"Yakin mama dan papa nggak bakalan curiga?" Melinda menatap nanar tangannya yang sudah tertancap selang infus itu. Bima yang masih memakai jas kebesarannya tersenyum, meremas tangan Melinda dan menciumnya penuh kasih.
Melinda tersenyum getir, hari ini ia sudah harus masuk ke ruang rawat inap guna persiapan operasi pengangkatan ovariumnya. Rumah sakitnya pun sengaja memilih rumah sakit lain yang juga merupakan tempat dinas Dokter Hendratmo, tidak berani di rumah sakit tempat Bima internship, karena papanya dinas di sana juga bukan? Dokter Hendratmo pun sudah Bima ceritakan semua permasalahan yang ia hadapi, dan itu lah yang membuat obsgyn itu merekomendasikan rumah sakit swasta ini.
"Mas besok ikut masuk?" tanya Melinda yang sontak matanya berkaca-kaca, dalam seumur hidupnya baru kali ini dia akan masuk ruang operasi, sebelumnya ia belum pernah sama sekali masuk ke ruangan yang terdengar begitu seram bagian telinganya itu. Jangan kan masuk, punya pikiran akan masuk ke san
"Ketubannya sudah habis, Bu. Jadi satu-satunya prosedur yang bisa kita lakukan hanyalah dengan sectio caesarea."Dokter Hendratmo menatap Ani yang masih setia menanti di samping bed Vina ketika pemeriksaan berlangsung. Harus operasi? Astaga, tidak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Vina harus operasi! Vina langsung memucat, air matanya mengambang, dia seumur hidup belum pernah masuk operasi, masuk di rawat inap di rumah sakit saja belum pernah dan sekarang dia harus di operasi?"Tapi kandungannya belum cukup usia kan, Dok? Kan kurangnya masih banyak banget, sepuluh Minggu, apa tidak apa-apa?" Ani tampak sangat khawatir, wajahnya sama pacarnya dengan Vina. Itu berarti nanti cucunya akan prematur? Lahir kurang bulan?"Hanya itu yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan janin dalam rahim, Vina, Bu. Kalau menunggu sampai sepuluh bulan, itu sama sekali tidak mungkin. Ini saja sudah habis ketubannya."Vina terisak, membuat Ani menoleh dan mengelus lembut kep
Air mata Vina kembali menitik ketika ia sudah didorong masuk ke ruangan itu. Dalam ruangan itu terdapat beberapa ruangan dengan pintu kaca, jendela kaca besar dan lampu-lampu besar yang entah apa namanya, Vina sendiri juga tidak tahu.Hanya satu yang dia tahu detik ini adalah : dia begitu takut!Vina refleks mengelus perut membukit yang kini sudah terbalut jubah hijau khas khusus untuk dipakai ketika hendak bertaruh nyawa masuk ke ruangan kaca itu. Tangan kiri Vina sudah terpasang selang infus. Bagian kewanitaannya sudah terpasang kateter dan sungguh rasanya sangat tidak nyaman."Tuhan, sekali saja Vina mohon, biarkan Vina dan bayi Vina baik-baik saja. Tolong Tuhan!" desis Vina lirih, ia lantas menyeka air mata yang kembali turun membasahi pipinya.Ia baru sekali melakukan itu, dalam posisi dia tidak sadarkan diri dan sekarang, peristiwa jahanam itu memaksanya harus masuk ke dalam ruangan ini. Mempertaruhkan nyawanya untuk hal yang seben
Bima mengendap-endap, nampak wanita paruh baya tadi masih berdiri di samping seorang perawat. Bayi mungil itu berada di dalam inkubator, melihat bagaimana bayi itu di rawat, agaknya dia lahir kurang bulan.Bima masih berdiri di tempatnya, ketika kemudian dua orang itu nampak berbicara."Bapaknya mana, Bu? Biar diadzani dulu dedeknya." bisa Bima dengar dengan jelas kalimat itu, membuat Bima belum berani mengeluarkan suara sedikitpun."Bapaknya nggak ada, Sus. Biar sa-.""Kalau boleh, biarkan saya yang mengadzani." entah keberanian dari mana, Bima langsung bereaksi ketika sosok itu mengatakan bahwa bapak dari bayi itu tidak ada.Tidak ada bagaimana? Sudah meninggal atau sedang diluar kota? Namun Bima tidak peduli, yang jelas entah mengapa ia ingin melafalkan adzan itu untuk bayi mungil yang terbungkus kain merah muda di dalam sana.Dua orang itu sontak menoleh, nampak wanita paruh baya dengan mata memerah itu mengangguk
Bima memarkirkan mobilnya di halaman parkir, ia melepaskan snelli-nya lantas mengantungkan jas kebanggaannya itu di holder yang ada di belakang jok. Sejenak Bima menghela nafas panjang melihat antrian panjang itu. Tapi apa boleh buat? Demi isterinya, apapun akan Bima lakukan. Dengan mantab Bima membuka pintu mobilnya, melangkah turun dan segera bergabung dengan antrian pada gadis yang merupakan penggemar minuman boba kenamaan itu. "Eh tahu nggak, si Vina kabarnya sudah lahiran loh." Bima memainkan ponselnya, mencoba mengabaikan obrolan para gadis muda yang antri di depannya. "Oh ya? Beneran sudah lahiran? Kok cepet amat sih?" tanya suara yang lain. "Serius, aku sendiri juga nggak tahu, tadi si Indah ketemu di rumah sakit katanya, mau operasi caesar." "Kasihan ya, mana hamil nggak ada suaminya lagi." Kini Bima mengangkat wajahnya, ini apaan sih? Demen banget pada ngomongin orang? Hamil diluar nikah? Ah anak muda zaman se
"Siapa namanya, Ma?"Sungguh, Vina benar-benar antusias. Kira-kira sang mama ini hendak memberi anaknya nama siapa? Anaknya perempuan, dan Vina ingin nama yang bagus dan cantik untuk bayinya itu."Annetta Elvina Sharapova." jawab Ani dengan mantab dan begitu yakin.Alis Vina berkerut, kenapa jadi pakai nama orang Rusia? Atau jangan-jangan, mamanya ini ingin sang cucu jadi pemain tenis?"Tunggu ... artinya apa?" tanya Vina yang tentu ingin nama anaknya memiliki arti yang bagus, bukankah nama adalah doa yang disisipkan orang tua untuk anak mereka?"Annetta memilik arti beruntung, Elvina itu mempunyai arti bijak dan ramah. Dan Sharapova memiliki arti pesona dan kharisma." Ani mulai mempresentasikan arti nama sang cucu pada ibu baru yang terbaring di hadapannya."Harapan Mama, kelak dia bisa menjadi gadis yang beruntung, bijak, ramah dan mempunyai pesona dan kharisma yang kuat."Mau tidak mau senyum indah itu melengkung di wajah Vina. Dia
"Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja." bisik Bima lirih, tangannya menggenggam tangan Melinda erat-erat, membuat senyum getir itu tersungging di wajah Melinda.Melinda hanya mengangguk pelan. Sudah saatnya! Sudah saatnya dia ikhlas dan pasrah di dorong masuk ke dalam. Satu dari dua ovariumnya terpaksa harus diangkat hari ini juga. Sesuai jadwal yang sudah ditentukan."Do'akan aku ya, Mas." mata Melinda berkaca-kaca, memang bukan operasi mayor macam operasi jantung atau transplantasi organ, namun apa yang akan diambil dari operasi ini adalah sesuatu hal yang begitu berharga untuk Melinda.Bima tersenyum begitu manis, mengangguk sambil mengelus kepala sang isteri. Beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah kaki berikut suara pintu yang dibuka.Ini saatnya, bukan?"Permisi, ibu Melinda sudah waktunya ya?"Perawat itu tersenyum begitu manis, bergegas melepas kunci bed dan seorang lagi melepas botol i
"Kalian benar-benar tidak ada masalah dengan reproduksi kalian, kan, Bim?"Kembali Bima tersentak, ia sangat berharap bahwa Andi tidak menyadari betapa terkejutnya Bima mendapatkan pertanyaan itu darinya. Meskipun Bima tahu dan sadar bahwa sangat sulit membohongi papanya ini."Semua normal dan sehat, Pa. Papa jangan khawatir." jawab Bima setelah berhasil mengendalikan degub jantungnya yang tidak karu-karuan itu."Boleh Papa lihat hasil pemeriksaan kalian?"Keringat dingin mengucur dari dahi Bima. Sekarang dia harus jawab apa? Haruskah dia perlihatkan pada sang Papa hasil pencitraan ultrasonografi Melinda yang memperlihatkan kista itu membesar? Haruskah dia perlihatkan terapi apa yang dituliskan dokter Hendratmo pada lembar rekam medis milik sang isteri? Bahwa Melinda harus merelakan satu indung telurnya diangkat dan jangan lupa, proses itu sedang berlangsung sekarang."Kami tidak minta salinan pada dokter Hen, Pa. Toh tidak ada ma
Melinda mengerjapkan matanya, cahaya yang menyapa retinanya sedikit menyilaukan dan membuat ia memekik kecil karena sorot itu sedikit menyakiti mata. Ia mencoba memperoleh kembali kesadarannya. Dan perlahan-lahan dia mulai ingat semuanya.Dia tengah menjalani operasi pengangkatan satu indung telurnya tadi, dan ruangan ini ... ini pasti ruang yang sering diceritakan sang suami, ruangan yang digunakan untuk mengobservasi para pasien selepas menjalani tindakan operasi."Sayang!"Melinda menoleh, tersenyum penuh haru ketika mendapati sang suami sudah berdiri dengan pakaian serba hijau dan penutup kepala."M-mas ...," panggil Melinda dengan suara yang hampir tidak terdengar.Bima melangkah, mendekati ranjang di mana Melinda berbaring dengan beberapa alat medis yang masih menempel di tubuhnya."Akhirnya kamu sadar juga, Sayang. Jangan khawatir, semuanya baik-baik saja!" nampak mata Bima berkaca-kaca membuat tangis Melinda ikut pecah.Melind