Kedua mata Luis menyipit dengan rasa penuh tanya melihat sosok lelaki bertubuh kekar dan berfaras dewasa sudah berdiri tegak di depannya. Keheranannya pun kian bertambah ketika Anna berlari dan bersembunyi di balik tubuh lelaki tanpa baju tersebut.
"Siapa dia, Ann? Kamu menyembunyikan lelaki di rumahmu?" tanya Luis sembari berusaha mendekat pada Anna.Tahu bahwa perempuan yang berada di baliknya merasa takut, lelaki yang masih dipenuhi luka itu lantas menahan dada Luis agar berhenti mendekat."Pergilah dulu, kekasihmu sepertinya sedang takut padamu, memaksanya untuk bicara hanya akan memperkeruh keadaan.""Dia bukan kekasihku!" sahut Anna cepat."Ann!" bentak Luis tak terima karena sahutan Anna sedikit banyaknya menjatuhkan harga dirinya sebagai lelaki."Aku mohon tahan dia untuk tidak mendekat, aku takut!" Anna berucap seraya mencengkram kuat lengan lelaki di depannya.Dengan sedikit rintihan kecil dari luka yang sedikit terganggu, lelaki itu mengerti apa yang terjadi dan kembali melakukan perlindungan untuk Anna. Ia kembali menatap Luis yang masih menunjukan kemarahan."Pakai bajumu dan keluarlah dari rumah ini. Apa kamu tidak lihat dia sangat ketakutan? Kamu masih berani melecehkannya meski aku ada aku di sini?""Siapa kamu beraninya mengusirku, hah? Aku pemilik tanah ini dan aku bisa saja mengusir kalian sekarang juga."Pernyataan Luis membuat sang lelaki mengulum senyum. Ia menatapnya dengan tenang, namun lebih tegas dari sebelumnya. "Kalau begitu aku juga bisa membelinya darimu detik ini juga," timpalnya tak kalah mengejutkan."Sebenarnya siapa kamu?" Luis bertanya seraya menatap Anna dengan senyum penuh curiga, "Apa karena ini kamu berani menolakku, Ann? Kamu tidak tertarik dengan hartaku karena sudah ada lelaki yang bisa memberikan semuanya padamu. Bagus! Seorang Anna menjadi simpanan lelaki beristri."Tidak terima dengan ucapan yang dilontarkan oleh Luis, Anna melangkah maju dan dalam satu gerakan menamparnya sekeras mungkin.PLAK!"Kamu pikir aku tidak ada harganya?""Beraninya kamu, Ann! Das-"BRUG!Tubuh Luis tersungkur sebelum tangannya berhasil menyentuh Anna. "Kubilang pergilah! Memangnya apa masalahmu jika aku menjamin hidupnya? Dia kekasihku, aku berhak atas itu.""Apa?"Tidak hanya Luis, Anna sendiri pun terkejut dengan pernyataan itu. Ia menatap lelaki di depannya dengan rasa tak suka, namun di sisi lain, ia merasa lega karena Luis sudah benar-benar pergi meski Anna tahu bahwa kebencian mungkin sudah mendarah daging dari Luis untuknya."Kamu harus membayar semuanya, Ann."Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Luis sebelum benar-benar meninggalkan rumah."Ahhh ...." Rintihan dari mulut lelaki itu berhasil membuat Anna tersentak dan segera membantunya kembali masuk ke dalam kamar.Dibaringkan kembali seperti sebelumnya. Anna tidak tahu apa yang membuat lelaki itu meringis, namun ia melihat bahwa tangan kanan sang lelaki sibuk memijat kepalanya sendiri."Apa kepala tuan sakit? Biar aku lihat."Anna mencoba memeriksa semua yang ia tahu. Luka kemerahan seperti sebuah luka benturan itu mungkin menjadi penyebabnya. "Aku akan ambilkan obat dulu." Anna beranjak dari tempatnya.Sepeninggal Anna, lelaki yang sudah sadarkan diri itu menelaah kesetiap sudut kamar. Tidak ada hal menarik selain dinding kayu tengah mengurungnya entah sudah berapa hari lamanya. Ia juga melihat pakaian yang sempat dikenakannya sudah menggantung rapi di salah satu bagian dinding.Tidak ada lampu tidur, meja rias, lemari besar atau meja belajar untuk usia Anna yang diperkirakan olehnya. Tidak hanya ruangan, ia juga sudah tahu ada banyak luka di tubuhnya. Rasa sakit dari luka-luka itu mengingatkannya pada kejadian terakhir."Berbaringlah, biar aku obati lagi," ucap Anna setelah kembali dengan sebuah nampan kecil berisi obat-obatan herbal yang baunya cukup khas.Tidak ada bantahan, lelaki itu berbaring dan membiarkan Anna mengobati kepalanya."Nama tuan siapa? Apa tuan ingat sesuatu?""Gama."Jawaban singkat itu cukup membuat Anna terkejut dan sejenak menghentikan aktivitasnya. "Tuan Gama. Tuan mengingatnya? Apa tuan ingat tuan dari mana?""Maksudmu?""Ah, tidak. Aku pikir tuan hilang ingatan karena sudah tidak sadarkan diri tiga hari, itu pun setelah aku menyelamatkan tuan dan membawanya kemari.""Tiga hari? Selama itu?" Gama sontak duduk tegak karena setengah tak percaya jika dirinya pingsan selama itu."Di mana kamu menemukanku? Dengan siapa aku saat itu? Apa yang aku bawa dan apa yang terjadi denganku?"Gama menodongkan banyak pertanyaan pada Anna secara bersamaan. Anna yang gugup mencoba menganggukan kepalanya perlahan seolah meminta Gama untuk lebih tenang."Di sana, di-""Di mana?" potong Gama cepat membuat Anna gelagapan."Di sungai."Jawaban itu lantas menimbulkan kerutan halus di keningnya. Keheranan jelas tergambar.. Semua yang ia ingat berbeda dengan apa yang diucapan oleh perempuan bernama Anna tersebut."Kamu yang menolongku?""Iya, aku dan ibuku.""Namamu Anna?""Iya. Apa tuan tidak hilang ingatan? Tuan ingat sesuatu? Tuan tidak berpikir aku pelakunya, 'kan? Aku hanya menolong saja. Demi Tuhan!""Aku tidak hilang ingatan. Aku ingat semuanya, tapi, aku lupa kenapa aku bisa ada di sungai.""Jadi, tuan tidak ingat apa pun bagaimana bisa terjatuh di sungai?""Tidak sama sekali. Anna, bisa jawab pertanyaanku lagi? Aku ing- ahhh!"Rasa penuh antusias itu tampaknya membuat Gama kembali membuka luka-lukanya yang masih basah. Anna dengan refleksnya menyentuh kedua bahu Gama dan perlahan membaringkannya kembali."Istirahatkan saja dulu. Tuan baru saja sadar, pasti masih banyak rasa sakitnya. Setelah tuan pulih, akan aku ceritakan semuanya. Sebelumnya terima kasih sudah menolongku dari tuan Luis. Jika tuan tidak menolong, entah apa yang akan terjadi. Sekali lagi terima kasih banyak."Entah mendengarkan atau tidak, namun tampaknya Gama masih sibuk menerka-nerka yang terjadi padanya, meski sesekali meringis kesakitan.'Sungai? Kenapa bisa di sungai?' Gama menatap Anna yang tengah mengobatinya, 'Apa mungkin anak ini berbohong?' Gama bergumam dalam hati."Aku akan keluar dulu.""Tunggu!" Gama menahan pergelangan tangan Anna dengan cepat hingga perempuan itu tetap berada di tepatnya, "Bisa temani aku sebentar saja? Sampai aku tertidur lelap?" pinta Gama membuat Anna sedikit tersipu dan salah tingkah.Anna menurut, ia duduk kembali dan membiarkan Gama menggenggam tangannya agar bisa terlelap. Itu bukanlah hal aneh untuk Anna, selama Gama berada dalam perawatannya, lelaki itu selalu terbiasa tertidur dengan tangan saling menggenggam. Anna menganggap bahwa itu sebuah rasa trauma berat yang dialami oleh Gama.Tatapan Anna begitu dalam, ia melihat wajah Gama setiap lelaki itu beristirahat.'Apa setelah pulih kamu akan pergi dari sini dan tidak akan kembali? Apa bisa kamu lupa saja semuanya dan ... dan tinggal bersamaku? Aku butuh teman, aku butuh seseorang yang bisa menjagaku darinya.' Anna bergumam dalam hati.Suara ayam berkokok membuat kedua mata yang tertutup rapat itu perlahan terbuka. Gama kembali mendapati pemandangan atap sederhana di depan matanya. Namun, kesadarannya mulai terkecoh oleh obrolan kecil seseorang di luar kamar. Dalam beberapa langkah, lelaki itu sudah mendekat ke ambang pintu, mendengar lebih jelas pembicaraan perempuan bernama Anna dengan seseorang yang belum ia ketahui. Tidak ada hal buruk yang ia dengar selain kekurangan ekonomi untuk menghadapi Luis. Ya! Luis, kejadian tak terduga membuat Gama mengetahui beberapa fakta tentang Luis. "Ya, sudah. Ibu akan siapkan makanan, Anna periksalah kondisi tuan Gama." Kalimat yang terdengar samar-samar itu sontak membuat Gama terkejut ketika pintu terbuka secara tiba-tiba. Baik Anna maupun Gama menjadi tersentak satu sama lain. "Tu-tuan sudah bangun?" "Sudah." "Istirahat saja lagi, sampai tuan benar-benar pulih." Gama tidak menolak, ia berjalan kembali dan duduk di tepi ranjang. Kini lelaki itu menatap Anna yang masih
"Makanlah yang banyak." Gama mengangguk mengiyakan permintaan perempuan baruh baya yang baru saja ia ketahui bernama Lusi tersebut. Gama menatap satu demi satu semua menu yang tersaji di hadapannya. Tidak ada satu pun yang ia ketahui, selain sayur sup di mana terlihat beberapa potong wortel, kentang dan potongan tomat segar. "Kami tidak bisa menyajikan makanan mahal. Ini makanan seadanya, maaf jika tuan tidak terbiasa memakan semua ini," seru Anna tiba-tiba. Gama tampak tidak merasa canggung, lelaki itu tersenyum, lalu memakan habis satu mangkuk kecil sup yang sudah disediakan untuknya. "Enak," pujinya singkat, lalu menatap Anna lekat-lekat, "Anak-anak jaman sekarang mudah sekali tersinggung," sambung Gama kembali dengan sedikit pelan. Anna yang mendengar hanya diam dengan sedikit lirikan mata yang tajam. "Ibu memasak semuanya?" "Bukan. Anna yang memasak semuanya setiap hari. Ibu sangat lelah, jadi biasanya akan tertidur setelah kembali dari kebun." Gama kemudian melirik Anna
Gama membuka jendela kamar di mana Anna sudah sibuk memotong kayu dengan sebilah kapak. Melihat matahari tampak sudah cukup terik, Gama bisa menerka bahwa Lusi sudah tidak berada di rumah. Untuk beberapa saat Gama memilih untuk tetap memperhatikan Anna dari balik jendela. Gurat senyumnya terlukis ketika mengingat perkataan Lusi di mana membeberkan fakta bahwa Anna jatuh hati saat dirinya tidak sadarkan diri. "Anak itu." Gama berucap dengan nada meremehkan, namun setengah merasa salah tingkah dan cukup gemas. Ia tidak menyangka akan disukai perempuan yang usianya cukup jauh di bawahnya. "Perlu bantuan, Nona kecil Anna?" godanya berhasil membuat sang empu menoleh dan segera membelakangi sumber suara. Merasa tidak puas godaannya diabaikan, Gama lantas keluar dan berdiri di samping Anna yang masih sibuk memotong kayu. Dari wajahnya sudah bisa ditebak jika perempuan berkaos polos dan rok panjang itu menahan kesal. "Biar aku bantu, Nona." Anna menepis tangan yang berniat mengambil ali
Gama duduk di sebuah kursi besar yang terletak tepat di depan jendela kaca kamarnya. Sudah satu minggu lebih kepergian lelaki itu dari kediaman Anna yang membawanya pulang dan lupa kembali sekedar untuk berpamitan pada sosok penolong tersebut. Rasa bahagia bertemu dengan keluarga tercinta nyatanya sedikit berbeda. Gama merasa ada sesuatu yang kurang, yang mengganjal di hatinya seperti sebuah berat hati. Ada rasa bersalah karena tidak berpamitan pada Anna dan Lusi, meski Gama tahu bahwa kepergiannya sangat diinginkan oleh Anna, namun tetap tidak mengurangi jasa dan hutang nyawa atas pertolongan Anna. Lamunan Gama mengenai kebersamaannya dengan Anna bahkan membuatnya tidak sadar jika perempuan tua sudah berjalan mendekat ke arahnya dengan raut wajah penuh tanya. "Gama, ada apa, Nak? Ibu perhatikan semenjak kamu kembali, kamu banyak melamun."Gama tersentak dan menoleh pada sosok yang ternyata adalah Dena sang ibu. Tidak ada jawaban langsung yang diberikan Gama, lelaki itu hanya diam
Sinar matahari menerobos masuk celah jendela kaca yang terbuka. Pantulan cahaya hangat itu perlahan membuka mata lelaki yang semula masih menutup mata rapat-rapat.Suara gorden yang terbuka tidak sedikit pun membuat lelaki bernama Gama itu terbangun, begitu pula dengan suara langkah kaki yang berirama senada seperti sebuah ketukan heels yang anggun. "Apa kamu tidak akan bangun?" Bukan sinar matahari, bukan suara gorden, tidak pula dengan suara ketukan langkah kaki, namun sentuhan lembut pada pipi membuat Gama terbangun seketika. Mata yang masih tampak berat mencoba menelaah sosok yang tengah duduk di tepi ranjang tepat di depannya. "Mona." Gama berucap seraya membenarkan posisinya hingga duduk dengan tegak. "Bagaimana keadaanmu? Aku menunggu kemarin. Ibumu bilang kamu akan datang, ternyata tidak.""Aku minta maaf, aku masih sedikit lelah. Jadi, aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama.""Aku tahu itu. Aku senang kamu kembali, Gam," ucapnya seraya mengusap punggung tangan Gama.
Anna membuka matanya secara perlahan ketika mendengar suara air yang sedang diaduk dalam gelas. Tatapan Anna tertuju langsung pada sosok lelaki yang tengah duduk di samping ranjangnya, perlahan ia terkejut ketika menyadari bahwa lelaki itu adalah Gama. "Tuan Gama?" "Sudah bangun? Lama sekali tidurnya.""Tu-tuan ada di sini? Di rumahku?" "Iya, ini rumahmu, aku tidak akan mengaku."Seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sendiri, Anna melirik setiap sudut ruangan, lalu menatap Gama lekat-lekat.PLAK!"Shit! Apa kamu gila? Kenapa tiba-tiba menamparku, hah?" sentak Gama ketika pipinya secara tidak terduga mendapat tamparan keras dari Anna. Anna yang terkejut menutup mulutnya dan segera mengusap pipi Gama seraya meminta maaf. "Maaf, aku pikir aku hanya berhalusinasi. Sekali lagi maaf."Gama dengan cepat menepis sentuhan Anna di wajahnya, lelaki itu masih menunjukan gelagat tak suka. "Sudah jelas aku ada di depan mata, halusinasi apanya?""Maaf.""Minumlah!" titah Gama seraya me
Anna menggenggam kuat tangan sang ibu di hadapan Gama yang baru saja menjelaskan keinginannya untuk membawa mereka keluar dari desa tersebut. Tidak main-main dan tidak hanya sebatas kata, Gama bahkan sudah menyiapkan semuanya untuk menjamin tidak ada penahanan apa pun dari orang yang merasa memiliki hak atas utang piutang keluarga Lusi. "Apa tidak akan ada masalah berkepanjangan dan tidak memberatkan tuan juga?" Gama menaruh sebuah kartu berwarna hitam di atas meja. "Permasalahan kalian tentang uang, 'kan? Aku bisa melunasi semuanya. Kalian tenang saja."Lusi melirik Anna, lalu menatap Gama lekat-lekat. "Nominalnya tidak sedikit, itu pasti akan memberatkan tuan. Aku rasa tidak perlu, Tuan.""Aku bisa menangani semuanya.""Apa alasan tuan sampai sebaik ini pada kami?" Pertanyaan Lusi membuat Gama dengan spontan menatap Anna yang tampak masih ragu-ragu dan cemas. Lelaki itu pun tersenyum sembari beralih menatap Lusi. "Anggap saja ini tanda terima kasihku. Aku tahu kalian membantu dan
BRUAKK!Pintu terbuka di mana Gama tanpa basa-basi menarik tubuh Luis yang masih berbaring di atas tubuh Anna. Tidak terhitung seberapa banyak pukulan yang di daratkan oleh Gama pada Luis saat Lusi membantu Anna keluar dari dalam kamar. "Benar-benar lelaki tidak tahu malu. Beraninya melecehkan perempuan di depan ibunya sendiri. Apa pikiranmu tidak disisakan untuk menyimpan akal sehat?" hardik Gama seraya terus menghajar Luis. Meski bobot tubuhnya tidak sebanding dengan Gama, Luis tampaknya tidak ingin kalah. Ia berbalik menyerang Gama setelah berhasil mendorongnya. "Kamu yang tidak tahu malu, jika sosok tidak tahu malu sepertimu tidak datang, hubungan kami tetap seperti biasa. Tapi, apa? Kamu akan membawa calon istriku ke kotamu dengan seenaknya."Gama menyunggingkan sudut bibirnya, lalu menahan pukulan di udara saat melihat bagaimana Luis sudah setengah tak berdaya. "Aku tahu apa yang ada dalam otak lelaki sepertimu. Jadi, jangan merasa paling tersakiti. Cobalah yang lihat yang leb