"Ajak-ajak dong, Mbak Mur. Siapa tahu dukunnya juga cocok di saya," lanjutnya.Aku hanya bisa 'melongo' melihat tingkah lakunya. Apalagi, dia mengatakan itu dengan ekspresi yang menyebalkan."Maaf ya, Mbak Ayu. Saya gak pakai yang begituan. Kalau jualan saya laris, itu karena pembelinya yang suka dengan jualan saya," jawabku mencoba tetap tenang.Ayu malah menertawakan. "Jaman sekarang, jualan gak pakai penglaris itu mustahil. Apalagi, kali ini ada aku sebagai saingan, pasti Mbak Mur nambah lagi tuh dukunnya. Buktinya, kemarin jagung bakar Mbak Mur sepi, malam ini malah laris manis sampai-sampai pelanggan saya berbelok ke sini.""Astaghfirulloh, kenapa Mbak Ayu ngomongnya seperti itu? Saya cari rejeki dengan cara halal, Mbak," jawabku.Ingin rasanya kuabaikan saja orang ini, tapi jika dibiarkan nanti dia mengira aku mengiyakan semua tuduhannya. Dan bisa saja dia menyebarkan gosip
"Kayaknya, saya harus bicarakan dulu dengan suami," jawabku."Baik. Mudah-mudahan saja suamimu setuju. Besok saya ke sini lagi untuk minta kepastiannya."Mang Supri pamit pulang.*Malam hari warung masih ramai meski sudah lewat jam sembilan. Anak-anak muda yang masih berkeliaran malam-malam, nongkrong di sini sambil jajan seblak dan pentol ceker mercon. Ini adalah malam Minggu, namun terpaksa warung kututup lebih awal meski yang beli masih mengantre.Aku kedatangan tamu, dan juga masih harus meluangkan waktu berdiskusi dengan Mas Dasep. Jika kupaksakan buka sampai jam sepuluh-sebelas seperti biasa, aku tak akan punya waktu lagi. Kesibukanku dengan usaha ini membuat waktuku terkuras."Bibi senang usahamu maju. Kalau orangtuamu masih ada, mereka pasti akan bangga."Bibiku berkunjung ke rumah, ini pertama kalin
"Selain itu ... saya juga khawatir dengan anak yang ada dalam kandungannya. Saat ibunya difitnah dan dicemooh, anak itu pasti mendengarnya," lanjut Mas Dasep.Baik aku maupun Bibi jadi terdiam. Antara bingung dan kagum, dengan respon Mas Dasep yang mengkhawatirkanku sampai sejauh itu.Aku pun terharu dan ikut meneteskan air mata. Seketika, teringat kembali bagaimana cemoohan dan fitnahan itu mengganggu pikiranku setiap malam, dan aku selalu menumpahkannya lewat tangisan dengan bersembunyi. Namun, rupanya suamiku tahu semua itu."Kalau sudah begini, Bibi bingung mau nasihatin apa. Kamu terlalu sayang sama istrimu, bahkan istrimu sendiri tak berpikir sejauh yang kamu pikirkan itu. Tapi, kalau soal gunjingan itu pasti lama-lama akan reda dengan sendirinya," kata Bibi."Terimakasih Mas sudah me
"Mungkin cuma kamu yang bisa lihat ya, Ayu. Kami gak ada tuh lihat makhkuk itu. Lagipula, Murni sudah jelaskan bagaimana dia dapatkan uang yang banyak. Dan penjelasannnya masuk akal kok! Mungkin, kamu aja kali yang iri sama dia, jadinya ngarang-ngarang cerita deh!" jawab mereka.Sekali lagi aku tak menyangka, mereka akan membelaku di hadapan Ayu—si biang gosip. Dan otomatis, Ayu semakin merasa kesal. Matanya mendelik sinis padaku begitu Ibu-Ibu itu sudah pergi.Sejak warungku berkembang, Ayu jadi terang-terangan menunjukkan rasa irinya. Dia bahkan sudah tak punya rasa malu lagi."Ada perlu apa Mbak Ayu, masih di depan warung saya? Mau beli apa?" tanyaku, menyindirnya karena dia tak kunjung pergi."Saya mau nutup warungmu!" jawabnya sinis.
"Memangnya, kamu punya berapa?" lanjut Mang Supri."Cuma tujuh puluh juta, Mang.""Gampang, itu. Tujuh bulan lagi juga kamu sudah bisa lunasi, jualanmu laris kan. Ambil saja dulu, sisanya bisa cicil tiap bulan. Bukannya aku maksa, tapi memang aku berharap rumah itu dibeli olehmu walaupun sebenarnya sudah banyak yang menawar. Tapi aku ini ingat kebaikan orangtuamu dulu, mengizinkan istriku numpang jualan depan warung mereka. Itulah sebabnya, kuperjuangkan rumah ini agar bisa dibeli olehmu, bahkan aku sudah kurangi harganya dan beri keringanan."Jika kuhitung, kurang tiga puluh juta memang bisa kulunasi dalam jangka waktu paling lama tujuh bulan, itu pun kalau jualanku lancar rata-rata dapat untung bersih lima juta per bulan.Tapi, yang namanya jualan kadang tak menentu. Bagaimana
"Mbak Mur, warungnya tutup ya?"Suara pembeli mengagetkanku yang tengah melamun. Aku terperanjat dan menoleh, sepertinya dia dari luar kampung ini karena aku tak mengenalnya."Enggak, kok. Warung tetap buka, saya habis ada keperluan jadi tadi tutup sebentar. Ini sekarang mau buka lagi. Mau beli apa, Bu?" tanyaku.Dia memakai seragam dinas, jadi kupanggil 'Ibu'."Kalau begitu, mari duduk sini," lanjutku mengajaknya duduk di kursi teras.Aku membuka warung kemudian menghampiri Ibu itu lagi duduk di sampingnya."Kenalkan, nama saya Risma. Saya guru SD Sindang. Lusa, ada rapat guru-guru se-kabupaten di Gedung Persatuan Guru. Saya baca di marketplace FB, Mbak Mur juga menerima pesanan catering ya?" tany
Mas Dasep geleng-geleng kepala mendengar apa yang Ibu katakan. Dia segera meraih amplop di tangan Ibu."Kalau Ibu keberatan, sini kembalikan," kata suamiku.Ibu menepis tangan Mas Dasep. "Kamu gak sopan ya, apalagi sejak usaha istrimu maju dan sudah bisa beli ini beli itu. Kamu jadi lupakan Ibu dan lebih perhatian sama istrimu. Kenapa? Karena dia bisa memberimu uang, hah?" cetus Ibu.Ibu Mertua masih saja cemburu padaku. Sudah jelas aku ini istrinya Mas Dasep, tentu saja perlakuan Mas Dasep akan berbeda. Jika padaku dia sayang, maka pada Ibu dia hormat. Tapi, entahlah ... Ibu selalu menyalahartikan sikap suamiku."Ibu masih saja seperti itu," balas Mas Dasep.Kemudian, Ibu melihatku dengan mata malasnya. "Ibu bukannya tak mau menerima pemberian darim
Bibi semakin mendekatkan dirinya padaku dan berbisik."Ternyata, Bu RT sudah menawar rumah itu lebih dulu, Mur. Katanya, 'Awas Aja' kalau kamu sampai beli rumah itu!""Tapi kan aku sama sekali tak menawar rumah itu, Bi. Mang Supri yang datang padaku dan memintaku untuk membeli rumahnya," jawabku sambil berbisik pula.Hatiku dipenuhi rasa cemas. Mungkinkah Bu RT mengancamku. Kata orangtua, kalau dapat ancaman seperti itu berarti orang itu tidak main-main."Bagaimana dong, Bi?" lanjutku"Menurut pengalamanku, kalau orang sudah bicara seperti itu, artinya dia serius. Bisa-bisa kamu didukunkan.""Bibi jangan nakut-nakutin dong.""Mur, ini bukan nakut