"Lho, itu bukannya Mas Rohman?"
Aku sontak langsung mengucek kedua mataku, ketika melihat Mas Rohman membonceng seorang wanita, dan berhenti di area parkir yang tidak jauh dari tempatku berjualan.Aku hendak memanggilnya, namun seseorang pembeli datang dan membuatku mengurungkan niat untuk memanggil Mas Rohman."Mbak, beli cabenya lima kilo saja, sekalian sama tomatnya dua kilo.""Oh, iya Bu." Dengan sedikit tergesa aku menimbang pesanan ibu-ibu tersebut, lalu setelah diberi uang dan aku mengucapkan terima kasih, aku kembali menoleh ke tempat Mas Rohman parkir tadi."Benar, itu motor Mas Rohman. Tapi, kenapa dia bisa nganterin wanita itu ya? Siapa dia?"Ingin sekali rasanya aku masuk ke dalam pasar, dan kemudian mencari mereka berdua. Namun, aku tidak bisa meninggalkan barang dagangan ku begitu saja kan? Apalagi sekarang hari Minggu, yaitu hari pasaran untuk Pasar Wage ini, jadi para pengunjung yang datang lebih ramai dua kali lipat dari hari-hari biasanya."Apa mungkin itu Ika?" Aku jadi teringat dengan janda di gang sebelah, yang kata Mbak Yuyun, dia memiliki ciri-ciri, rambut panjang sebahu, kulitnya putih, terus dada dan pantatnya montok. Dan, ciri-ciri itu sama persis dengan wanita tadi. Berarti, itu beneran Ika.Ahh ... Tapi, masa sih itu beneran Ika?Aduh ... aku jadi semakin was-was ketika memikirkan hal ini.Lalu tidak lama kemudian aku melihat mereka berdua keluar dari pasar induk, dan berjalan menuju parkiran kembali, aku hendak mengejar mereka berdua, namun lagi-lagi ada pelanggan yang datang."Hei, Mbak Nella. Mau ke mana? Aku mau beli nih.""Eh, Bu Retno. Bentar ya, Bu. Bu Retno tolong tunggu sebeentaarr saja ya?""Aduh, Mbak. Nggak bisa, Mbak. Ini sudah jam setengah enam, aku sudah kesiangan."Huft ....Aku hanya bisa menghela napas menghadapi kenyataan seperti ini, ya sudahlah, urusan Mas Rohman biar aku tanyakan di rumah nanti, sekarang aku harus melayani para pelangganku.Meski aku tetap memutuskan untuk berjualan, namun sedari tadi hatiku tidak bisa tenang, aku tetap saja terus kepikiran Mas Rohman dan wanita tadi.Ya Allah ... cobaan apalagi ini? Masa iya sih, suamiku yang kerjanya tidak jelas itu, bisa membuat janda itu kepincut?Jika dipikirkan rasanya sungguh tidak masuk akal.Namun ...."Eh, Nella. Coba kamu lihat perempuan yang pakai jaket merah dan legging warna hitam itu, dia itu tetanggaku. Tapi, kelakuannya aduh amit-amit ....""Lho, memangnya kenapa, Bu Yanti?""Huh, dia itu ... Hemm ... apa sih sebutan untuk perempuan seumuran kami yang suka sama laki-laki muda? Tante girang ya? Aduh, lupa aku. Pokoknya dia itu seperti itu, banyak yang bilang dia sekarang ngehidupin empat brondong yang masih kuliah, wes pokoknya amit-amit jabang bayi deh.""Hah! Masa sih, Bu? Maksudnya membiayai cowok gitu? Lho, bukannya seharusnya cowok ngebiayain cewek ya?""Heh, Nella. Kamu pikir hanya laki-laki yang bisa ngebiayain cewek? Di dunia ini banyak tahu cewek yang ngebiayain cowok, terutama wanita-wanita lumayan berumur seperti kami. Pokoknya asalkan kita punya duit, dan laki-lakinya mau, kita juga bisa pilih yang ganteng dari mereka. Jadi jangan pikir di dunia ini hanya ada sugar daddy. Itu kan sebutan anak muda sekarang?""Ooww ...." sahutku seraya mengangguk, sebab aku juga baru tahu kenyataan ini.Hah! Jangan-jangan, Mas Rohman?Setelah mendengar penjelasan Bu Yanti, hatiku semakin tidak tenang. Mungkinkah Mas Rohman benar-benar selingkuh dengan Ika?Sebab, meskipun Mas Rohman tidak bisa membiayai hidupnya Ika, namun Ika masih memiliki banyak laki-laki yang bisa ia porotin hartanya.Tiba-tiba aku kepikiran hal ini setelah mengingat gosip tentang Ika dari para tetanggaku. Jadi, kemungkinan besar saat ini Mas Rohman jadi lelaki pemuas nafsunya Ika, seperti tetangganya Bu Yanti tadi.Huh, pantas saja suamiku tidak pernah mengeluh tidak punya uang walau tidak bekerja. Ia pun juga masih bisa beli rokok, atau mancing ke tempat jauh sekalipun, tanpa memikirkan dapat uang bensin dari mana? Sebab kenyataannya ia punya dekengan di belakangnya, atau bisa disebut backingan.Ini benar-benar tidak bisa didiamkan, jadi aku haru pulang untuk meminta penjelasan sekarang juga. Putusku seraya mulai membereskan barang-barang dagangan ku."Lho, Nell. Kamu mau ke mana?" tanya Bu Yanti yang terlihat kebingungan, sebab tiba-tiba aku beres-beres barang dagangan."Mau pulang dulu, Bu. Ada urusan di rumah.""Owalah ... Ya udah, hati-hati."Aku mengangguk, lalu kemudian segera memanggil Mas Anton untuk meminta tolong membawakan sepeda motorku mendekat ke tempatku.***Sesampainya di rumah, rumah terlihat masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang. Lalu ke mana dia?"Lho, Nella. Tumben hari Minggu sudah pulang pagi? Sudah habis ya dagangannya?""Belum Mbak, pingin pulang aja.""Lho, kenapa? Lagi ada masalah ya? Kenapa raut wajahmu seperti itu?" tanya Mbak Yuyun yang peka sebab aku tidak terlihat seperti biasanya.Aku sebenarnya sedikit ragu bercerita tentang kejadian tadi kepada Mbak Yuyun, tapi kalau aku pendam sendiri, aku tetap tidak tenang."Gini Mbak, aku tadi lihat Mas Rohman nganterin cewek ke pasar, dan sepertinya itu Ika.""Hemmh ... Cewek itu pakai baju putih dan celana jeans tow?"Aku sontak terkejut, lalu kemudian mengangguk."Iya, cewek itu memang Ika, aku juga melihatnya tadi ketika membuka jendela ruang tamu. Hemmh ... Nella, sebenarnya aku mau cerita sama kamu, tapi aku takut kalau kamu tidak percaya. Namun, setelah kamu melihat kenyataan ini sendiri, aku jadi yakin buat cerita sesuatu sama kamu.""Hah! Memangnya apa, Mbak? Jangan-jangan ini juga berkaitan dengan perkataan Mbak Yuyun waktu itu, yang aku disuruh waspada dengan Mas Rohman."Kita ke rumahku dulu ya, aku juga mau tunjukkin sesuatu sama kamu."Entah mengapa perasaanku jadi semakin tidak enak setelah mendengar hal ini. Ya Allah ... petunjuk apa yang akan Engkau berikan kepada hamba Mu ini?Lalu kemudian Mbak Yuyun menarik tanganku menuju belakang rumahnya, dan dia kemudian menyuruhku duduk di bangku yang biasanya buat kegiatan petan uban.Setelah itu Mbak Yuyun masuk ke dalam rumahnya, dan tidak lama kemudian ia keluar lagi seraya membawa HP di tangannya."Coba dengarkan baik-baik, tapi kamu harus kuat ya? Yang sabar," ujarnya dengan mata yang mulai memerah, membuat jantungku berdetak semakin tidak nyaman.Ya Allah, bolehkah aku menolaknya? Rasanya aku seperti tidak sanggup mendengar kenyataan apa yang tersimpan di ponsel Mbak Yuyun.Tapi, kalau aku tidak mendengarnya, rasa penasaranku ini juga akan semakin tidak berujung.Dengan sedikit gemetar jariku mulai menyentuh tombol 'play' tersebut, lalu kemudian samar-samar terdengar suara aneh yang keluar dari speaker ponselnya Mbak Yuyun."Akh ... akh ... akh .... aku hampir sampai," ujar seseorang wanita, yang suaranya tidak terlalu jelas."Sama aku juga, kita keluar barengan ya?" Yang ini aku kenal jelas suara siapa ini, sebab ini adalah suaranya Mas Rohman, suamiku sendiri.Aku sontak memegang dadaku sendiri setelah mendengar rekaman ini, aku tidak menyangka kalau Mas Rohman benar-benar berselingkuh.Ya Tuhan ... apakah semua ini memang nyata?"Mbak, aku mau pulang dulu, dan aku mau minta tolong ke Mbak ya, tolong jangan kasih tahu siapa pun soal ini," ujarku memohon kepada Mbak Yuyun, sebab selain malu, aku juga perlu melihat bukti secara langsung, apakah Mas Rohman benar-benar selingkuh?"Iya, kamu tenang aja. Aku juga nggak berani cerita sama orang-orang, soalnya iya kalau ini beneran si Ika, nanti kalau salah, kan aku yang dituduh menyebarkan fitnah. Emm ... Kamu yang sabar ya, Nell, dan kamu juga harus pikir baik-baik masalah ini."Aku hanya mengangguk, lalu kemudian aku berpamitan pulang. Di saat aku memasukkan sepeda motorku ke garasi, kulihat rumah masih sepi, sepertinya Mas Rohman belum pulang, dan Ibu sudah pergi entah ke mana.Aku hendak masuk ke dalam kamar, namun kudengar ada suara sepeda motor Mas Rohman yang baru saja tiba.Tanpa mengulur waktu, aku pun langsung pergi ke depan, dan membuka pintu rumah."Lho, Nella. Kamu kok sudah ada di rumah?" tanya Mas Rohman kaget."Kamu habis dari mana, Mas?" tanyaku bali
"Nella, Ibumu terlalu cerewet, kalau begini terus lama-lama aku nggak betah tinggal di sini," gerutu Mas Rohman ketika aku baru saja masuk kamar."Yang sabar ya, Mas. Kalau kita pindah dari sini, kan kasihan Ibu sendirian," sahutku yang masih merasa berat jika harus meninggalkan ibuku sendirian, sebab kalau ada apa-apa kan susah jika tidak ada sosok laki-laki di rumah, terutama pas ada atap bocor, atau masalah lain yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki.Oleh karena itu aku mengajak Mas Rohman tetap tinggal di sini, walaupun setiap harinya Ibuku selalu menyindir Mas Rohman."Hah, ya sudah lah! Kalau begitu aku mau mancing aja, di rumah hanya nambah pikiran jadi semakin sumpek!" Kini giliran aku yang hanya bisa menghela napas panjang, ketika melihat Mas Rohman pergi begitu saja. Padahal kalau kamu mau mencari pekerjaan tetap, Mas. Tidak akan ada keributan seperti ini di setiap harinya.Setelah membereskan barang belanjaanku tadi, aku pun langsung menuju dapur untuk makan siang, di
Semenjak aku menemukan pil kontrasepsi di kamar Ibuku, kini pikiranku setiap hari semakin tidak tenang, aku takut jika Ibuku berbuat hal yang melewati batas dan melanggar hukum.Padahal masalah Mas Rohman saja belum usai, tapi kini sudah ketambahan masalah Ibuku sendiri."Hei, Mbak. Lagi ngelamunin apa?" tanya Ika yang mengagetkanku."Eh, Ika. Nggak kok, aku nggak lagi ngelamun, cuma liat ibu-ibu itu aja," kilah ku seraya menunjuk seorang ibu-ibu bertumbuh tambun dan menggunakan riasan menor yang sedang asyik berbelanja di toko seberang jalan."Ooo ... Oh iya, Mbak. Aku mau beli tomat seperempat, cabai merah juga seperempat, dan terongnya dua ikat."Aku mengangguk seraya tersenyum, lalu kemudian aku mulai menimbang cabai dan tomat pesanan Ika. Namun, tanganku yang sedang mengambil tomat refleks berhenti saat Ika mengatakan, "Mbak, maaf ya, tadi aku minta tolong ke Mas Rohman lagi untuk nganterin aku ke pasar, nggak apa-apa kan?""Nggak apa-apa kok," sahutku seraya tersenyum, namun h
Karena kian hari sikap Ibuku semakin menjadi-jadi, akhirnya hari ini juga aku mengajak Mas Rohman pindah ke rumah kontrakan yang sudah sejak dua hari yang lalu aku mencarinya dengan bantuan adikku juga.Rumah kontrakan tersebut tidak jauh dari kos-kosan tempat adikku tinggal, lebih tepatnya bersebelahan, karena pemilik kos-kosan tersebut dengan rumah kontrakan kami pemiliknya sama, yaitu Bu Ajeng namanya.Aku sengaja memilih rumah kontrakan Bu Ajeng karena harga sewanya murah, juga tempatnya yang tidak jauh dari pasar tempat aku berjualan."Mbak, kenapa milih ngontrak sih, Mbak? Bukannya sudah enak ya tinggal bersama Ibu, Mbak kan jadinya nggak perlu keluarin uang buat sewa," ujar adikku seraya membantuku masak di dapur, sebab rencananya hari ini aku akan membuat nasi kotak sebagai acara syukuran kecil-kecilan atas kepindahanku yang akan aku bagikan ke tetangga yang ada di sekitar sini."Nggak apa-apa, Mbak cuma ingin mandiri saja," kilah ku."Halah, jangan bohong. Pasti ada apa-apa,
Jika ada yang bertanya, adakah di dunia ini orang yang tidak bekerja, namun dia bisa mendapatkan uang? Akan tetapi, bukan hasil minta ke orang lain lho ya? Jawabannya tentu ada, dan orang itu adalah suamiku sendiri. Jangankan orang lain, aku sendiri bahkan heran, bagaimana suamiku bisa mendapatkan uang-uang itu? Padahal ia tidak pernah bekerja satu hari pun, dan ia juga tidak punya keluarga sama sekali untuk dimintai uang. Lalu dari siapa uang-uang tersebut?Awalnya aku sempat percaya bahwa Mas Rohman mendapatkan uang dari ia bekerja sebagai tukang ojek yang mengantar para karyawan pabrik yang tinggal di dekat-dekat sini. Namun, ternyata itu semuanya bohong, sebab Mas Rohman tidak pernah keluar dari rumah, dan aku mendapatkan informasi tersebut dari Bu Ajeng. Aku mempercayai kata-kata Bu Ajeng, karena dia orang yang baik dan jujur.Setelah mendapat informasi tersebut, hampir dua Minggu ini aku tidak bisa tidur, karena aku takut jika uang-uang itu ternyata hasil dari hutang, entah ke
Keesokan harinya."Mbak Nel, mukanya kok kayak zombie gitu, semalam nggak tidur ya?" tanya Mas Anton bercanda sembari membantuku menurunkan barang-barang dagangan ku."Hehe ... iya, Mas. Kelihatan banget ya?""Ealah, beneran nggak tidur tow, kalau begitu kenapa maksain jualan, Mbak? Seharusnya Mbak istirahat dulu, takutnya nanti kenapa-napa," sahut Mas Anton yang terlihat khawatir."Enggak ah, Mas. Justru kalau nggak jualan nanti jadi tambah stress, hehe ....""Ho oh, Mbak. Memang bener, orang kalau sudah biasa bekerja, terus nggak kerja sehari aja, rasanya memang seperti ada yang kurang gitu.""Iya, Mas. Udah semuanya, Mas. Makasih ya, Mas.""Sama-sama, Mbak."Setelah kepergian Mas Anton, Mbah Marni dan Bu Yanti juga menanyakan hal yang sama padaku, dan meskipun aku tidak pernah bercerita soal rumah tanggaku pada mereka, namun mereka seolah sudah mengerti bahwa aku dan suamiku sedang tidak baik-baik saja. Mereka bisa mengetahui kondisi rumah tanggaku, sebab mereka juga pernah mendenga
Lalu tidak lama kemudian satu persatu warga mulai berdatangan karena mendengar suara teriakan Pak Roni tadi, berbeda dengan aku yang masih berdiri di ambang pintu dapur karena tidak berani melihat keadaan Ibuku dan suamiku saat ini.Namun, tidak lama kemudian Bu Ajeng datang menghampiriku seraya mengatakan, "Nell, ayo, cepat kamu lihat mereka, dan kamu harus segera putuskan hukuman apa yang pantas untuk mereka." Sembari memapahku, aku hanya bisa mengikuti langkah kaki Bu Ajeng, sebab pikiranku benar-benar kosong saat ini, yang ada hanya perasaan takut melihat mereka karena ini sudah pasti akan membuat hatiku terlampau sakit.Dan, benar saja, aku hancur ketika melihat suamiku dan Ibuku sendiri yang berada di atas ranjang dengan menggunakan selimut yang sama untuk menutupi tubuh polos mereka.Pandanganku mengabur karena air mata yang mulai berdesakan meminta keluar, namun di sana aku dapat melihat wajah malu suamiku, dan juga tangis Ibuku.Aku tidak bisa berkata-kata, begitu juga deng
Author Pov.Setelah menghabiskan waktu selama lima belas menit dengan mengandarai motor, Winda dan Wati akhirnya tiba di rumah mereka.Namun, saat mereka berdua hendak masuk rumah, tidak lama kemudian Rohman yang menaiki motornya sendiri ikut menyusul mereka."Heh, kamu ngapain ikut ke sini?!" ketus Winda yang kini semakin benci dengan Rohman, sebab gara-gara mantan kakak iparnya ini juga, ia harus menanggung malu di hadapan banyak orang yang tinggal di area kos-kosannya."Lha, memangnya kalau nggak pulang ke sini, aku harus ke mana?" sahut Rohman santai seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Wati.Winda yang melihat kelakuan Rohman, ia semakin muak dengan lelaki yang ada di hadapannya ini."Ibu! Aku nggak mau tahu, pokoknya cepat usir dia dari sini, Bu! Dan, jangan pernah lagi Ibu berhubungan dengan dia!" teriak Winda seraya menuding wajah Rohman."Winda, tenanglah! Jangan ribut seperti ini, nanti tetangga pada denger," sahut Wati yang kemudian menyeret Winda masuk ke dalam rumah