padaku beberapa jam yang lalu. 

"Aku harus cepat pergi, Alesha. Kamu tidak apa-apa kan kalau pulang dengan taksi?." Tanya mas Abi.

Apa aku bisa menolak?. Tentu saja tidak. Yang hanya bisa aku lakukan hanyalah mengangguk patuh, kemudian tersenyum menutupi luka hati yang merasa kecewa dengan apa yang dilakukannya kini.

"Iya, mas. Nanti aku pulang sendiri saja." Ucapku. 

"Dan ya, aku lupa memberitahumu satu hal. Aku sudah laporkan hal ini pada HRD kalau kamu sudah tidak bekerja lagi. Masalah uang belanja dan sebagainya, kamu tenang saja. Aku yang akan menanggungnya." Katanya, terburu-buru mengancing celananya. 

"Aku tidak akan pulang ke rumah sebulan ke depan karena aku harus menemani Elisa ke Korea. Mungkin setelahnya aku bisa pulang menemuimu, kalau aku sempat." Katanya lagi. 

Untuk kesekian kalinya, aku sama sekali tidak menduga kalau mas Abi akan sekejam ini denganku. Dia baru saja melepas mahkotaku, dan setelahnya malah kabur dengan alasan menemani pacarnya ke Korea selama satu bulan. Lebih menyakitkan lagi adalah mas Abi tidak memberitahu ku sebelumnya kalau dia mengeluarkan ku dari perusahaan. Asal pecat, dengan dalih akan menafkahi ku. 

Kata 'kalau aku sempat' seakan-akan sudah mengatakan kalau aku berada di nomor sekian. Dan sudah pasti aku berada jauh di bawah Elisa yang notabennya sebagai pacarnya sendiri. Status istri yang ku pegang, sudah kalah telak. 

"Aku pergi!" 

Dia berlari keluar dengan tergesa-gesa dan bertepatan dengan itu air mataku mengalir sempurna. Aku tidak bisa menahan rasa sakit hatiku saat ini. Terlalu menyakitkan dan datangnya pun tak terduga-duga. 

Tidak. Aku tidak mau kembali ke rumah pemberiannya itu. Aku lebih memilih untuk tinggal di kontrakan yang aku bayar dengan hasil kerjaku, daripada rumah yang aku terima setelah mendapatkan status istri semu darinya. Meski pada akhirnya sama saja, uang yang aku pakai berasal darinya. 

Mas Abi, kamu sudah sangat mengecewakanku. Kalau aku tahu dari awal akan berakhir seperti ini, mungkin aku akan mencari pria lain yang setidaknya bisa lebih menghargai ku, dibandingkan denganmu. 

***

Aku sedikit kesusahan membawa semua barang-barang dapur yang sudah aku beli dan memasukannya ke dalam kulkas. Barang yang seharusnya mengisi rumah besar itu, malah harus aku masukkan ke dapur kontrakan ku. 

Tik...

Entah mengapa sakit hatiku tidak bisa berhenti semenjak mas Abi pergi begitu saja. Aku terus menangis tapa henti. Seakan-akan dia memanfaatkan tubuhku sebagai pelampiasannya. 

"Tidak, Alesha. Jangan pikirkan lagi. Bahkan sejak awal kamu tahu kalau dia hanya menganggap mu sebagai bawahannya, bukan sesuatu yang berharga atau bahkan pantas untuk di utamakan dalam hidupnya." 

"Sabar... Mungkin ini lah harga yang harus kamu bayar untuk kematian ayahmu." 

Setelah memasukan semuanya, aku mulai memasak untuk diriku sendiri. Masakan yang sederhana hanya untuk diriku saja. 

Kini, rasanya, aku bukanlah seorang istri, melainkan seorang Alesha yang dulu, hanya saja ada sedikit bumbu menyakitkan yang mulai menyertai hidupku. 

Status istri yang sangat ingin aku lepaskan untuk ketenangan hatiku. 

***

Tiga hari berlalu.

Spontan aku terkejut ketika melihat ada notifikasi transaksi yang masuk ke rekeningku. Aku sedang menonton sebuah acara ragam di televisi, tapi notifikasi yang satu ini tampaknya lebih mengejutkan dibandingkan acara di depanku kini. 

Nama mas Abi tertera dengan jelas. Tanpa berlama-lama lagi, aku langsung menelponnya meski tidak terlalu berharap kalau dia akan menjawab telpon dariku. 

Dan benar saja, dia tidak menjawabnya. Pantas saja, pasti saat ini dia sedang berduaan dengan Elisa. Dan aku hadir untuk merusak hubungan mereka?. 

"Mungkin mas Abi salah transfer. Aku akan tanyakan nanti padanya kalau dia tidak sibuk dengan Elisa." Gumamku dan kembali lanjut menonton tv. 

Tapi, semakin dimakan waktu, perasaanku semakin gelisah. Hingga akhirnya aku kembali berani untuk menelponnya.

Berhasil!

Mas Abi menerima panggilan telpon dariku. "Halo, mas?" 

"Mas?!" Sewot dari ujung sana. Itu Elisa, dan ternyata dia lah yang mengangkatnya.

"Oh, Elisa. Maaf, Elisa. Aku bisa bicara dengan mas Abi sebentar?. Aku ada sesuatu yang mau ditanyain." Tanyaku. 

Sebenarnya mendengar suara Elisa yang tadi membuatku sedikit takut berani untuk melanjutkannya, apalagi dia sampai tersulut emosi. 

"Dia sedang mandi." 

Deg.

Elisa tahu mas Abi sedang mandi dan itu artinya mereka sedang berada di satu ruangan. Yang ada di pikiranku saat ini hanya satu, mereka sepertinya sudah melakukan hubungan layaknya suami-istri. Entahlah, itu hanya dugaanku saja. 

"Dan tidakkah Abi mengatakan padamu kalau dia sedang tidak mau diganggu?. Ia sedang menemaniku liburan, karena itu jangan sekali-kali menelponnya dengan alasan pekerjaan. Kamu juga seharusnya tahu diri!. Kamu itu bawahannya, jangan terlalu dekat dengannya, apalagi sampai memanggilnya dengan panggilan mas. Emangnya Abi itu suamimu?!"

Dalam hati, apa yang dikatakan oleh Elisa itu memang benar. Dia adalah suamiku. Namun masalahnya sekarang adalah mas Abi sendiri lah yang tidak mengakui ku sebagai istrinya, baik dihadapan Elisa ataupun orang lain. Baginya, kami tetap ada pada hubungan atasan-bawahan atau pertemanan, seperti yang ia katakan kemarin. 

"Tidak. Kalau begitu mulai sekarang aku akan berhenti memangilnya dengan embel-embel mas. Maaf, Elisa." Ujarku. 

 "Kalau begitu nanti saja aku bicara dengan pak Abi. Katakan padanya kalau saya perlu bicara. Terimakasih, Elisa." Ucapku dan menutup telpon. 

Menghela nafas panjang, nyatanya masih tidak bisa menetralisir perasaan sesak yang aku rasa. Sampai kapan kiranya ini semua terjadi?. Hubungan yang disembunyikan dan akan mengobarkan banyak sekali perasaan sedih. 

"Lebih baik aku mandi saja. Siapa tahu bisa membuatku lebih tenang dari sebelumnya." Gumamku. Mematikan televisi dan beranjak ke kamar mandi.

***

Aku hampir terjatuh saat berlari mengambil ponselku yang berdering. Aku baru saja selesai mandi, bahkan rambutku pun belum kering sempurna. 

Ternyata mas Abi menelponku. Sepertinya Elisa benar-benar memberitahukan mas Abi kalau aku perlu bicara dengannya. 

"Halo, pak?" Sapa ku untuk pertama kalinya. 

Dan ya, ini pertama kalinya aku memanggil mas Abi dengan panggilan 'pak' setelah cukup lama nyaman memanggilnya dengan panggilan 'mas'. 

"Kok pak? Bukannya biasanya manggil aku dengan sebutan mas, ya?. Ada apa Alesha?"

Pacar kamu yang memintanya, mas. Dia yang menyuruhku untuk tidak dekat lagi denganmu. Aku hanya tidak mau kamu kembali berdebat ataupun berselisih dengannya. 

"Maaf, pak. Saya bukan bermaksud mengganggu waktu bapak dengan ibu Elisa, tapi saya ada beberapa hal yang perlu ditanyakan." Ujarku, sangat formal dan memang tidak seperti biasanya. Jangankan mas Abi, aku pun merasa aneh dengan panggilan ini. 

"Ada apa Alesha?. Jangan aneh-aneh. Apa yang sedang terjadi?. Dan aku sangat tidak suka dengan panggilan itu." 

Aku pun juga tidak suka, mas.

"Kalau kamu sedang main-main, lebih baik kamu istirahat saja. Pasti disana sudah malam. Aku juga perlu keluar dengan Elisa sebentar lagi." Kata mas Abi lagi. 

"Oh, kalau begitu saya sangat meminta maaf karena menganggu waktu bapak. Saya hanya ingin mengatakan kalau sepertinya bapak salah kirim uang. Saya akan mengembalikannya sebentar lagi." 

"Tidak. Aku memang mengirimkannya untukmu, Alesha. Itu tidak salah, kok." 

Aku menggeleng tegas, menahan dadaku yang rasanya sesak kali ini. Aku juga menahan tangisanku agar tidak keluar, lebih-lebih lagi menahan suaraku agar tidak terdengar bergetar. 

"Saya akan kembalikan sekarang juga, pak. Dan maaf telah memotong waktunya. Maaf sekali lagi." 

Tut...

Aku mematikannya sepihak. Segera membuka mobile banking milikku dan mengembalikan uang itu. 

"Kenapa rasanya sesak sekali?!" Ujarku, di tengah tangisku yang tiba-tiba meledak tak jelas. 

   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status