Brak!
“Kurang ajar tuh si Ray!” Nabila berujar geram setelah tangannya memukul pinggiran meja keras-keras. “Ternyata yang gue lihat di Bali itu beneran Ray. Tahu gitu gue labrak mereka.”
“Sabar, Bil,” Kiara mencoba menenangkan sahabatnya itu. “Malu dilihat orang.”
“Sabar? Masa lo masih mau sabar sih, Ki. Ini udah kelewat batas! Lagian, ngapain sih lo ngasih kesempatan kedua segala sama cowok yang selingkuh?”
“Aku pikir Ray akan berubah.” Kiara menatap earl green tea di hadapannya yang mulai dingin.
“Selingkuh tuh kayak penyakit yang nggak ada obatnya, Ki.” Nabila menarik kursinya. “Mending lo cerai aja deh.”
Kiara mengembuskan napas panjang. Perceraian? Hal itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia begitu mencintai Ray, cinta pertamanya dan berharap menjadi cinta terakhir di hidupnya juga.
“Nggak semudah itu, Bil.”
“Dasar wanita brengsek!” Jerit Prita di kamarnya sambil menatap dirinya di cermin. Rambutya mencuat serta pipinya merah padam. Riasan matanya luntur seperti habis tercebur got. Dan hal yang membuat dirinya semakin geram adalah tas barunya yang rusak.Bunyi pesan masuk terdengar dari ponselnya.“Kamu nggak apa-apa?” tulis Ray.Prita langsung membalasnya. “Dia menamparku dan merusak tasku! Kamu masih tanya apakah aku nggak apa-apa?!”“Kiara menolak bercerai.” Tulis Ray lagi. “Ini masalah besar. Jangan temui aku dulu. Kalau dia membeberkan hubungan kita, Papa akan membatalkan pengangkatanku sebagai CEO Sinar Tekstil.”“What?!” Prita membalas pesan Ray dengan emosi. “Dasar perempuan gila.”“Aku akan membujuknya lagi.”Prita melempar ponselnya dengan kesal ke kasur. “Kiara,&rdq
Beberapa hari sebelumnya“Ta, sudah kubilang. Jangan temui aku dulu—““Sudahlah, Ray. Aku tahu Kiara nggak ada di dekatmu.” Sela Prita. “Aku mau menjelaskan sesuatu padamu lalu kamu harus mengikuti skenarioku.”“Skenario apa?”“Skenario agar kamu bisa bercerai dari istrimu itu.” tegas Prita. “Ray, temui aku sekarang.”Ray pun memutar mobilnya menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Prita.“Astaga, bagaimana kamu bisa merencanakan semua ini?!” Mata Ray terbelalak melihat foto-foto Kiara bersama Robby yang ada di ponsel Prita.Prita menyilangkan kedua tangannya di pinggiran meja mini market yang menghadap keluar jendela. “Aku sudah merencanakannya dengan masak.”“Ba..bagaimana kamu bisa mengenal Robby?”Prita menepiskan tangannya di hadapan wajah Ray yang bingung. “Mudah saja, aku mencar
Tiga bulan kemudianBunyi bising itu berasal dari suara mesin-mesin jahit yang sedang bekerja ekstra menyambung pola demi pola pakaian olahraga. Kiara duduk di barisan belakang, mengerjakan jahitan dengan tekun.Sesekali dia menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Maklum saja, ruangan ini hanya dilengkapi satu kipas angin gantung untuk mengalirkan udara bagi sepuluh orang pekerjanya.“Istirahat! Istirahat!” Ani, salah satu penjahit senior di tempat itu, menepuk-nepukkan tangannya. “Jangan kerja terus nanti cepet mati.”Selorohan Ani itu dibalas tawa oleh beberapa rekannya. Saat mereka semua sudah keluar untuk beristirahat, Kiara masih sibuk mengejar ketertinggalan. Dia masih belum terbiasa menjahit dengan cepat seperti yang lain. Lagi pula, dia belum terlalu lapar.Seketika ada tepukan lembut di bahunya. Kiara menoleh dan mendapati Wardi, kepala penjahit di sini, berdiri di belakangnya.“Mak
Kedua mata Kiara menatap nanar lantai keramik yang kekuningan. Rambutnya terurai awut-awutan serta terdapat memar di lehernya.“Dasar si Ani,” ucap Mia, salah seorang karyawan senior konveksi bagian administrasi. “Ternyata dia yang menyebarkan gosip kalau kamu pacaran sama Pak Wardi.”Diman bersedekap di samping ranjang Kiara, memerhatikan lengan Kiara yang baret-baret. “Mulut Mbak Ani kan emang gitu. Kalo nyebar gosip suka nggak kira-kira.”“Makanya, Ki, kamu jangan mau kalo dideketin lagi sama Pak Wardi. Dia orangnya genit.” Saran Mia, menepuk pelan lutut Kiara.Kiara hanya bisa menghela napas panjang menanggapinya. Rasanya dia terlalu lelah bahkan untuk bersuara.Mia dan Diman ditugaskan Koh Wiliam untuk mengantarkan Kiara ke puskemas terdekat. Mengingat pertengkaran yang terjadi cukup sengit, Koh Wiliam takut jika anak buahnya itu gegar otak atau cedera.Setelah Koh Wiliam datang, mereka be
Seketika lutut Kiara goyah saat Ray menjulurkan dua test pack yang sama-sama menunjukkan dua garis merah.Tubuh Kiara tersungkur di lantai. Bahunya mengguncang hebat. Dia membekap mulutnya agar tangisannya tidak terdengar sampai keluar kamar.“Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Ray?” Air mata Kiara mengucur di pipinya. Ray beringsut ke arah Kiara dan memeluknya. “Aku harus bilang apa ke keluargaku?”Ray mengelus pelan pundak Kiara, berusaha untuk menenangkannya. “Aku juga bingung, Ki. Aku nggak nyangka bakal begini.”Selama ini, Ray selalu menggunakan pengaman—kecuali saat pertama kali mereka berhubungan. Otak Ray pun berpikir keras.“Gimana kalau aku sampai di-DO dari sekolah? Terus bagaimana kita merawat anak ini, Ray?”Rentetan pertanyaan itu membuat Ray semakin gundah.“Kiara,” tegas Ray, melepaskan pelukannya seraya meremas erat bahu Kiara. “Kita
“Huft,” Prita mendengus pelan. “Ternyata pertemuan dengan orangtuamu tadi cukup menegangkan juga.”Ray tersenyum tipis seraya mengarahkan mobilnya keluar dari driveway. “Yang penting semua berjalan lancar. Sepertinya mereka menerima kehadiranmu.”Prita mengedikkan bahunya. “Kurasa ibumu nggak terlalu menyukaiku.” Gerutu Prita, mengingat bagaimana Utami Djaya yang menatapnya sinis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ditambah rentetan pertanyaan mendetail dari calon ibu mertuanya itu mengenai latar belakang keluarga Prita. Rasanya pertanyaan-pertanyaan itu jauh lebih sulit daripada menjawab pertanyaan HRD saat interview kerja.Kini, Prita jadi penasaran apakah dulu Kiara juga mendapatkan perlakuan yang sama saat pertama kali bertemu mereka.“Jangan berburuk sangka gitu dong. Mama memang seperti itu. Dia hanya nggak ingin aku gagal untuk yang dua kali.” Balas Ray santai.&l
Awan hitam yang menggantung kala itu membuat suasana di sekitarnya semakin kelam. Embusan angin menerbangkan daun-daun kering dan menyapu lembut dahi Kiara.Dia hanya bisa tertunduk. Di balik kacamata hitamnya, air matanya tak henti-hentinya mengalir.“Ayo, kita pulang,” pinta Tante Ayu, mengelus punggung Kiara. “Kamu sudah terlalu lama di sini. Kamu harus mengikhlaskan kepergian ayahmu.”Kiara masih terisak. Sekali lagi, dia meraba nisan ayahnya itu. Perasaan tidak percaya bahwa Kusuma telah tiada masih mendera dirinya. Kakinya masih lemah dan hatinya masih tidak rela beranjak dari makam ayahnya. Namun, gemuruh petir terdengar dari kejauhan. Akhirnya, Kiara bangkit. Sambil dipapah oleh Tante Ayu, Kiara melangkah gontai menjauhi pusara makam ayahnya itu.Saat menerima telepon itu, Kiara langsung mencari penerbangan ke Batam di hari itu juga. Namun, penerbangan paling malam pun sudah fully booked. Dia baru bisa berangkat ke
Kiara bergerak ke arah Rini. “Hai, Rini.” Kini dia sudah membuang semua tata krama dan sopan santun dalam dirinya.Rini memicingkan matanya. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas. “Wah, kejutan. Aku tak menyangka akan kedatangan tamu spesial. Mantan anak tiriku yang sudah lama menghilang. Mau apa kau ke sini, Nak? Meminta uang dariku? Apa kau jatuh miskin sekarang?”“Kau pasti senang mengetahui kalau ayahku telah tiada,” desis Kiara.Rini sengaja menghela napas pelan. Ekspresinya menyiratkan penyesalan yang dibuat-buat. “Oh, aku tahu itu, Sayang. Sungguh malang Kusuma. Aku bahkan tidak sempat berada di sisinya di saat terakhirnya. Sama seperti dirimu, ya kan?”“Aku tidak heran. Wanita selicik dirimu memang tidak punya belas kasihan. Kau telah merampas semua harta milik ayahku dan meninggalkannya begitu saja!”“Aku tidak melakukan kejahatan apa pun,” Rini mengangkat bahuny