Share

Chapter 6 - Paparazzi

Headline berita hampir semua menyebut nama Marissa Quill beserta fotonya. Itu foto yang diambil dilobi perusahaan bersama Kakek Arnold di sampingnya. Ah, jangan lupa majalah yang baru saja Anna lempar di atas meja.

“Jelaskan secara rinci, jangan ada satu pun yang terlewat. Aku tidak ingin penjelasan singkat, padat, dan jelas,” tuntut Anna sambil melipat tangan di depan dada.

Marissa duduk diam, memandang fotonya di majalah. Seumur-umur, Marissa tidak pernah berkhayal wajahnya akan terpampang di halaman depan sebuah majalah.

Anna menghela napas, “Marissa, aku butuh jawaban.”

Baru saja Marissa ingin menjawab, dering ponselnya mengalihkan pandangannya. Dari David. Lagi-lagi Marissa menghela napas. Lelah menerima panggilan dari David yang sejak kemarin seakan-akan menerornya.

“Abaikan. Sekarang jawab pertanyaanku,” desak Anna.

“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi, jangan menyela. Oke?”

Anna berpikir sebentar sebelum mengangguk.

“Jadi, aku pernah menyelamatkan Kakek Arnold. Se—”

“Kakek Arnold?”

Marissa memejamkan mata menahan diri agar tidak marah, “Arnold Smith, kakek-kakek yang kau lihat waktu itu. Setahuku dia pendiri Sun Group.”

“Oh, shit!” teriak Anna lalu menutup mulutnya. “Marissa, ini benar-benar gi—”

“Anna!” tegur Marissa.

“Oh, maaf. Aku lupa janjiku,” kata Anna kemudian mengulum bibirnya.

“Sejak saat itu Kakek Arnold sering berkunjung ke kafe dan memintaku berkenalan dengan cucunya.”

Mulut Anna terbuka semakin lebar. Namun, sebelum Anna berhasil menyela. Marissa segera menempelkan jarinya ke bibir agar Anna tetap diam.

“Awalnya aku menolak. Karena David. Tapi, saat tahu aku dan David berpisah, Kakek Arnold kembali membujukku,” Marissa menghela napas, “Aku menyanggupi bujukan Kakek hanya untuk membuat David menyesal. Aku sama sekali tidak menyangka Kakek akan memperkenalkanku sebagai cucunya sekaligus mengenalkanku pada Edrick dengan cara seperti ini.”

“Sudah selesai?” tanya Anna.

Marissa mengangguk lemah.

“Oh my God! Marissa ini benar-benar gila. Kita berdua tentu tahu bagaimana besar dan berpengaruhnya Sun Group di Inggris. Dan sekarang, kau diangkat sebagai cucu dan sebentar lagi menjadi istri seorang konglomerat.”

“Istri?”

Anna mengangguk semangat, “Ya! Kau dan Edrick. Siapa lagi? Atau kau lebih suka Eric? Sebenarnya terserah kau pilih siapa, mereka berdua sama saja. Tampan dan kaya.”

“Anna, sepertinya khayalanmu terlalu jauh.”

“Kenapa? Jangan bilang kau tidak mau.” Anna menyipitkan mata curiga.

“Aku memang tidak mau.”

“Kenapa?!”

“Anna, aku baru saja putus dari David. Aku belum bisa membuka hati untuk orang lain. Selain itu..” Marissa menggantung kalimatnya.

“Selain itu?”

“Sepertinya Edrick tidak tertarik padaku.”

“Itu karena kalian belum saling mengenal. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, Marissa.”

Marissa mendengus mendengar Anna berbicara tentang cinta. Cinta yang Marissa pupuk selama setahun sebelum resmi menyandang status sebagai kekasih David lalu lima tahun mempertahankan cinta, pada akhirnya berakhir tragis juga.

“Yang harus kau benci bukan cinta, Marissa. Tapi, David.”

***

Niatnya bekerja hari ini mendadak batal karena pintu depan kafe dipenuhi paparazzi. Untungnya John datang tepat waktu dan menyelamatkan Marissa. Ini pasti ada hubungannya dengan pengumuman Kakek Arnold kemarin.

Marissa menghela napas sembari menyandarkan punggungnya. “Terima kasih, John. Aku berutang padamu.”

“Tidak perlu. Kakek Arnold sudah menggaji saya lebih dari cukup.”

Marissa menegakkan punggungnya mendengar panggilan John yang dulunya Mr. Smith berubah menjadi Kakek Arnold. “Sepertinya kau semakin dekat dengan Kakek Arnold.”

John melirik Marissa dari spion, “Berkat Anda.”

“Aku?” Marissa mengernyit.

“Beliau semakin percaya dengan saya karena Anda juga mempercayai dan cepat akrab dengan saya.”

Hanya karena itu? Marissa mengernyit, ternyata Kakek Arnold orang yang cukup rumit juga. “Ngomong-ngomong kau akan membawaku ke mana?”

“Ke tempat yang aman.”

“Aman? Apa rumahku tidak lagi aman?” kata Marissa lemah. Seharusnya Marissa tidak menerima bujukan Kakek Arnold untuk mengenalkannya dengan Edrick. Mana ia tahu kalau yang terjadi bukan hanya perkenalan, tetapi juga pengakuan Kakek Arnold bahwa Marissa sudah seperti keluarganya.

Untuk orang kalangan atas, berita semacam ini akan sangat menggiurkan bagi pemburu berita. Atau bahkan musuh-musuh yang ingin menjatuhkan perusahaan Kakek Arnold. Marissa mendesah berlebihan, tamat sudah riwayatnya.

“Keselamatan Anda sudah Kakek Arnold jamin. Hanya saja, untuk hari ini Kakek Arnold takut Anda diserang paparazzi.”

Marissa mengangguk pelan. Meski tak sepenuhnya percaya pada ucapan John, untuk kali ini Marissa akan berpura-pura percaya. Sisa perjalanan menuju tempat yang tidak Marissa ketahui, ia habiskan dengan melamun. Memikirkan hari esok dan bagaimana ia harus bekerja. Belum lagi bos yang sangat senang menceramahinya. Tidak bisa Marissa bayangkan bagaimana mata tajamnya menusuk ketika ia marah karena paparazzi yang memenuhi kafenya. Marissa bergidik ngeri. Mulai detik ini, ia harus memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan jika bosnya benar-benar marah.

Lamunan Marissa mendadak buyar ketika mobil berhenti namun mesinnya masih menyala. Marissa mencoba mengintip apa yang di depannya.

“Wow!” ujar Marissa tanpa sadar ketika matanya menangkap pemandangan menakjubkan. Sebuah pagar tinggi menjulang dengan ukiran rumit terbuka secara otomatis. Mobil kembali melaju, melewati jalan memutar yang di sekelilingnya ditanami berbagai macam tumbuhan rindang. Belum lagi kolam dengan air mancur yang berada di tengah-tengah menambah kesan mewah. Marissa tak henti-hentinya berdecak kagum.

Setelah melewati jalan yang cukup panjang, mobil berhenti. Marissa keluar saat John membukakan pintu untuknya. Marissa tidak tahu lagi kata-kata apa yang bisa ia ucapkan untuk mengungkapkan kekagumannya. Bangunan di depan sana bukan lagi rumah, bukan mansion. Tapi istana!

Bangunan ini bertingkat dua yang memanjang ke sisi kiri dan kanan. Didominasi warna putih gading dan sedikit aksen berwarna emas menambah kesan megahnya. Pilar-pilar yang menopang kokoh di teras dan jendelanya yang entah ada berapa banyak. Marissa cukup handal dalam pelajaran matematika tetapi entah kenapa menghitung banyaknya jendela di rumah ini saja tidak bisa.

“John,” panggil Marissa namun matanya tetap fokus menatap ke depan.

“Iya?”

“Apa kau tahu berapa yang Kakek Arnold bayar untuk menghidupkan semua lampu yang ada di rumahnya?”

John berdehem, “Tidak. Bagaimana kalau Anda tanyakan langsung pada Kakek Arnold?”

Marissa mengangguk tanpa kata. Di luarnya saja mampu membuat Marissa tak sanggup berkat-kata. Bagaimana jika ia masuk? Mungkin ia bisa mendadak bisu.

“Silakan.” John mempersilakan Marissa berjalan lebih dulu. Dengan langkah ragu dan amat pelan, Marissa menaiki beberapa anak tangga hingga sampai di teras. Dua orang bodyguard sigap membuka pintu untuknya. Marissa berterima kasih sebelum melangkahkan kakinya ke dalam.

“Ini benar-benar gila,” gumam Marissa saat matanya menyisir seisi ruang tamu. Ruangan ini bahkan lebih luas dari lobi perusahaan Sun Group. Marissa semakin dibuat takjub ketika ia mendongak dan menemukan lampu kristal yang menjuntai dari langit-langit.

“Silakan duduk. Saya akan memberitahu Kakek Arnold bahwa Anda sudah sampai.”

Marissa mengangguk dengan tampang polosnya kemudian duduk di salah satu kursi. Tidak lama, tiga orang pelayan datang membawa minuman, berbagai macam buah yang telah dipotong-potong kecil, dan makanan manis.

“Terima kasih.”

Mereka menunduk dan berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun. Marissa meraih gelas di meja, memejamkan mata sambil mengendus baunya. Ini teh. Tetapi, ada aroma lain yang tidak pernah Marissa cium selama hidupnya.

Gerakan Marissa yang ingin menyesap tehnya terhenti ketika suara pintu terbuka terdengar. Ia menengok dilandasi rasa penasaran. Pandangan Marissa dan Eric berserobok seketika itu juga. Sekali lagi, mereka bertemu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status