Milan, 04 Maret 2018
Pada dasarnya setiap pertemuan pasti akan menimbulkan perpisahan. Terima atau tidak hal itu pasti akan terjadi. Dipisahkan oleh jarak dan waktu, bagi mereka yang sudah biasa hidup bersama tentu meninggalkan rasa kehilangan yang cukup mendalam
Mau bagaimana lagi? Memaksa Sofia untuk tetap ikut juga tidak mungkin dilakukan Nicholas. Berusaha untuk tetap tinggal juga tidak mungkin, karena ada orang tua yang sudah sepuh menunggu kepulangannya. Meski sang putra, El menangis meminta dirinya untuk tetap tinggal tetapi Nicholas tidak dapat melakukan itu.
“Dad jangan pergi. El tidak akan memiliki daddy lagi,” ucap anak berusia 4 tahun itu dengan berderai air mata.
Nicholas berjongkok, memeluk erat tubuh putranya. Meski El bukan darah dagingnya, tetapi El tetap putranya sampai kapan pun.
Sofia mendongakkan wajahnya, mencoba menahan air mata yang sedari tadi memaksa untuk keluar. Menggigit kuat bibir bawahnya agar tang
Rintik hujan kembali membasahi permukaan bumi. Aroma khas dari dinginnya air hujan, membuat hati siapa pun terasa nyaman. Tak terkecuali Sofia. Wanita itu tampak berjalan di balik payung, di bawah rintik hujan. Ingin rasanya dia berada lebih lama di bawah air hujan, yang memberikan kenyamanan di dalam diri. “Aroma ini, aku sangat menyukainya.” Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman yang terlihat sangat manis. Langkah kecilnya terus melangkah menuju sekolah putranya. Dia sengaja berjalan kaki guna bisa menikmati cuaca sore ini. “Mom!” seru anak kecil di depan gerbang sekolah. Sofia tersenyum. Kakinya segera melangkah menghampiri sang putra. “Bagaimana dengan harimu, Sayang?” tanya Sofia. Tangannya mengusap rambut hitam legam itu, lalu berjongkok menyamakan tinggi tubuh mereka. “Sangat baik Mom,” jawab El antusias. “Kalau begitu mari kita pulang!” ajak Sofia dengan nada bersemangat ***
Hati ibu mana yang tidak terluka melihat sang anak terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Peluh yang bercucuran serta rasa lelah tak lagi dihiraukan oleh Sofia. Rasa panik yang menyerangnya jauh mengalahkan semua itu. Apalagi setelah melihat anaknya mengalami kejang-kejang dalam waktu yang cukup lama. Beruntung ada salah satu tetangga apartemen yang mau membantunya tadi. Wanita itu tampak duduk di samping tempat tidur El. Di mana di sana anaknya tergolek lemah dengan selang infus di punggung tangan. Suhu tubuhnya masih tinggi, hanya saja kini dia sudah tidak mengalami kejang-kejang lagi. Kata-kata ‘daddy’ selalu terucap di bibir mungil itu. Waktu terus berputar, jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Yang mana artinya di Indonesia sudah pukul 9 pagi. Kenzo, pria itu sama sekali tidak mengangkat atau menghubungi Sofia kembali. Mungkin sibuk, itulah yang ada di pikiran Sofia. Lagi pula mereka tidak memiliki hubungan apa-apa, di mana Sofia
Pria berkulit eksotis itu berjalan turun dari atas pesawat yang membawanya mengudara selama kurang lebih 16 jam. Tangan kanannya menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya, sedangkan tangan kirinya berada di dalam saku celana.Angin hangat mulai menyapa, seolah menyambut kedatangan pria yang tidak lain adalah Arnold. Kedatangannya kali ini terpaksa harus ditunda. Bukan tanpa sebab, pria itu mendadak merasa kurang sehat beberapa hari yang lalu.“Kita langsung menuju hotel?” tanya pria berdarah Belanda itu.Pria di sampingnya mengangguk mengiyakan......Di dalam perjalanan menuju hotel, Arnold terlihat diam memikirkan kondisi tubuh yang masih belum stabil. Dia juga merasa heran, karena seumur hidup pria itu hampir tidak pernah sakit.Pandangannya menatap jalanan kota Milan yang terlihat ramai. Pohon-pohon terlihat sangat asri dan menyejukkan mata. Beruntung Arnold bisa mengunjung
Pria bernetra abu itu sudah siap dengan jas berwarna hitam yang dipadukan dengan kemeja berwarna biru tua di dalamnya. Berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Bukankah wajahnya terlihat sempurna?Arzan masuk begitu saja ke dalam kamar Arnold tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Pria itu sama gagahnya dengan Arnold, dengan balutan jas yang berwarna senada dengan atasannya.“Ayo cepat! Acaranya akan segera dimulai.”Arnold hanya mengangguk, menanggapi perkataan asistennya......Netra abu itu menatap takjub penuh kekaguman ke arah gedung berlantai 40 di hadapannya. Ini adalah hasil kerja kerasnya selama ini. Hasil yang terpampang nyata di depan mata.Hunian mewah dengan 40 lantai. Bangunan yang didesain khusus oleh arsitek ternama. Bergaya modern luxurios, sesuai dengan desain apartemen yang sedang digandrungi saat ini. Menggunakan aksen minimalis adalah kunci utamanya, ditambah dengan
Arnold memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Dia takut ada sesuatu yang serius terjadi dengan dirinya. Meski dokter sebelumnya mengatakan bahwa kondisi dia baik-baik saja. Entahlah pria itu masih tetap merasa kurang nyaman dengan rasa gelisah yang terus menghantam jiwanya.Kali ini pemeriksaannya juga baik-baik saja. Tidak ada penyakit serius yang perlu dikhawatirkan, hanya kelelahan karena perjalanan panjang. Itu saja, penjelasan yang dia dapat dari dokter.Pria itu berjalan di Koridor rumah sakit. Netra abunya terus meneliti, setiap sudut rumah sakit. Taman rumah sakit yang dipenuhi para pasien yang mungkin, sedang menikmati pemandangan di luar karena merasa bosan.Selanjutnya, pemandangan yang mengejutkan jiwanya terjadi. Dia kembali melihat sosok gadis yang sejak kemarin selalu menghantui dirinya, sejak kedatangannya di kota Milan. Pria itu berlari, berusaha mengejar sosok yang baru saja dilihatnya dari kejauhan.Tidak. Kali ini tidak akan dia biarka
Netra abu itu masih terus menatap awan mendung di langit Kota Milan. Kota indah yang berada di Italia. Hatinya dirasuki keraguan. Kembali atau tetap tinggal. Dia masih begitu penasaran dengan sosok gadis yang sangat mirip dengan Sofia. Jika memang benar gadis itu adalah Sofia, apa yang akan dilakukannya setelah dia berhasil bertemu dengan gadis itu? Lama menatap ke arah luar apartemen megah miliknya, suara deringan ponsel mengembalikan kesadaran pria itu. Arnold bergegas masuk, lalu mengambil ponsel di atas nakas. Dahinya mengernyit, setelah mengetahui siapa yang menghubungi dirinya. “Iya. Ada apa?” tanyanya langsung setelah memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. “Kapan kau kembali Kak?” tanya suara pria di seberang sana. “Entahlah. Besok atau lusa mungkin,” jawab pria itu sekenanya. “Sebaiknya jangan kembali dulu,” sergah adik laki-lakinya. Arnold mengernyit mendengar hal itu. “Apa ada masalah?” tanyanya la
Sofia berkali-kali meneguk wine di tangannya. Permintaan El tadi benar-benar di luar prediksi wanita itu.“Mom, kau bilang akan memenuhi segala permintaan kalau El sembuh, bukan?” tanya El hati-hati.Sofia mengangguk. “Itu janji Mommy, Sayang. Jadi sekarang El mau apa?” tanya Sofia antusias.Dia akan memberikan apa pun yang diminta anaknya itu. Uang bisa dicari kapan pun, asalkan anaknya bisa sehat kembali, itu tidak jadi masalah.“Bisa kita temui daddy, Mom?” Anak kecil itu menundukkan kepalanya setelah mengatakan hal itu, dia takut ibunya akan marah mendengar permintaan yang terdengar konyol.“Daddy sangat jauh, Sayang.” Sofia mengusap lembut rambut hitam legam itu. Mencoba memberi pengertian.“Uncle Ken akan berangkat pekan depan. Kita bisa pergi bersama, Mom.” Kini kepala El perlahan mendongak, menatap ibunya dengan tatapan penuh permohonan.Sofia tersenyum simpul.
“Sofia!” seru Nicholas sekali lagi ketika mendapati keheningan wanita itu.“Kau jahat Nic. Kau sama seperti mereka!” Sofia mendongakkan kepalanya. Menatap netra biru itu melalui layar ponsel.Sesungguhnya rasa sakit akan pengkhianatan masih membekas kuat dalam benaknya. Setitik rasa kecewa itu mulai hadir diiringi ketakutan, dan itu semua karena Nicholas.“Fia, ascoltami. Non ho intenzioni malvagie del genere (Fia, dengarkan aku. Aku tidak memiliki maksud jahat seperti itu),” ujar Nicholas sekali lagi. Mencoba meyakinkan wanita di seberang sana bahwa ini semua salah.Pemikiran wanita itu benar-benar keliru.“Allora, cos’è tutto questo Nic? Hai promesso di essere un buon padre per lui! L’ho detto molte volte, non promettergli niente (Lalu apa semua ini Nic? Kau berjanji akan menjadi ayah yang baik baginya! Sudah berulang kali aku katakan, jangan menjanjikan apa pun kepadanya).” Suara