“Kenapa dikasih pinjam lagi? Kan sudah kubilang, mereka itu pinjam uang bukan karena butuh, tapi karena ada niat jelek sama kamu,” protes Mas Dasep saat kuceritakan bahwa tadi sore ibu dan adiknya meminjam uangku.“Ya, habis mau gimana lagi? Mereka beralasan pinjam uang itu untuk biaya servis motor adikmu. Kan memang benar adikmu habis kecelakaan seminggu yang lalu, dan motornya masih di bengkel. Jadi, aku kasih pinjam aja karena kasihan,” jawabku.“Ah, kamu itu kalau dikasih tahu suka menjawab. Berapa yang kamu pinjamkan?” Suamiku tampak keberatan.“Satu juta, Mas. Mereka pinjamnya segitu,” jawabku sambil menunduk. Tahu persis bahwa suamiku itu akan gusar nantinya.Benar saja, begitu mendengar nominal yang aku pinjamkan, Mas Dasep
“Motor?”Tanpa sadar aku bertanya pada diriku sendiri dan terdengar oleh Bi Idah. Dia menegaskan kembali, bahwa benar kemarin Mila membawa dus-dusku menggunakan motornya.Aku masih merasa heran, bukankah motor Mila sedang diservis? Untuk itulah dia meminjam uangku. Lalu kemarin dia pakai motor siapa, karena tak mungkin pakai motor suaminya yang dipakai berangkat kerja?Seperti ada yang tak beres. Segera kututup warung dan ke rumah Mila. Sekalian hendak menagih uangku, karena menurut cerita Mas Dasep, Mila sudah menang uang proyek jadi dia pasti punya uang.“Mila!” seruku, saat tiba di depan pagar rumahnya. Dia sedang menyirami bunga ketika menoleh padaku.“Eh, Kak Murni. Sini, Kak!” sahutnya.
Melihat Ibu Mertua nangis sesenggukan, aku jadi panik. Namun, tak ada yang bisa kulakukan selain menunduk sambil meremas jemari tangan.Aku merasa kasihan, tapi juga kesal karena Ibu Mertua salah paham dengan uang itu. Sama sekali aku tak memberikannya. Uang itu adalah uang yang dipinjam Mila dariku, dan Mila berkata bohong pada Ibu Mertua."Maaf, Bu. Tapi Ibu salah paham." Aku coba bicara padanya dengan pelan. Kusentuh bahunya agar dia sedikit tenang.Langsung Ibu Mertua menepis tanganku dengan kasar. Lalu, wajahnya berpaling."Baru kali ini aku punya menantu yang tidak sopan sepertimu. Meminta kembali uang yang sudah dikasih untukku ... bukankah itu namanya tidak sopan?! Padahal, aku tak pernah minta jatah bulanan pada suamimu—anak kandungku sendiri. Kubiarkan semua uangnya untukmu, tapi
"Nangis?" Mas Dasep mengernyit.Aku menceritakan kejadian saat Ibu menangis, dan apa saja yang dikatakannya."Akhirnya, kuberikan saja uang itu untuk Ibu, Mas. Kasihan dia," kataku.Namun, bukannya merasa iba, Mas Dasep malah geleng-geleng kepala."Kamu ini, Mur .... Gampang banget dibikin kasihan sama orang," respon Mas Dasep. "Pasti kamu gak sadar kan, kalau Ibu hanya akting?""Entah akting atau bukan. Yang jelas, aku gak mau kalau sampai kehilangan doa dari Ibu. Dia bilang, kalau pelit sama orangtua bisa kuwalat," jawabku.Mas Dasep mengembus napas kasar. "Itu namanya menggertak, Murni," katanya. "Duh,begitu aja gak ngerti."Aku dapat me
Aku menajamkan pandangan, melihat wajah siapa di balik jilbab bergo berwarna hitam itu. Lesung pipinya saat tersenyum mengingatkanku pada seseorang."Bi Tika, ya?" tebakku tiba-tiba.Senyumnya semakin mengembang. "Rupanya kamu masih ingat sama aku, Mur!" balasnya.Bi Tika adalah tetanggaku dulu, sebelum dia pindah rumah setahun lalu. Dia tetangga yang lumayan merepotkan. Hampir setiap hari pasti mengetuk pintu rumahku hanya untuk minta sesendok garam, gula, beberapa biji bawang, bahkan kadang beras dan sayuran. Listrik di rumahnya saat itu juga dialiri dari rumahku, aku dan Mas Dasep kasihan karena dia seorang janda dengan tiga orang anak yang masih kecil. Waktu itu, Bi Tika tidak bekerja dan menjanda selepas suaminya meninggal dunia."Tentu saja, sama tetangga sendiri masa tidak ingat," jawabku.
"Kok kamu gitu sih, Mil? Kalau mau bayar utang ya bayar aja, jangan hubung-hubungkan dengan sisa uangku."Mulut ini terasa gatal ingin mengatakan hal itu pada Mila, tapi kedatangan Bapak Mertua yang mengendarai motor membuatku urung melontarkan kalimat itu.Mata Mila terbelalak seperti orang kepergok saat melihat Bapak Mertua turun dari motor dan menghampiri kami. Kemudian Mila meraih tanganku, dan menyerahkan keresek berisi jagung padaku."Nih, aku mau pulang!" katanya setengah berbisik, buru-buru sekali.Bapak Mertua melihat Mila yang pergi tergesa menaiki motornya. "Dia kenapa, Mur?" tanyanya padaku."Gak tahu, Pak.""Ada-ada aja anak itu," gumam Bapak Mertua. "Oh ya, kamu udah terima jagu
Tangan Mas Dasep sudah mengepal, otot-otot lengannya menegang kencang saat kutahan dia agar tak jadi pergi.Mas Dasep terbakar amarah. Aku mengerti bagaimana perkataan Bapak tadi sangat menyakitkan bagi suamiku ini. Wajah yang berubah merah padam dan ekspresi menakutkan, menguatkan hatiku untuk berani menghadapi kemarahan Mas Dasep.Mas Dasep marah terhadap Mila dan Husni, tapi api kemarahannya itu bisa membakar semua anggota keluarga yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa. Untuk itulah, aku harus berani menghadapi kemarahan Mas Dasep saat ini.Seperti halnya suamiku itu selalu menenangkanku saat aku menangis, maka aku pun harus bisa menenangkannya saat dia marah.Mas Dasep mewarisi emosi Bapak Mertua, dia akan marah semenakutkan saat Bapak Mertua marah. Jika Mas Dasep bicara dalam kead
"Kamu bisa berpikir untuk menjaga hubungan semua orang, itu hal yang baik. Tapi aku aku tetap harus bicara pada Bapak. Ini tentang harga diri."Itulah yang diucapkan Mas Dasep sesaat sebelum dia pergi.*Selesai salat magrib, aku kembali menjaga warung. Hatiku tak tenang karena Mas Dasep belum juga pulang dari rumah Bapak.Tak sengaja, aku menyentuh cincin pernikahan yang melingkar di jari manis. Cincin yang sudah kupakai selama delapan tahun. Meski dalam kondisi keuangan sulit pun, aku tak pernah berpikir untuk menjualnya. Karena, bagiku cincin ini sangat berharga dan menyimpan banyak kenangan.Pernikahanku dengan Mas Dasep terbilang bahagia, kami hampir tak punya masalah meski hidup pas-pasan dan masih mengontrak. Ujian rumahtanggaku ha