Makan malam dalam suasana yang dingin mencekam, hanya suara dentingan sendok yang bergesekan dengan piring yang mengisi ruangan. Handa sangat menikmati makan malam, karena hanya itu yang dia inginkan malam ini, menikmati makan malam. Berbeda dengan Hanin, dia hanya mengaduk-aduk makanannya sambil menatap tajam Handa yang tampak lahap menikmati makananya. Hanin tidak pernah ingin melihat Handa bahagia, bahkan menyaksikan Handa menikmati makanannya pun sangat menyakitkan bagi Hanin.
"Makan Nin!" Suara lembut Marini membuat suasana makan malam yang dingin tampak semakin mencekam.
"Nggak nafsu, Ma, melihat ada orang makan dengan rakusnya seperti orang kelaparan," jawab Hanin dengan tatapan mata yang tak pernah lepas dari Handa.
Handa yang makan tanpa sendok, dan bahkan sesekali menjilat jarinya yang berlumuran bumbu kuning sadar jika dirinya yang dimaksud Hanin. Handa menghentikan tanganya yang hampir memasukkan potongan ikan ke mulutnya. Akhirnya dia dan Hanin saling berpandangan, sesuatu yang sejak tadi dihindari oleh Handa.
"Maaf." Lirih suara Handa sambil melanjutkan makannya dengan mengunyah pelan berusaha untuk lebih sopan.
Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras.
"Hanya kata maaf yang bisa kau ucapkan?" Hanin berdiri sambil mengebrak meja.
Handa kesulitan menelan makanan di mulutnya, dia menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Sekuat tenaga Handa berusaha menenangkan dirinya.
"Aku jarang berada di sini berkumpul dengan kalian, waktu berkumpul pun juga tidak lama, aku hanya tidak ingin waktu itu habis hanya untuk perdebatan yang tidak berguna," jawab Handa.
"Habiskan makanan kalian!" Marini berusaha menengahi Handa dan Hanin.
"Hilang nafsu makan Hanin, ma." Jawab Hanin singkat sambil melangkah meninggalkan kursinya.
"Makan Nin, kamu harus menjaga kesehatanmu untuk hari pernikahanmu." Nasihat Gunadi, yang dari tadi hanya diam.
"Jika papa peduli padaku, pada pernikahanku, mengapa papa mengundang dia?" cecar Hanin yang kembali mendekati meja makan.
"Namanya Handa, dia adikmu, keluarga kita juga. Dia harus ada disetiap acara penting di keluarga kita." Gunadi berusaha memberi pengertian pada Hanin.
"Tapi tidak pernikahanku." Dengan penuh amarah Hanin menyangkal apa yang menjadi kehendak sang ayah. "Mengapa papa tidak tanya dulu padaku?"
"Handa itu adikmu satu-satunya Nin, apa kata orang jika dia tidak ada di hari pernikahanmu nanti." Gunadi memberi penjelasan pada Hanin, alasan dia mengundang Handa.
"Maaf, aku sudah di sini, aku hanya mengunjungi kedua orang tuaku, aku tidak akan menghadiri pernikahanmu. Santai saja!" jawab Handa dengan tenang.
"Apa? Kau akan tetap di sini?" Hanin tampak sudah tidak bisa mengendalikan emosinya. "Setelah kau mengambil papaku, kau ambil mamaku, apa kau akan tetap di sini untuk mengambil calon suamiku?"
"Apa-apaan ini?" Handa bingung dengan apa yang diucapkan Hanin. "Aku tidak pernah mengambil apapun darimu."
Kemarahan Hanin semakin menjadi, dia meraih gelas di depannya dan menyiramkan air putih ke muka Handa. "Cuci mukamu yang sok suci itu!"
Handa segera berdiri, tangannya meraih piring yang ada sisa bumbu kuning dan menyiramkanya ke Hanin. "Cuci hatimu yang penuh kebencian itu! Selama ini aku diam, aku terima harus pergi dari rumah ini, mengapa Mbak Hanin belum puas juga? Mbak Hanin mau aku bagaimana?"
Hanin menjerit karena wajah dan pakaiannya kotor oleh kuah bumbu kuning.
"Apa yang kalian lakukan?" Marini marah melihat apa yang dilakukan kedua anaknya. "Mama capek-capek masak dan kalian menghancurkannya."
"Maaf Ma." Handa mengelap wajahnya yang basah, ia tampak sangat menyesal karena tidak dapat mengendalikan emosinya menghadapi Hanin.
"Bunuh papa!" Lirih suara pria yang terdengar penuh luka. "Papa yang salah, bunuh saja papa!" Suara lirih Gunadi terdengar seperti rintihan yang terasa menyayat hati.
"Kedatanganmu hanya membuat semua orang ingin mati." Hanin sibuk membersihkan dirinya dari sisa-sisa bumbu kuning yang masih melekat. "Sialan!" gumam Hanin pelan.
Handa mengangguk pelan, "Baiklah, aku akan pergi. Tapi beri tahu aku, mengapa aku dibuang?"
"Karena kamu a..."
"Tak ada yang membuangmu." Suara tegas Gunadi memotong ucapan Hanin, air mata menetes di pipi Gunadi. Pria paruh baya itu seakan mengabaikan harga dirinya, terserah orang mau menyebutnya pria cengeng, menghadapi perselisihan tiga perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya membuatnya benar-benar tak mampu lagi menahan air matanya.
Handa tak mampu menahan bulir-bulir bening yang jatuh berderaian, hatinya pun ikut sakit saat harus menyaksikan sang ayah yang tampak sangat rapuh dan terluka. Tapi rasa ingin tahu membuat Handa mengesampingkan semua itu, simpati dan empati Handa seakan lenyap raib begitu saja. "Tapi mengapa aku harus meninggalkan rumah ini pa, dan setiap kedatanganku selalu saja ada penolakan? Pakdhe, Budhe Lasmi, Mas Dharma sama Mas Damar, semua sayang Handa." Handa menjeda kalimatnya, susah payah dia menelan ludah membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Tapi Handa rindu bersama papa, mama, Handa ingin merasakan kasih sayang kalian juga. Mengapa kalian harus membuang Handa?" Akhirnya Handa menangis tergugu, ia tak mampu menahan sesak di dada yang sudah ditahan dari tadi.
"Tak ada yang membuangmu Han, dan jangan tanyakan itu lagi! Atau kau bunuh saja papa jika kau masih menanyakannya." Gunadi mengelengkan kepala, menatap Handa dengan mata sembabnya.
Marini mendengus kasar mendengar ucapan suaminya yang seakan-akan dia adalah korban dalam masalah di keluarga mereka, masalah yang sudah lama tetapi tidak menemukan titik akhir sebuah penyelesaian.
"Pengecut," gumam Marini.
"Aku akan pergi, kedatanganku hanya mengganggu kedamaian kalian."
Gunadi segera meraih tangan Handa yang akan meninggalkan tempat itu. Marini menundukkan kepala dan tanganya mengepal. Hanin meninggalkan ruangan dengan muka masam. Setelah beberapa langkah Hanin membalikkan tubuhnya "Apa kau disini untuk mengambil calon suamiku juga?"
Handa terkejut dengan pertanyaan Hanin, "Aku tidak pernah mengambil apapun darimu, aku hanya mengambil apa yang diberikan Tuhan padaku." Handa dan Hanin saling beradu pandang dengan sorot mata tajam.
Handa menyesali mengapa dia tidak memiliki foto bersama Pak Alim. Meskipun Pak Alim tidak pernah menyatakan perasaan cinta padanya, jika Handa memiliki foto itu setidaknya Handa bisa menunjukkan ada lelaki yang dekat dengannya selama di Semarang pada Hanin. Toh Hanin juga tidak akan menyelidikinya untuk mengetahui kebenaran hubungannya dengan Pak Alim.
Dengan muka masam penuh kekesalan Hanin segera meninggalkan ruang makan dan menaiki tangga menuju kamarnya. Marini tak menutupi kesedihannya menatap Hanin dan kekacauan yang terjadi di ruang makan.
Handa berusaha melepaskan tangan Gunadi yang memegangnya dengan erat, "Tangan Handa sakit Pa, tolong lepaskan!"
"Jangan tinggalkan papa!" Rasa takut kehilangan membuat Gunadi justru semakin erat memegang tangan Handa. "Kau anakku" Lanjut Gunadi menegaskan perasaannya.
"Aku tetap anak Papa, meskipun aku meninggalkan rumah ini." Handa menenangkan Gunadi, dan terus berusaha melepaskan tangan Gunadi. "Pa, sakit Pa." Handa menjadi bingung dengan tingkah sang ayah yang justru terlihat seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya. Sambil menahan sakit di tangannya, Handa menggaruk kepalanya meskipun tak terasa gatal.
Marini menggelengkan kepala dengan seringaian yang dibarengi dengan tetesan air mata, hatinya sangat sakit melihat Gunadi yang terlihat sangat takut kehilangan Handa.
Hanin menuruni tangga dengan wajah yang sudah bersih dan sudah berganti pakaian, tas selempang kecil di pundaknya. Hanin berlalu tanpa menghiraukan kedua orang tuanya dan Handa.
"Mau kemana Nin?" Marini segera berdiri dan mengejar Hanin. "Nin! Jangan tinggalin mama, Nin!"
Hanin membuka pintu bergegas menuju ke mobilnya. Marini terus mengejar Hanin yang sudah berada di dalam mobil. Hanin menulikan telinganya tidak mempedulikan Marini yang memukul-mukul kaca mobilnya.
"Buka Nin! Jangan tinggalin mama! Mama sama siapa Nin, jika kamu pergi?" Marini terus memukul-mukul kaca mobil Hanin, dan baru berhenti saat dia tak mampu lagi mengejar mobil yang dikemudikan Hanin meninggalkan rumahnya.
Dengan air mata yang jatuh bercucuran Marini terpaksa melepas kepergian Hanin. Dengan langkah gontai Marini masuk ke dalam rumah, dan harus menyaksikan drama Gunadi yang masih saja tak ingin melepas tangan Handa. Hati Marini merasakan nyeri saat ia menyaksikan kekonyolan Gunadi yang justru bertingkah seperti anak kecil yang takut di tinggal ibunya, dunianya terasa jungkir balik.
Pernikahan Hanin kurang dari satu minggu lagi akan dilaksanakan, tetapi setelah keributan saat makan malam itu Hanin belum pulang. Di kamarnya, dengan perasaan cemas Marini berusaha menghubungi Hanin. Sepertinya Hanin mematikan ponselnya sehingga tidak bisa dihubungi. Dari jendela, Marini menyaksikan kedekatan Gunadi dengan Handa yang sedang menikmati kopi di taman. Keduanya tampak bahagia melepas kerinduan yang telah lama terpendam dan merasa tidak ada yang mengganggu kebersamaan mereka. Marini kembali meneteskan air mata menyaksikan suami dan anaknya seakan tidak mempedulikan keberadaan Hanin sekarang. "Mengapa kau hadir dan menghancurkan kebahagiaan kami?" Gumam Marini sambil mengenggam erat ponselnya. Kembali Marini mencoba menghubungi Hanin "Angkat nak! Ini mama." Punggung Marini bergetar, suara isak tangisnya mengisi ruangan yang menjadi saksi kesedihan yang ia harus rasakan sendiri. Bahkan Gunadi sang suami justru terlihat sangat bahagia bersama Handa, putri bungsunya. ***
Satria menatap tajam ke arah Handa yang sedang menuruni tangga, baginya perempuan di depannya itu adalah orang yang membuat dia harus menghadapi masalah yang rumit saat ini. Perempuan yang akan menghancurkan pernikahannya. Handa pun membalas dengan tatapan mata yang tajam pula, baginya tatapan mata Satria hampir sama dengan tatapan mata Hanin selama ini kepadanya, tatapan mata penuh kebencian. Dalam hatinya bertanya, apa saja yang telah dikatakan kakaknya pada calon suaminya tersebut, melihat gelagat yang ditunjukkan oleh Satria. sepertinya bukan sesuatu yang baik. Setelah Gunadi mempersilahkan mereka duduk, Handa segera menuju dapur untuk membuat minum. Tak bisa dipungkiri dalam hati Handa mengakui bahwa calon suami kakaknya memang mempesona dan seperti apa yang diungkapkan Marini bahwa mereka adalah orang kaya. Tapi tatapan matanya membuat Handa berpikir untuk tidak berurusan dengannya. Setelah selesai membuat minuman Handa bergegas membawanya ke ruang tamu untuk disajikan. Handa
Suasana malam yang sunyi, keheningan di pekarangan sebuah rumah bergaya klasik nan mewah dan besar dengan halamannya yang luas terusik oleh suara deru mobil. Dua mobil mewah pun segera terparkir dengan rapi. Setelah mesin mobil dimatikan, Satria keluar dari mobil diikuti Harris dan Lisa yang keluar dari mobil yang satunya. Memasuki rumah, mereka segera menuju ke ruang keluarga. Lalu mereka bertiga duduk di sofa, Satria duduk berseberangan dengan kedua orang tuanya yang duduk berdampingan. Tangan Satria meraih remote dan menyalakan tv, tapi tak lama kemudian mematikan tv itu lagi dan meletakkan remote dengan kasar, Satria terlihat sangat bingung akan berbuat apa saat ini. Dalam waktu yang tidak lama, Satria sudah beberapa kali mendengus kasar dan pandangan yang nanar. Harris dan Lisa saling berpandangan, menyadari ada masalah berat yang sedang dihadapi oleh putra mereka. Tak ada orang tua yang senang melihat anaknya menderita begitu juga dengan Harris dan Lisa. Sejenak mereka memilih
Handa mengambil beberapa potong pakaian dari ransel yang sudah ia rapikan dari beberapa hari yang lalu. Handa sudah siap untuk kembali ke Semarang, tetapi Gunadi menahanya sampai Hanin ditemukan atau mereka menemukan jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya Handa merasa tidak betah dan tidak nyaman, apalagi setelah Satria masuk ke kamarnya. Handa masuk ke kamar mandi, tak lama kemudian ia sudah keluar dan berganti kaos oblong lengan pendek dan celana jeans butut serta rambut yang dibalut dengan handuk. Handa berdiri di depan jendela melihat pemandangan di luar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Seakan tak percaya melihat mobil mewah yang semalam datang memasuki pekarangan rumah mereka. Handa melihat ke jam tangannya, waktu menunjukkan belum genap pukul enam sudah ada yang bertamu ke rumah mereka. Handa sudah di dapur menemui Marini yang sedang membuat sarapan. "Ada tamu Ma, biar Handa yang nglanjutin bikin nasi gorengnya." Belum sempat Marini menj
Setelah Satria dan kedua orang tuanya pergi suasana rumah Ginadi menjadi hening. Marini memilih segera memasuki kamarnya untuk menghindari percakapan dengan Handa dan Gunadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Marini.Handa masih terdiam di tempatnya, Gunadi memandangi putri bungsunya dengan penuh rasa bersalah. Sejak Handa masih kecil Gunadi tidak bisa memberikan kasih sayang dan perlindungan padanya. Handa harus meninggalkan rumah dan dia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat Handa meminta pulang agar bisa kuliah di Jakarta pun tak bisa ia penuhi, semua itu ia lakukan hanya agar Hanin tidak marah dan ngamuk. Dan kini, Handa diminta mempertanggungjawabkan sesuatu yang bukanlah kesalahannya, lebih tepatnya kesalahan Hanin yang kabur menjelang hari pernikahan. Dalam hatinya Gunadi menghitung Aset dan tabungannya tak akan cukup mengantikan biaya yang sudah dikeluarkan Satria untuk acara pernikahan yang akan digelar. Tetapi Gunadi tidak ingin mengorbankan Handa sekali lagi, dia siap
Di dalam kamarnya, Handa sedang membuka ponselnya, dilihatnya kiriman foto-foto tanda pembayaran segala keperluan pernikahan Hanin dan Satria. Handa menggaruk rambutnya meskipun tidak gatal, mengusap wajahnya dengan kasar, lalu ia melempar ponselnya di kasur dan terdiam duduk di tepian ranjang. Dalam keheningan kamarnya terdengar suara Gunawan yang mengelegar membuatnya segera bangkit dan keluar dari kamarnya."Pakdhe!" gumam Handa kala melihat Gunawan di ruang tamu, Handa bergegas berlari menghambur ke pelukan Gunawan. Handa tampak damai dalam pelukan pria paruh baya yang merupakan saudara tua papanya. Dalam dekapan sang pakdhe, Handa merasa terlindungi dan disayangi. Gunadi yang menyaksikan merasa teriris hatinya, seharusnya dia yang memeluk Handa di saat seperti ini, seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berlari, seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berbagi dan seharusnya dia yang menjadi tempat Handa berlindung. Tetapi kenyataan yang terj
Di kantornya, Satria berdiri menatap keluar jendela. Tatapan mata yang tampak sangat lelah penuh kekecewaan dan amarah. Saat segala yang dia miliki menjadi tak berguna karena tak mampu untuk membeli kebahagiaan. Perempuan yang dia cintai dan telah bersedia untuk bersatu dalam ikatan janji suci pernikahan memilih untuk meninggalkanya di saat-saat terakhir. Sedangkan seorang gadis biasa pun tak mudah ia dapatkan untuk menjadi pengganti, meskipun sudah diancam dan dia telah menunjukkan kekayaan yang dia miliki sebagai iming-iming.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel Satria. Satria melihat ke layar ponselnya, terpampang nama kontak "Handa". "Halo!""....""Baiklah, aku segera ke sana."Satria menuju ke meja kerjanya, mematikan laptopnya dan merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya. Lalu ia bergegas pergi meninggalkan ruangannya.***Mobil Satria memasuki pekarangan rumah Gunadi, tak lama kemudian Satria turun dari mobilnya. Satria terkejut saat melihat Gunawan ya
Kini dua keluarga itu telah duduk bersama di ruang tamu untuk membicarakan pernikahan Handa dan Satria. Perdebatan yang alot terjadi antara Lisa dengan Gunawan. Berulang kali Harris mengusap punggung Lisa, berharap istrinya tersebut tidak terlalu terbawa emosi. Berbeda dengan Gunadi dan Marini yang sedari tadi memilih diam.Dua anak muda yang namanya sering disebut dalam perdebatan yang sedang berlangsung, menunjukkan reaksi yang berbeda. Handa tampak sering menahan senyumnya kala sang pakdhe yang dia andalkan hanya menanggapi emosi Lisa dengan jawaban yang terkesan konyol dan seadanya. Sedangkan Satria yang dari tadi memperhatikan Handa, hanya terdiam seolah tak mampu untuk melawan pesona dari senyum gadis yang seharusnya menjadi adik iparnya itu. Hingga pandangan mereka beradu, Satria melempar senyum sambil mengigit bibir bawahnya, membuat Handa menjadi salah tingkah dan segera memalingkan wajahnya. "Makanya Bu, dengarkan dulu kalau ada orang ngomong. Saya hanya memberi satu syarat