Chris Rowell benar-benar menagih janjinya. Pria itu sengaja datang ke kedai serta menjemput Anna tepat setelah pertukaran jam kerja berakhir. Samantha bertanya dengan dagunya. Wanita ini tampaknya tidak bisa melihat pria tampan menganggur barang sedetik pun.
“Kau berkencan dengannya?” celetuk Samantha di tengah-tengah melepas apron. Kebetulan dua hari berturut-turut Anna kembali dipasangkan dengan Samantha. Untuk itulah keduanya jadi lebih sering berinteraksi.
“He is too hot, Anna. Kau terlalu bodoh mengabaikan pria setampan itu terus menunggu tanpa kepastian,” lanjutnya kemudian.
“Jangan gila, Sam. Chris sudah kuanggap seperti keluarga sendiri.”
“Ah, jadi namanya Chris. Nama yang cocok dengan orangnya.” Tatapan Samantha mendadak berubah. Satu alisnya tiba-tiba terangkat. “Aku pikir hanya kau saja yang beranggapan seperti itu, Anna. Jelas sekali kalau pria itu melihatmu sebagai wanita.”
Giliran Anna yang mengangkat satu alisnya. “Bicaramu selalu tidak masuk akal, Sam.”
Anna meninggalkan Samantha yang masih terkekeh di ruang ganti. Terkadang pikiran wanita itu sering kali meracau tidak jelas seperti halnya sekarang. Anna hanya perlu tidak mengambil pusing daripada ikut stres memikirkan sesuatu yang mustahil.
Anna menghampiri Chris Rowell di sudut meja di mana pria itu sedang menunggunya. Senyum pria itu kemudian menyapa, membuat beberapa pelanggan wanita menoleh ke arah mereka berdua dengan tatapan memuja. Tentu saja bukan sesuatu yang aneh lagi untuk Anna.
“Setelah ini kau bebas, kan?” tembak Chris Rowell to the point. “Hari ini kau sudah berjanji jika aku bebas menggunakan waktumu, ingat?”
Anna memutar bola matanya jengah lalu berjalan di depan ketika Chris Rowell membukakan pintu kedai untuknya. Mereka lalu berjalan berdampingan melewati kawasan perkantoran elit yang tidak pernah sepi dengan pejalan kaki. Ditambah lagi ini memasuki akhir pekan, maka semakin ramailah kawasan itu.
“Apa kau selalu berada di tengah-tengah lautan orang seperti ini, Anna?” Chris Rowell tiba-tiba memecah keheningan saat keduanya berhasil turun dari desakan dari dalam bus.
“Pantas saja bibi Pamela mengkhawatirkanmu. Kau tidak akan pernah tahu kriminal macam apa yang akan terjadi di dalam sana,” lanjutnya lagi.
“Mereka akan sia-sia merampokku, Chris. Aku ini wanita miskin. Apa yang bisa perampok itu dapatkan dariku?” Anna tertawa menimpali.
“Pelecehan seksual misalnya.” Perkataan Chris Rowell membuat Anna berhenti sejenak. Pria itu membuatnya berpikir tentang hal yang sama sekali tidak pernah ada dalam pikirannya.
“Kau beruntung karena tidak mengalaminya. Mulai sekarang kau harus lebih berhati-hati, dan hentikan melihatku seperti itu, Anna!”
Bug!
Anna memukul pundak Chris Rowell atas perkataannya barusan kemudian bergegas menaiki tangga menuju nomor apartemen. Pintu apartemen terbuka ketika bel berbunyi tiga kali. Ada Pamela yang menyambut mereka berdua di sana.
“Hai, Bibi Pamela,” sapa Chris Rowell dari batas pintu.
“Hai juga, Tampan. Jadi, sudah kalian putuskan akan pergi kencan ke mana?”
“What?! Kencan?! Siapa dengan siapa yang kau maksud, Mom.” Anna tiba-tiba menyela.
Pamela mengangkat bahunya kemudian menghilang tanpa penjelasan dan meninggalkan dua manusia berbeda jenis kelamin yang saling berpandangan. Chris Rowell berdehem mengambil kotak yang tergeletak di atas sofa yang tampaknya telah dipersiapkan beberapa saat sebelum pria itu menjemputnya.
“Apa ini?” tanya Anna ketika menerimanya. “Dua hari ini kau penuh dengan kejutan, Chris.”
“Malam ini kau akan jadi partnerku, Anna,” kata Chris Rowell dengan sebelah tangan menahan batas pintu.
Anna mengerjap mata berulang kali. “Malam ini?”
Chris Rowell mengangguk. “Gaunnya sudah kusiapkan. Aku yakin kau akan terlihat sangat cantik.”
Alis sebelah Anna terangkat. “Apakah aku masih punya pilihan untuk menolak ajakan ini?”
Chris Rowell menggeleng dengan sudut bibir sedikit ke atas. “Tentu saja tidak.”
***
Gaun merah pilihan Chris Rowell melekat pas di tubuh ramping Anna malam ini. Gaun sebatas lutut dan sedikit memperlihatkan pundaknya yang telanjang meninggalkan kesan menawan ketika Anna mematut dirinya sendiri di depan kaca. Anna tersenyum puas dengan sapuan riasan diwajah yang sudah terlahir cantik itu.
“Ah, jadi juga ternyata.” Pamela muncul tiba-tiba di ujung pintu saat melihat putri kecilnya itu tengah mematut diri di depan kaca, memastikan semua yang dikenakan sempurna.
“Melihat wanita secantik ini, aku tidak yakin Chris akan membawamu pulang setelah pesta berakhir.”
Dahi Anna berkerut kemudian berbalik, menatap ke arah ibunya. “Aku hanya menemani Chris, Mom. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”
“Well, kalian adalah dua orang dewasa yang sudah mengerti hal semacam itu tanpa harus kujelaskan. Selagi kalian bermain aman aku tidak akan mempermasalahkannya,” sahut Pamela dengan santainya.
Tawa Pamela lolos setelah melihat ekspresi terkejut putri kecilnya itu. Pamela tahu bahwa Anna bukanlah wanita kurang pergaulan sehingga tidak mengerti maksud dari ucapannya.
“Aku hanya bercanda, Sayang.”
Pamela mengusap perlahan kedua pipi Anna kemudian mengecupnya lembut. “Bersenang-senanglah, Sayang selagi kau bisa.”
Anna mengangguk kemudian memeluk ibunya. Tak perlu menunggu waktu lama, Chris Rowell telah datang menjemput Anna di batas pintu dengan tuxedo hitam yang sangat serasi dengan gaun merah pilihannya.
Sydney Opera House adalah salah satu tempat paling bergengsi di Australia di mana terdapat 1.600 pertunjukan yang pernah diselenggarakan di sana setiap tahun termasuk opera, musik, balet, dan masih banyak pertunjukan seni-seni lainnya. Dan yang menjadi venue terbesarnya adalah pertunjukan paduan suara dengan kapasitas lebih dari 2.000 kursi memenuhi Concert Hall.
Sudah sejak lama Anna ingin mengunjungi gedung yang menjadi landmark negara tempat tinggalnya itu. Dan siapa yang menyangka kalau keinginannya itu justru terwujud diusianya yang sudah dibilang dewasa—tiga puluh satu tahun.
Meskipun nyanyian opera yang diperdengarkan di telinga sungguh membosankan, tapi Anna sangatlah berterima kasih pada Chris Rowell yang telah mengajaknya kemari.
“Thank you,” bisik Anna lirih di telinga Chris Rowell—membuat pria itu tersenyum dan mengangguk pelan.
Pesta yang dimaksudkan Chris Rowell adalah jamuan makan malam bersama salah satu professor di tempat pria itu bekerja. Chris Rowell adalah seorang dosen muda di salah satu universitas ternama di New South Wales. Muda, pintar, tampan, dan juga baik hati. Begitulah sosok seorang Chris Rowell dimata Anna. Sosok pria nyaris sempurna yang menghargai wanita melebihi apa pun di dunia ini.
Anna mengeringkan tangannya dengan saputangan saat dia baru saja keluar dari toilet. Celingukan ke sana kemari mencari sosok Chris Rowell yang ternyata tidak berada di tempat yang sama saat Anna terakhir kali melihatnya. Benda pipih sudah menempel di telinga, berharap pria itu menjawab panggilan darinya.
Anna memaki dirinya. Seharusnya, Anna bisa memberitahu Chris Rowell dulu ketika hendak ke toilet. Bukan malah pergi menghilang kemudian tersesat di tengah lautan manusia yang sama sekali tidak dikenalinya.
Tiba-tiba saja punggung Anna menabrak punggung seseorang tepat di belakangnya. Anna pun menoleh. Pria dengan penampilan luar biasa berdiri tepat di depan Anna dan membuat waktu disekeliling mereka mendadak terhenti. Menciptakan suatu dimensi baru yang hanya berisi mereka berdua saja di sana.
Anna pun mengerjap. Perasaan apa ini? Kenapa seolah-olah dia merasa begitu mengenali pria asing dihadapannya?
“Ah, maafkan saya, Tuan,” tukas Anna mencairkan atmosfer tidak mengenakkan disekeliling mereka. “Saya benar-benar tidak sengaja.”
“No problem,” jawab pria itu sambil membersihkan tumpahan minuman yang mengenai long coat yang dia kenakan. Pria itu berdehem dan beralih menatap Anna dengan saksama.
“Saya tidak pernah melihat Anda sebelumnya di sini. Siapa partner Anda?”
“Eh, oh, itu. Saya partner dari tuan Rowell. Chris Rowell,” jawab Anna terbata. Anna bahkan tidak pernah mengira akan bertemu dengan Andrew Lewis, billioner muda dan tampan di sini.
“Dan Anda kehilangan jejaknya?” Anna tidak menjawab namun pria itu justru mengerti arti dari keterdiamannya. “Saya tidak kaget. Sifat berpetualang pria memang sangat merepotkan. Mereka terkadang lupa jika mereka datang membawa pasangan.”
“Anda salah. Saya yang pergi dengan seenaknya.”
Andrew Lewis tertawa. Ya, pria itu tertawa. Dan itu langsung menghilangkan kesan sombong yang sempat melekat di otak Anna beberapa saat lalu. Kemudian mereka terlibat percakapan seru, tanpa mempedulikan jika mereka adalah dua orang tidak saling mengenal yang baru saja bertemu dalam hitungan menit. Anna lupa waktu begitu pula dengan Andrew Lewis. Hingga akhirnya seorang pria mendatangi mereka berdua dan menyela obrolan.
“Sudah waktunya, Tuan.”
Andew Lewis mengangguk kemudian beralih pandang pada Anna. “Sangat disayangkan sekali kalau pembicaraan ini harus berakhir. Senang bisa berbincang dengan Anda, Nona—"
“Anna.” Anna menjawab.
“Semoga kita bisa bertemu kembali, Nona Anna.”
Andrew Lewis pun pergi. Meninggalkan Anna yang terlihat berat hati merelakan percakapan mereka berakhir begitu saja.
“Anna, kau dari mana saja? Aku mencarimu ke mana-mana.”
Sosok Chris Rowell tiba-tiba saja muncul di depan Anna. “Hei, kau kenapa?” tanya pria itu lagi saat melihat Anna tertegun tanpa sebab.
“Tidak. Aku tidak apa-apa,” sahut Anna segera. “Bisa kita pulang sekarang, Chris?”
Chris Rowell menatap Anna. “Anna, are you ok?”
Anna tidak menjawab. Dia hanya ingin pulang ke apartemennya sekarang juga. Dia hanya mau menormalkan otak serta mendinginkan jantungnya saja.
Andrew Lewis melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam mobil. Pertemuan singkatnya dengan wanita di Sydney Opera House memancing segudang pertanyaan dalam benaknya. Andrew Lewis merasakan sensasi berbeda ketika berada di dekat wanita itu. Sensasinya sulit untuk dia ungkapkan dengan kata selain rasa nyaman, nyaman, dan nyaman. Andrew Lewis memandang sepinya malam melalui pantulan kaca mobil. Mengetatkan long coat yang selalu melekat ditubuhnya tanpa peduli waktu. Pikiran Andrew Lewis berjalan tanpa arah. Andrew Lewis memang terlahir berbeda dari saudara kembarnya. Tubuhnya lemah dan bahkan nyaris mati. Kuasa Tuhan yang masih mengizinkannya hidup. Kemudian hal aneh pun terjadi. Suhu dan tekanan darahnya menurun. Tubuh mungilnya menggigil tidak terkendali. Di saat itulah Andrew Lewis harus menerima kenyataan jika dia kehilangan kemampuan merasakan panas tubuhnya sendiri. Andrew Lewis tidak akan bisa hidup seperti manusia normal. Tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mengalami pergan
Email yang berisi kalau naskah yang dikirimkan Anna beberapa hari lalu akhirnya datang juga. Anna tentu merasa senang sekaligus khawatir. Senang karena recehan dolar akan mengalir sebentar lagi, khawatir karena Anna sendiri masih belum sepenuhnya yakin apakah dirinya sanggup atau tidak menulis adegan erotis nantinya. Referensi saja masih belum Anna dapatkan, bagaimana dia menulisnya? Biar bagaimanapun Anna sungguh berterima kasih sekali karena telah diberikan kesempatan mencoba, mengasah kemampuan yang telah sejak lama dia tekuni. Oh Anna, sudah saatnya kau keluar dari zona ternyamanmu. Anna menyimpan kembali ponsel ke dalam saku apron yang dikenakannya. Sore itu suasana kedai tidak terlalu ramai. Pelanggan yang berdatangan hanya bergantian silih berganti tidak seperti biasanya. Samantha mematung menatap tayangan yang ditampilkan layar televisi. Dia mengerjap sesaat diikuti dengan satu tangannya yang menopang dagu. Mendadak Samantha berdecak—membuat Anna penasaran sekaligus terkejut
Anna tahu seluas apa koneksi pria di depannya. Anna juga tahu sebesar apa kekuasaannya di jagat perekonomian. Namun, yang paling tidak Anna ketahui adalah alasan dibalik perbuatan yang pria itu lakukan untuk keluarganya. Anna hanyalah wanita asing bagi pria itu dan begitu pula sebaliknya. Anna masih berusaha mencerna serta memahami situasi yang terjadi saat ini. Dia berdiri membelakangi dua manusia tepat di belakangnya dengan tangan berpegang erat pada ujung meja sambil berpikir. Anna memaksa otaknya berpikir cepat, secepat yang dirinya bisa. “Bisa Anda jelaskan alasannya, Tuan Lewis?” Anna memutar tubuhnya. “Saya paham niat baik Anda, tapi saya juga perlu tahu kenapa Anda berbuat sejauh ini untuk keluarga saya. Saya ….” Anna bahkan tidak bisa meneruskan kata-katanya. Karena dipikir bagaimanapun semua yang dilakukan pria itu tidak akan pernah masuk akal. Mendadak Anna teringat akan pemberitaan mengenai pria itu di layar televisi tadi siang. Andrew Lewis—keturunan generasi ketiga se
“Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya? Holy shit! Kau sungguh beruntung, Anna.” Belum selesai Anna menguap, pertanyaan paling ingin dia hindari mendadak muncul. Apalagi diikuti dengan umpatan. “Bagaimana mungkin, Anna? Bagaimana caramu bertemu dengan pria setenar dia?” Anna menghela napas beratnya. Dia melepaskan topi yang menutupi kepalanya dengan kasar kemudian berusaha menceritakan satu per satu kejadian yang dia alami saat di Sydney Opera House. Gelengan kepala Samantha mengundang pertanyaan tambahan untuknya. “Kenapa? Kau tidak memercayaiku?” Anna terlihat tersinggung. Tidak ada keuntungan untuk Anna melebih-lebihkan sesuatu hanya karena kedudukan pria itu. “Oh c’mon, Anna. Bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa kalau kau cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan Andrew Lewis. Kau tahu banyak wanita yang rela antri hanya demi berbicara dengannya, sedangkan kau hanya berdiri saja dan pria itu yang menghampirimu.” Anna memutar bola matanya. Sebetulnya, Anna tahu k
“Kau baru bangun?” Anna tersentak ketika dia melihat Pamela yang masih terjaga di dapur. Anna menghampirinya dengan tatapan setengah mengantuk, tapi juga setengah menahan rasa pusing di kepala. “Kau belum tidur, Mom?” Anna melirik jam di nakas yang telah menunjukkan angka satu. “Aku akan tidur sebentar lagi setelah menyelesaikan ini. Kau tahu mereka menyukai roti lapis buatanku dan memesannya lagi untuk dua hari mendatang,” kata Pamela senang. “Aku ikut senang mendengarnya, Mom. Katakan padaku jika kau memerlukan bantuan.” Pamela mengangguk, lalu ikut bergabung dengan Anna merebahkan dirinya di sofabed. “Kau pulang dalam keadaan mabuk, Anna,” kata Pamela memulai obrolan, lalu menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi mata Anna sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku tidak pernah melihatmu pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, Sayang. Ada apa sebenarnya?” “Tidak ada, Mom. Aku hanya salah menegak whiskey yang berkadar alkohol tinggi. Setelah itu aku tidak ing
Tidak tahu seluas apa kekuasaan yang dimiliki seorang Andrew Lewis. Pasalnya bahkan hanya untuk masuk ke bioskop pun mereka tidak melakukan seperti yang biasanya orang lakukan. Selimut ditiap kursi telah tersedia berikut dengan popcorn serta minuman. Anna mengunyah popcorn dengan perasaan kesal yang belum hilang. Dia benar-benar merasa dipermainkan oleh pria disampingnya. “Kau tidak suka filmnya?” bisik Andrew Lewis lirih di telinga Anna yang membuat wanita itu kaget setengah mati. Mata mereka saling beradu. Senyum pria itu kembali membuat Anna tidak bisa berkata-kata. Sepertinya seperti inilah cara pria itu menaklukkan hati wanita-wanita di sekitarnya. “Kalau kau merasa film ini membosankan, kita bisa tinggalkan tempat ini sekarang,” lanjutnya kemudian. Anna menelan ludahnya. “Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari saya, Tuan Lewis?” Senyum Andrew Lewis kembali menghampiri. “Kau boleh memanggilku Andrew, Anna.” “Tidak bisa. Saya tidak memiliki wewenang memanggil nama Anda.” “W
“Jadi, namanya Anna Wijaya.” Andrew Lewis menoleh ketika melihat saudara kembarnya Andreas masuk tanpa permisi ke ruang pribadinya dengan ocehan yang sama sekali tidak dia pahami. “Kenapa kau menatapku seperti itu? Terkejut?” sahut Andreas ketika melihat Andrew Lewis hendak memprotes perkataannya barusan. “Jangan salahkan aku, Andrew. Begitu banyak dokumen yang berada di atas meja Alex semuanya merujuk pada satu nama. Anna Wijaya, wanita yang mulai kau gilai diam-diam. Sudah sejauh apa kau menyelidiki wanita ini.” Andrew Lewis mendengus tanpa berniat menimpali. Karena sepertinya percuma saja dia menjawab rasa penasaran Andreas. Saudara kembarnya itu pasti selalu satu langkah di depannya dalam hal apa pun. “Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku? Ceritakan sedikit seperti apa wanita bernama Anna Wijaya itu. Bukankah sudah banyak yang kau lakukan untuk mendekatinya.” Kenyataannya Andrew Lewis sedikit terusik hingga menghentikan pekerjaannya. Dia memutar kursi meninggalkan singgasan
Pemandangan Sydney Opera House di malam hari membuat Anna berdecak kagum. Dia tidak mengalihkan pandangan sedikit pun saat kaca jendela mobil dibuka selebar-lebarnya oleh pria yang saat ini membawanya ke tempat yang mereka tuju. Anna bahkan tidak pernah bermimpi akan datang ke tempat ini lagi. “Tuan Lewis sudah menunggu Anda di dalam, Nona Anna.” “Thank you, Alex,” sahut Anna. Pria bernama Alex itu mengangguk. Sejujurnya Anna tidak mempunyai banyak gaun yang cocok selain gaun pemberian Chris Rowell. Gaun yang sama ternyata mengantarkannya ke tempat yang sama pula. Anna merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Menghadiri makan malam mewah di salah satu resto yang mungkin hanya orang beruang saja yang sanggup apalagi bersama dengan pria pengatur roda perekonomian. Ya, akan banyak sekali wanita di luar sana yang iri dengan Anna. Andrew Lewis sudah lebih dulu berada di sana. Di meja paling ujung serta paling privasi menunggu dirinya dengan gelas berisi anggu