Alan rasanya sudah tak kuat lagi berdiri. Tubuhnya rasanya ingin ambruk, dan kaki yang terasa lemas seperti jelly. Dengan mata telanjangnya dia menyaksikan suaminya bercumbu dengan Luna di kamar pribadi milik pria tampan itu yang berada di dalam ruangan ini.
Inikah kejutan yang ia dapat. Setelah bayangan menyenangkan yang sempat Alan idamkan saat dirinya berangkat ke tempat ini, dan semuanya musnah dalam sekejab pandangan mata.
Gadis itu mendesah nikmat dengan tubuh terlentang di atas ranjang. Napasnya terengah-engah dengan tubuh nyaris tanpa busana di bawah kungkungan sosok tegab suaminya.
Tangan kurus Alan bergetar hebat, dengan irama jantung yang semakin cepat seolah ingin segera berlari keluar dari tubuh Alan. Tas berisi kotak bekal yang dia bawa dari rumah meluncur bebas begitu saja. Hingga menimbulkan bunyi 'Brakk' yang cukup nyaring, membuat Gavin langsung menyadari orang lain yang berada di dalam ruangannya. Lelaki tampan itu menoleh ke arah di mama Alan berada dengan wajah geram, diikuti Luna yang tersenyum memuakan melihat Alan berdiri di ambang pintu dengan tatapan shock.
Semua kesakitan ini terasa menumpuk menjadi senjata untuk membunuhnya saat ini juga.
Mata cokelat Alan memanas. Air mata yang sekuat tenaga dia tahan, akhirnya meluncur bebas.
Sakit, sakit sekali rasanya. Meskipun dia pernah berkata akan rela untuk berbagi suaminya dengan Luna. Namun, apa yang terjadi? Rasanya sakit di dadanya tetap bertahan dan tak ingin lari. Terus mengendap dan merusak segala organ-organ tubuh Alanair.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Ucapan datar dan menusuk itu mampu membuat Alan bergetar hebat. Aura kelam dari tubuh Gavin membuatnya takut setengah mati. Terlihat dari tatapannya yang berubah aneh.
Kedua tangannya bergetar hebat, "A-aku ..., aku hanya men-gantarkan makan siang untukmu," ucapnya terbata. Wajahnya bahkan memilih berpaling tak sanggup melihat pemandangan menyakitkan yang tersaji di depannya.
Seharusnya, seharusnya bukan seperti ini yang akan terjadi. Semua bayangan indah di benaknya melebur menjadi jarum yang merajam jantungnya.
"Pergilah, aku tidak menyuruhmu," ucap Gavin. Lagi-lagi dengan intonasi yang datar dan dingin bagai es di kutub selatan.
"Aku...." Alan tak sanggup lagi mengurai kata. Bibirnya bergetar hebat, merintih merasakan sesak di ulu hatinya. Ucapan yang hampir keluar kini tertahan dan tertelan kembali ke tenggorokan, karena air matanya lebih lancang dari yang ia duga.
Entah kenapa dia begitu cengeng padahal dia sudah berjanji untuk tidak menangis di depan laki-laki yang menempati seluruh ruang di hatinya ini.
Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, mencoba mengurangi sesak yang menghimpitnya.
"Alan, ada apa denganmu, kau tidak boleh menangis," ucapnya dalam hati.
"Maafkan aku," ucapnya lirih dengan wajah yang setia menunduk.
Gavin meraup kasar wajahnya. Pria itu mengambil handuk putih untuk menutupi bagian privatnya dan berjalan ke arah istrinya yang diam dengan tatapannya yang fokus pada lantai ruangan.
Tubuh kekar yang hanya terbaluk handuk sebatas pinggang itu berdiri tepat di hadapan Alan. Bahkan aroma maskulin yang menguar dari tubuh Gavin mampu membuat Alan mabuk kepayang. Akan tetapi, dia ingat. Laki-laki ini tak sudi menyentuhnya walau seujung kuku sekalipun, dan ia sadar diri.
"Cepat bersihkan kekacauan yang kau buat, jangan pernah mendatangiku di kantor. Kau sungguh membuatku malu jika para staf itu tahu siapa kau. Mereka hanya tahu jika istriku adalah Luna seorang. Aku tidak ingin membuat skandal yang akan menghancurkan WG, jadi pergilah!" usirnya.
"Tapi aku...."
Gavin datang mendekat dan langsung menyambar lengannya. Mencengkeramnya dengan begitu erat hingga Alan meringis kesakitan.
Mata biru Gavin memincing tajam, dan kemudian berkata, "Can't you hear it! Get out of here, because I'm so ashamed to have a wife like you, Alanair Wellington. you really piss me off!" sentaknya, dan ia hempaskan begitu saja tangan milik Alan hingga si empunya terhuyung ke belakang.
Alan semakin menahan perih di dadanya. Dia mengangguk lalu memungguti kotak bekal yang berserakan di atas lantai. Air matanya terus meluncur tak mau berhenti.
Kenapa jatuh cinta begitu sulit.
Kenapa mencintainya begitu rumit.
Kenapa cinta menyiksa hatinya.
Jika bisa, dia tidak ingin jatuh cinta dan terperosok pada sosok Gavin yang melekat kuat bagai lem di relung hatinya.
"Cepatlah pergi, kau mengganggu saja." Suara Luna menyentakknya. Tangannya saling meremat kencang. Sial, dia benci dengan Luna. Sangat membencinya.
"Aku akan pergi, maaf sudah mengganggu waktu kalian, Tuan dan Nyonya Wildberg," ucapnya lirih. Masih mencoba menahan laju air matanya yang tak kunjung ingin berhenti.
Kenapa dirinya selalu kalah. Dia tak ingin seperti ini. Namun, rasa takut selalu membuatnya menjadi orang yang lemah.
Alan lantas berbalik dan segera berlari dari ruangan Gavin dengan wajah yang sembab.
Terus berlari memacu kakinya, tak peduli orang-orang yang mengumpat padanya karena Alan beberapa kali Alan menabrak mereka.
Wanita itu hanya ingin terus berlari dan meredam segala remuk di hatinya.
Kakinya ia pacu semakin cepat, tak peduli tatapan aneh orang-orang yang dia lewati, hingga dia sampai di halaman kantor WG, dan berdiri di sana.
Hanya sesaat untuk meredakan sesak yang nenghantam dadanya.
Alan kemudian memilih berjalan kaki, daripada menaiki taksi. Awan mendung menghiasi wajahnya. Dia terus berjalan tanpa menoleh lagi.
Pikirannya kalut.
Apakah dia kalah sekarang?
Memang kapan dia pernah menang, sejak awal dirinya adalah seorang pecundang bodoh yang mengemis cinta pada Gavin, padahal jelas-jelas laki-laki itu tak memiliki secuil pun rasa padanya.
Kakinya terus melangkah walau tubuhnya terasa berat. Air matanya terus merangsek keluar. Otak Alan mulai tidak bekerja dengan baik.
Dia melihat di mana dia berhenti sekarang. Dia membaca papan nama sebuah toko tepat di seberang tempat ia berdiri sekarang. Bibirnya tersenyum, dia mulai gila dengan semua pemikirannya.
Alan mulai frustasi.
Dia tidak peduli, ini adalah jalan terakhir yang akan dirinya tempuh.
Alan berjalan masuk ke dalam sebuah toko yang menjual produk dewasa. Entah kenapa dia begitu bersemangat dengan pemikirannya kali ini.
"Kau harus kuat Alan, menangis hanya akan membuatmu kalah, aku juga berhak mendapatkan Gavin, bagaimanapun caranya."
Wanita itu memutuskan ingin melancarkan ide gila yang sekarang menari di kepalanya.
Dia tersenyum penuh arti. Kakinya bergerak lincah mencari-cari produk yang dia incar.
Dia menemukannya. Sebuah botol kecil berisi obat yang akan memuluskan jalannya malam ini.
"Maafkan aku, aku mencintaimu, jika aku tidak bisa mendapatkanmu dengan cara yang baik, aku akan melakukan dengan cara yang lain," tutur Alan dengan tawanya yang menyakitkan.
Alan tersenyum licik. Saat sudah menemukan benda yang tepat. Di gengamannya tersemat botol obat yang akan memuluskan rencananya. Dia tidak ingin menjadi wanita bodoh dan lemah lagi, jika Luna bisa merebut suaminya kenapa dia tidak. Dia harus menjadi lebih kuat dari wanita itu. Jika Luna menggunakan bayinya untuk meraih simpati dan perhatian Gavin, dia akan melakukan hal yang sama. Semua rencananya sudah terekam jelas di dalam kepalanya. Setelah membayar di kasir, Alan segera melesat keluar dari toko, dan kemudian menyetop Taksi. Ia masuk ke dalam kendaraan roda empat berwarna kuning tersebut. "Kita akan ke mana, Nyonya?" tanya si Supir setelah melihat penumpangnya duduk nyaman di dalam kursi jok belakang. "Woodridle strett nomor lima puluh tiga," jawabnya. "Baik," ucap si pengemudi Taksi yang sudah hampir memasuki usia senja telihat dari rambutnya yang telah memutih semua. Lelaki itu lantas melajukan Taksinya membelah jalan
Saat ini Alan tengah sibuk di dapur merancang rencananya untuk menjebak suaminya. Malam ini Alan tidak ingin ada kegagalan. Wanita itu pergi ke dapur, membuat susu hangat kesukaan Gavin. Dia yakin Gavin tidak akan menolak apapun buatannya, meskipun pria itu tak memiliki perasaan pada dirinya. "Kali ini aku pasti berhasil," gummanya begitu lirih. Bahkan semut pun tak mampu mendengarnya. Alan begitu bersemangat membuat susu hingga tak menyadari jika Nay sudah berdiri bersandar pada tembok tepat di di belaknganya dengan tersenyum manis seperti biasa. "Ehem." Gadis itu berdehem hingga membuat Alan terlonjak karena kaget. Dia takut, untung saja Nay belum melihatnya memasukan obat itu ke dalam susu milik Gavin. Jika Nay tahu, gadis itu pasti akan mengomel dan menentang rencananya. "Astaga, Nay. Sejak kapan kau di situ. Dirimu benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung," ujarnya.
Desahan saling bersahutan memenuhi kamar Alan malam ini. Wanita itu mabuk akan sentuhan yang suaminya lakukan. Akhirnya, mimpinya menjadikan Gavin miliknya seutuhnya terwujud malam ini meskipun dengan cara licik dia membuat laki-laki itu tak berdaya di bawah pengaruh obat. Alan menahan segala gejolak nikmat di dalam dadanya, saat keringat dari tubuh Gavin bercampur dengan miliknya. Gairahnya memuncak seolah dia terbang ke atas nirwana. Tubuhnya terlonjak di atas ranjang saat gempuran dari Gavin terus menghujamnya. Meleburnya menjadi nikmat yang tiada tara hingga saat dia mencampai puncak, dan bersamaan dengan pria itu yang menanamkan benihnya di dalam rahim Alan yang subur. Tubuh Gavin ambruk tepat di samping istrinya. Laki-laki itu menarik selimut dengan seperempat kesadarannya yang tersisa. Tenaganya terkuras habis. Alan yang menyaksikan suaminya hanya tersenyum puas dan dia benar-benar bahagia dengan hal yang baru saja dia lakukan bersama Gavin. Alan
Desiran angin malam menyibak helaian rambut hitam milik gadis lugu yang kini memilih duduk meringkuk di sudut balkon kamarnya. Kepalanya tertelungkup berbantalkan lutut di antara kedua kakinya yang ia tekuk. Wajahnya sudah basah oleh air matanya yang terus deras mengalir tanpa mau berhenti. Dadanya begitu nyeri. Apakah mencintai seseorang itu sebuah dosa? Kenapa rasanya begitu sulit, rasanya begitu sakit. Apalagi suara desahan yang terus terdengar di sepanjang malam hingga dini hari membuat hatinya semakin remuk. Sudah tidak ada harapan lagi, Gavin sudah bahagia dengan adik tirinya. Tidak ada kesempatan lagi untuknya bersama dengan suami yang paling ia cintai. Jujur, sejak tawaran ayah mertuanya untuk menikahkannya dengan Gavin membuatnya bahagia, impiannya untuk menjadi pasangan orang nomor satu di hatinya akhirnya terwujud. Tetapi, itu hanyalah ilusi semu, harapan masa depan bahagia dengan pemuda Wildberg itu tidak akan pernah terealisasikan. Jangankan
Makan siang di keluarga Wildberg terasa sunyi, hanya Gavin dan Luna yang saling melempar senyum bahagia. Bahkan membuat Nay muak dengan adegan kemesraan di depannya itu. Rasanya ia ingin muntah saat ini juga karena sikap Luna yang terlewat manja di matanya. Alan masih asyik dengan kebisuan dan kepala menunduk, bahkan piring di depannya masih penuh dengan makanan, belum sedikitpun tersentuh oleh si empunya. Jangan tanyakan kenapa ia masih berada di sini, itu karena Nay yang terus memohon agar ia tak pergi dari sini, dan sekali lagi Alan hanya bisa mengangguk pasrah. Apalagi setelah itu Joseph datang dan memintanya untuk tetap bertahan, dan ia bisa apa jika ayah mertuanya itu sudah turun tangan. Ia tak mungkin membuat laki-laki yang telah baik padanya itu kecewa. "Setelah makan, Papa ingin bicara pada kalian, dan
Gerimis masih saja mengguyur kota Brigston. Langit bahkan masih muram di atas sana. Kota terlihat lebih sepi, mungkin karena udara yang dingin juga waktu telah masuk tengah malam tepatnya pukul 1 dini hari waktu Brigston. Tubuh kurus itu bergetar sepanjang jalan. Tubuhnya ia dekap kuat-kuat menghalau dinginnya angin malam dan tubuh yang telah basah kuyup diterpa gerimis sejak sore. "Aku harus ke mana lagi sekarang," ujarnya putus asa. Wanita kurus itu adalah Alanair. Langkahnya terseok, bahkan hampir limbung. Perutnya terus berbunyi sejak beberapa jam yang lalu, karena memang belum terisi apa-apa sejak dia meninggalkan mansion mewah Wildberg. Apa salahnya, hingga jalan hidupnya begitu pedih seperti ini. Mungkin ini hukuman untuknya karena perbuatannya di masa lalu. Tetapi, itu bukan semua salahnya. Pemuda itu yang harus disalahkan. L
Grifida mengguncang tubuh Joseph yang hanya diam di atas sofa di dalam ruangan kerjanya. Pria itu tak merespon ucapannya. Joseph memang tengah marah kepada istrinya karena membuat menantu kesayangannya harus pergi dari rumah ini. Joseph pasti akan merasa berdosa seumur hidupnya. Dosa yang tidak akan mampu pria itu lupakan. Grifida terus berteriak, dan gendang telinga Joseph rasanya hampir pecah. Dia juga khawatir dengan kepergian Nay sore tadi. Putri bungsunya itu ikut kabur mencari Alan setelah memastikan Alan tak kembali ke rumah keluarga Welington, dan lagi-lagi Joseph tak mampu berkutik. Ia terlalu pengecut, atau mungkin dia terlalu takut. "Joseph! Kenapa kau hanya diam, huh! Cepatlah kau cari Nay, bahkan ini sudah tengah malam!" teriak Grifida membahana. Mungkin saja teriakannya itu mampu membangunkan se
Siang itu Alan mengendap-endap kembali ke mansion megah keluarga Wildberg. Sudah hampir setahun gadis itu tinggal di tempat ini, tentu dia sudah mengetahui seluk beluk rumah besar tersebut. Alan melewati gerbang belakang, memanjat pohon untuk melompat masuk ke dalam rumah tersebut layaknya pencuri. Alan cukup gesit dalam memanjat, lihat saja gerakannya yang gesit dan secepat kilat dia sudah berada di halaman belakang mansion Wildberg. Dia berjalan cukup pelan, dan hati-hati layaknya pencuri, mencari celah agar tidak tertangkap oleh para pelayan di rumah ini. Gadis itu mengendap-endap menuju gazebo belakang, karena itu rute tercepat menuju dapur. Dia kembali ke sini hanya untuk melihat wajah tampan suaminya. Bolehkah dia masih menyebutnya suami? Alan memang terlalu berdelusi tinggi. Salahkan cintanya yang terlampau besar untuk Gavin, hingga tindakan bodoh dan konyol rela dia lakukan. Alan berjalan ke arah gazebo tempat dia biasa menyendiri. Namun