HENING DALAM LUKA 10Aku mengusap-usap mata memastikan jika apa yang aku lihat bukanlah ilusi karena aku terlalu memikirkan Hening. Namun, perempuan itu sudah berdiri membelakangi dan masuk ke dalam rumah. Rasa penasaran begitu menggebu. Aku menginjak pedal gas dan melaju masuk ke halaman rumah Hening. Pintu itu terbuka lagi. Kali ini wajah Mas Hanan muncul disana. Dengan kedua tangan ditopang ke pinggang."Mas Hanan. Sa--saya kebetulan lewat." Gugup. itu lah yang kurasakan. Meski setahun berlalu tapi aku masih merasakan sakitnya pukulan Mas Hanan."Buat apa kau kesini lagi!" Suaranya meninggi terdengar bukan seperti sebuah pertanyaan."Sa--saya melihat Hening," ucapku ragu-ragu.Mas Hanan tertawa terbahak-bahak. Jelas rahangnya mengeras menahan emosi. Segila ini kah aku?"Pulanglah! Sebelum aku mematahkan batang lehermu!"Pintu terbuka. Bu Husni muncul dengan wajah cemas. Lalu memegang pundak anak lelakinya itu."Hanan! Belajarlah mengontrol emosi. Ingat apa yang Rasullullah pesankan
"Jangan banyak bengong! Tadi saya hanya becanda! Kamu jangan ge er," celetuk Pak Joshua setelah kini kami berada dalam ruangan yang sama. "Iya, Pak. Saya juga paham," jawabku. Siapa juga yang mau jadi istri laki-laki kaku seperti dia."Saya akan memindahkan ruangan sekretaris kesini. Biar saya gampang memanggil jika butuh." Aku mengangkat wajah, seruangan dengannya? Apa itu tidak berbahaya? Takut ketularan garingnya dia aku nanti."Kenapa? kamu keberatan?" Tanyanya menatapku tajam."Ti-tidak Pak, sama sekali tidak." Mau jawab apalagi 'kan.Benar saja sekitar jam satu siang, meja dan kursi baru sudah tiba. Mbak Mila yang merupakan mantan sekretaris Pak Joshua diminta datang untuk serah terima jabatan. Perempuan yang beberapa waktu lalu habis melahirkan itu begitu sopan dan baik. Dengan lembut dia mengajarkan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawabku."Makasih, ya, Mbak." Ucapku sambil mengantarkan mbak Mila keluar ruangan."Semangat ya, Dinara. Pak Joshua itu orangnya memang te
"Saya mau modalin Bapak saya buka toko ATK, Pak," jawabku pelan. Malu rasanya. Apa Pak Jo akan mengungkit lagi kejadian waktu itu? Kalau untuk meminjamkan aku rasa tak mungkin. Karena aku baru sebulan bekerja sebagai sekretarisnya."Saya akan meminjamkan kamu. Tapi, bukan uang perusahaan. Melainkan udah pribadi saya. Nanti akan dikirim bersamaan dengan gaji. Kamu bisa pakai dulu." Tanpa menatapku laki-laki itu terus memainkan jemarinya di atas keyboard. Namun apa yang dia sampaikan membuatku membulatkan mata."Bapak serius?" Ada rasa haru yang menyeruak."Iya! Apa pernah saya becanda!"ketusnya.Tak tau lagi apa yang harus aku katakan. Yang jelas aku sangat senang, kalau dia perempuan sudah kupeluk erat dirinya."Apa lihat lihat! Kamu berniat memeluk saya! Sudah sana kembali ke mejamu!" Wajahku memerah. Pak Jo kenapa bisa berpikiran seperti itu. Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali ke meja. Ingin jingkrak-jingkrak tapi tak mungkin. Aku hanya mengusap wajah berkali-kali berucap
Mas Damar berjalan ke arahku, aku pun siaga. Saat jarak kami tinggal selangkah aku memutar kaki yang menjadi tumpuan dengan cepat. Dan melancarkan serangan tepat pada tangan Mas Damar yang sedang terangkat. Kakiku mengha ntam keras, hingga Mas Damar terhuyung, lalu secepat kilat tangan kananku bergerak ke arah mukanya. Wajah sok baik itu pun mencicipi bogem mentah dariku.Mas Damar jatuh tersungkur. Retna terpekik melihat kejadian itu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan perlahan. Ternyata aku masih belum lupa gerakan yang pernah kupelajari dulu. Lumayan untuk memberi pelajaran pada bua ya bu ntung ini."Nara! Kur ang aja r kamu!" Mas Damar meringis sambil memegang hidungnya yang mengeluarkan darah. Ujung bibirnya juga pecah."Makanya jangan remehkan aku, Mas!" Aku melipat tangan di dada."Sekarang kita pulang. Kamu harus mengakui semuanya pada Ibu dan Bapak juga Mbak Ulya. Semua yang kau lakukan ada konsekuensinya, Mas!""Nara ... Plis, Mas mohon. Mas hanya khilaf, Ra. Kamu
"Damar? Kamu kenapa, Nak? Astaghfirullah siapa yang memukulmu seperti ini, Nak? Ya Allah, Bapak ...!"Ibu benar-benar cemas. "Retna! Damar kenapa? Siapa yang mengh ajarnya sampai babak belur begini?" Retna diam menunduk takut."Bu ..." Tangis Mas damar pecah membuat Ibu terdiam bingung. Bapak kemudian datang."Kenapa kamu, Damar? Kamu ini dari dulu selalu bikin ulah. Udah nikah pun masih membuat susah," bentak Bapak geram."Pak! Jangan gitu! Dia anakmu," bela Ibu."Dia anakmu, bukan anakku!" Sentak Bapak lalu membuang pandang. Ibu menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku juga bingung mau bagaimana. Apa maksud Bapak jika Mas Damar anak Ibu, bukan anak Bapak? Aku penasaran, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Suasana makin panas. Aku tak tau apa yang akan terjadi jika Ibu dan Bapak tau Mas Damar berzina dengan baby sitter anaknya yang merupakan sepupu Mbak Ulya."Mas Damar jatuh tadi, Bu. Ada tukang rongsokan yang lewat ga lihat-lihat. Mas Damar tak sengaja menabra
Mas Damar berjalan ke arahku, aku pun siaga. Saat jarak kami tinggal selangkah aku memutar kaki yang menjadi tumpuan dengan cepat. Dan melancarkan serangan tepat pada tangan Mas Damar yang sedang terangkat. Kakiku mengha ntam keras, hingga Mas Damar terhuyung, lalu secepat kilat tangan kananku bergerak ke arah mukanya. Wajah sok baik itu pun mencicipi bogem mentah dariku.Mas Damar jatuh tersungkur. Retna terpekik melihat kejadian itu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan perlahan. Ternyata aku masih belum lupa gerakan yang pernah kupelajari dulu. Lumayan untuk memberi pelajaran pada bua ya bu ntung ini."Nara! Kur ang aja r kamu!" Mas Damar meringis sambil memegang hidungnya yang mengeluarkan darah. Ujung bibirnya juga pecah."Makanya jangan remehkan aku, Mas!" Aku melipat tangan di dada."Sekarang kita pulang. Kamu harus mengakui semuanya pada Ibu dan Bapak juga Mbak Ulya. Semua yang kau lakukan ada konsekuensinya, Mas!""Nara ... Plis, Mas mohon. Mas hanya khilaf, Ra. Kamu
"Lho dari mana? Kok hari gini baru sampai, Nduk?" Tanya Ibu cemas. Ibu sudah memakai mukena. Karena Maghrib baru saja menyapa."Damar? Kamu kenapa, Nak? Astaghfirullah siapa yang memukulmu seperti ini, Nak? Ya Allah, Bapak ...!"Ibu benar-benar cemas. "Retna! Damar kenapa? Siapa yang mengh ajarnya sampai babak belur begini?" Retna diam menunduk takut."Bu ..." Tangis Mas damar pecah membuat Ibu terdiam bingung. Bapak kemudian datang."Kenapa kamu, Damar? Kamu ini dari dulu selalu bikin ulah. Udah nikah pun masih membuat susah," bentak Bapak geram."Pak! Jangan gitu! Dia anakmu," bela Ibu."Dia anakmu, bukan anakku!" Sentak Bapak lalu membuang pandang. Ibu menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku juga bingung mau bagaimana. Apa maksud Bapak jika Mas Damar anak Ibu, bukan anak Bapak? Aku penasaran, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Suasana makin panas. Aku tak tau apa yang akan terjadi jika Ibu dan Bapak tau Mas Damar berzina dengan baby sitter anaknya yang merup
"Oh, engga kok, Mbak. Dinara ini bekerja di perusahaan Papa saya. Saya kenal atasannya. Jadi, saya rasa Mbak salah orang kalau bilang Dinara bisa gaji besar karena merayu bosnya. Bos Dinara itu seperti kulkas. Tak akan mudah menaklukkannya," ujar Cheryl lalu tersenyum simpul, Mbak Ulya melengos. Cheryl tertawa lirih. Diikuti Bapak dan Ibu. Aku masih menatap Cheryl. Mengingat-ingat apa pernah aku bercerita tentang Pak Joshua padanya?"Dinara! Kok bengong?""Eh, anu enggak. Gapapa. Maafkan Mbak Ulya ya, Cher," imbuhku segan."Gapapa, namanya ga tau dan ga menyangka kamu bisa menjadi sekretaris Pak Joshua ya wajar ngomong kayak gitu.""Kamu tau Pak Joshua itu kayak kulkas dari siapa?" Tanyaku masih penasaran."Lho, kan emang kamu yg cerita," ujarnya mengeryitkan kening. Aku terkekeh, berarti aku tanpa sadar menceritakan semuanya tentang Pak Joshua pada Cheryl."Besok Minggu kita jalan jalan yuk, Cher," Ajakku."Maaf, Ra. Aku kalau Minggu ke gereja bersama keluarga. Hmm... Gimana kalau Sa