Bab 8
"Mbak Niken sedot lemak?" tanya Mas Firman, memastikan ucapanku. Karena aku baru saja selesai cerita, tentang pengakuan Mbak Niken tadi.
"Iya katanya, Mas," ucapku. Mas Firman terlihat mencebikan mulutnya. Raut wajahnya, seolah tak percaya. Sama, sih, aku sendiri juga tak percaya. Ha ha ha.
"Kalau bisa sedot lemak, berarti banyak duit," ucap Mas Firman.
"Itulah, tapi nyatanya Mas Andra utang duit ke sini untuk beli motor," balasku.
Mas Firman menyeruput kopinya. Aku sendiri, juga ikut menikmati teh manis. Dika aku lihat fokus dengan acara TV yang dia lihat.
"Biarlah, Dek! Kayak nggak ngerti lagunya Mbak Niken saja!" ucap Mas Firman, setelah meletakan gelas kopinya di atas meja.
"Iya, sih, Mas. Tapi kok segitunya banget, ingin diakui kaya!" ucapku. Mas Firman mengulas senyum.
"Biar saja! Yang penting kamu nggak," balas Mas Firman.
"Insyaallah, nggak Mas. Aku saja malu sendiri dengarnya!" ucapku. Mas Firman manggut-manggut.
"Iya, Sayang! Buat pelajaran saja. Pelajaran hidup, bukan berarti dari pengalaman sendiri saja. Tapi, pengalaman orang sekitar, juga bisa dijadikan pelajaran," ucap Mas Firman. Gantian aku yang manggut-manggut.
"Iya, Mas," ucapku lirih. Lagi, aku lihat Mas Firman menghabiskan kopinya.
"Yok, istirahat! Mindah anak lanang dulu!" ajak dan ucap Mas Firman. Aku lihat dia beranjak. Kemudian mendekat ke arah Dika, yang ternyata sudah pulas di depan tv. Menggendong anak lanang ke kamar.
Aku pun mengikuti Mas Firman ke kamar Dika. Membenahi selimut dan memasang kelambu. Biar nggak di gigit nyamuk. Karena nyamuk di rumahku ini lumayan juga. Kalau nggak pakai kelambu, pasti nggak nyenyak tidurnya.
"Yok!" ajak Mas Firman, setelah aku selesai membenahi kelambu kamar Dika.
"Yok?" aku mengulang kata itu. Mas Firman, memainkan alisnya.
"Ayok! Buat adik untuk Dika!" ucap Mas Firman, dengan gaya main-mainnya.
"Ish ... apaan, sih!" ucapku malu-malu. Bibir ini juga senyum-senyum nggak jelas.
Hulala ... walau udah nikah lama, tapi tetap saja malu-malu gimanaaa gitu, kalau urusan seperti itu. Kayak masih pengantin baru saja. Ha ha ha. Lebay jummmm ....
"Ayoklah!" ajak Mas Firman, seraya menarik tanganku manja.
Seeerr ... hati ini berdesir. Aku pasrah. Yoklah, melakukan kewajiban. Hua ha ha.
************
Pagi ini, setelah keramas dan selesai sholat subuh, aku segera masak. Anak lanang udah bangun juga. Tapi, masih belum beranjak. Karena suasana juga dingin.
Mas Firman juga sudah selesai kramas, dia sedang duduk-duduk santai sambil menikmati kopinya.
"Ma!" ucap Dika. Aku segera menoleh.
"Iya, Sayang!" balasku. Aku lihat Dika segera berlalu, menuju ke kamar mandi.
Seperti itulah Dika. Bangun tidur hanya manggil saja. Tak ingin apa-apa. Seolah belum puas kalau belum memanggil mamanya.
"Dingin, Ma!" ucap Dika setelah keluar dari kamar mandi.
"Iya, itu susu kamu. Segera diminum, mumpung masih panas!" titahku.
"Iya, Ma!" balas Dika. Aku lihat, anak lanang segera berlalu, menuju mendekat ke arah susu yang sudah aku persiapkan.
Dika meneguk susu coklat kesukaannya, hingga habis setengah. Aku hanya mengulas senyum melihat anak lanang.
"Ngapainlah, Mas Zaki pagi-pagi ke sini?!" tanya Dika. Aku mengerutkan kening. Memandang ke arah Dika memandang.
Ya, benar! Ternyata Zaki sudah ada di rumah kami. Nada suara anak lanang, seolah tak suka kakak sepupunya datang.
"Jaketku baru!" ucap Zaki. Owalah, dia mau pamer. Dika menatap jaket milik Zaki. Memang baru jaket keponakan itu. Warnanya pink. Aku lihat Dika malah mencebikan mulutnya.
"Aku nggak suka. Warnanya pink, masa' jagoan pakai pink, kan lucuuuu ...." balas Dika.
Aku hanya bisa meneguk ludah. Padahal aku tak pernah mengajari.
"Bagus kok! Mamaku yang belikan!" sungut Zaki. Seolah kesal dengan ucapan Dika barusan.
"Harusnya ayah kamu yang beliin. Jadi bagus. Masa' cowok pakai pink?" balas Dika lagi. Seolah sengaja meledek kakak sepupunya itu.
Dika memang seperti itu. Untung hati dia tak panasan. Walau Zaki selalu pamer kalau ada barang dia yang baru. Tapi, Dika tak pernah panas.
Sebaliknya. Kalau Dika punya barang yang baru, Zaki selalu panas. Dan harus minta dibelikan seperti apa, yang Dika punya. Dan harus segera, nggak bisa ditunda.
Yah, Mbak Niken saja juga seperti itu. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, itu benar adanya. Contohnya di depan mata, ya, Mbak Niken dan anaknya itu.
"Ayahku repot! Tapi ini bagus kok. Kamu kan nggak punya jaket warna pink!" ucap Zaki.
"Halah ... nggak mau aku. Jagoan kok pakai pink!" Dika kekeuh dengan pendapatnya.
Bagus, Sayang! Setidaknya dia walau masih kecil sudah punya prinsip. Nggak gampang terseret ikut arus yang datang menghampiri.
"Pokoknya ini bagus! Kamu nggak punya!" sungut Zaki lantang. Aku sedikit terkejut. Ya Allah, masa' sepagi ini harus ada suara tangis, karena perbedaan pendapat anak-anak?
"Zaki! Sayang! Kamu pulang saja, ya! Dek Dika memang nggak punya pink! Jaketmu bagus, kok!" ucapku. Seraya mengelus pundaknya.
"Makanya di beliin dong, Bulek! Biar punya!" ucap Zaki.
"Nggak! Aku nggak suka pink!" ucap Dika lagi.
Ya Allah, Dika ini seolah meledek kakaknya. Seolah dia tahu, kelemahan Zaki. Jadi, bisa di ledekin hingga puas. Hingga Zaki nangis.
"Dika! Nggak boleh kayak gitu!" ucapku, seraya mata ini sedikit mendelik.
Tapi, Dika kalau aku yang mendelik, dia nggak akan takut. Tapi, kalau ayahnya, yang mendelik, dia langsung mengkerut.
"Jagoan kok pakai pink! Ha ha ha," ledek Dika seraya berlalu mendekati ayahnya.
Aku lihat mata Zaki sudah memerah. Air mata tinggal jatuhnya saja.
"Jangan dengerin omongan Dek Dika, ya! Jaket kamu bagus!" ucapku menenangkan hati keponakan.
Zaki berlalu dengan cepat! Tanpa pamit dia berlalu pulang.
Aku hanya bisa mendesah sejenak plus geleng-geleng kepala. Ya Allah, dasar anak kecil. Semoga saja Zaki nggak ngadu ke mamanya.
*********
Mas Firman sudah berangkat kerja. Aku nyapu teras rumah. Dika sudah main entah kemana. Biasanya main ke sama cucu Mak Giyem.
Sudah menjadi kebiasaan juga, tiap nyapu depan rumah, mata ini selalu mengarah ke arah rumah Mbak Niken.
Aku lihat motor Mas Andra ada di rumah. Apa dia nggak kerja? Dan mata ini juga melihat ada pikc up terparkir, di halaman rumah mereka.
Apa mereka sudah beli sesuatu yang baru? Emmm, entahlah.
Selesai nyapu, mata ini risih melihat banyak rumput di halaman. Akhirnya sekalian aku bersihkan. Agar halaman rumah sedap di pandang mata.
Tak berselang lama, aku lihat motor Mas Andra, dinaikan ke pick up yang ada di halaman rumah mereka. Aku terus membersihkan rumput. Tapi, mata ini sesekali menoleh ke arah halaman rumah Mas Andra.
Loh? Kok, motor Mas Andra di naikan ke pick up? Di jualkah? Atau di tarik dealer? Tapi, setahuku dulu mereka beli kontan kok.
Ada apa ini? Katanya mau nambah motor baru? Tapi, kok, motor lama di ambil orang dengan pick up?
Yang keluar hanya Mas Andra. Menyaksikan motornya dinaikan ke pick up. Mbak Niken tak terlihat batang hidunya sama sekali.
Orang yang ingin diakui kaya, ada apa? Aih, nggak usah kepo lah ya! Ha ha ha.
*******
BAB 9Dua hari ini keadaan sepi. Mbak Niken yang biasanya banyak ngomong dan sering datang ke rumahku, kini dia tak menampakan diri.Zaki juga tak terlihat datang. Tapi, aku lihat mereka ada di rumah. Dan motor yang dibawa pick up itu, juga tak nampak kembali. Mas Firman juga sudah aku kasih tahu. Tapi, suami juga tak tahu kenapa motor itu di bawa pick up.Dua hari tak dengar suara mereka, alhamdulillah tenang. Tapi juga penasaran. Ada apa? Tumben! Berasa ada yang hilang. Hi hi hi."Dek, semoga hari ini gajian. Kamu mau di belikan apa?" tanya Mas Firman."Apa, ya?" tanyaku balik, dengan mengerutkan kening."Terserah kamu. Perabotan dapur misal," ucap Mas Firman. "Emmm, belikan Dika mainan baru. Sama blender, ya!" jawabku akhirnya."Sipp!" balas Mas Firman. Aku mengulas senyum. Ya, seperti itulah Mas Firman. Setiap gajian PT selalu menyisihkan beli sesuatu dulu. Biar perabotan rumah juga nambah. Jadi nggak habis untuk makan saja.Semoga akan selalu begini rumah tangga kami. Tenang d
Bab 10Dengan rasa penasaran, aku masuk ke rumah Mbak Niken. Dua hari tak jumpa. Tak mendengar celotehan ngeselinnya. Ada yang hilang rasanya, ha ha ha.Kata Mas Andra, dia sakit, bisa jadi sakit karena kesakitan gegara sedot lemak. Kalau nggak, mungkin demam karena shok, motornya di tarik leasing. Atau bisa saja perasaan sendiri, karena malu. Sudah kowar-kowar mau beli motor baru, malah motor lama melayang tarik leasing. Menyedihkan sekali Bude. "Duduk dulu!" perintah Mas Andra. Kami mengangguk. Kemudian duduk di atas karpet ruang tamunya. Mas Andra terlihat melangkah menuju kamarnya. Aku mengedarkan pandang. Walau bersebelahan, aku jarang masuk ke rumah Mbak Niken. Yang ada hampir tiap hari, Mbak Niken ke rumahku. Apalagi kalau ada barang baru. Hemmm, sehari bisa dua sampai tiga kali, datang ke rumah."Ka, kamu ikut antar ke rumah sakit, ya! Naik belakang. Mbakmu lemes," pinta Mas Andra."Iya, Mas!" balasku. Setelah Mas Firman mengangguk seraya menatapku."Yaudah. Bantu mbakmu ke
Bab 11Malam semakin dingin. Pulang dari rumah Mbak Niken, kami lansung berbaring di kamar. Dika sudah berada di kamarnya. Mas Firman aku lihat dia belum tidur. Matanya masih menatap langit-langit. "Mas.""Hemm.""Mikirin apa?""Mikirin Mas Andra," jawabnya, dengan sorot mata yang masih menatap langit-langit.Aku menggeserkan badan, mendekat. Mas Firman menyambutku, dia mengelus pelan kepalaku. "Nggak nyangka aku kalau Mbak Niken sakit," ucapku. Mas Firman mengangguk."Iya, Dek, sama!" balasnya. Aku menghela napas sejenak. "Semoga Mas Andra kuat," ucapku."Iya, aamiin. Kalau menurut, Mas, Mbak Niken itu memaksakan keadaan. Jadi seperti itulah jadinya," ucap Mas Firman."Entahlah, Mas. Aku juga nggak habis pikir," balasku."Iya, dan Mas Andra selalu menuruti keinginan istrinya. Bagus sih, tapi kalau nggak mikir keadaan dan kemampuannya, kan rusak sendiri," ucap Mas Firman. "Iya, Mas. Semoga saja setelah mendapat penyakit itu, Mbak Niken bisa intropeksi diri, dan bisa sedikit menge
Bab12Kopi untuk suami tercinta sudah tersedia. Mas Firman masih berada di dalam kamar mandi. Terdengar suara guyuran air menyentuh lantai.Dika sudah aku panggil masuk. Karena sudah sore. Zaki sudah pulang juga. Masih ngantri dulu sama ayahnya. Karena Dika memang seperti itu. Kalau lagi susah di suruh mandi, maka payah juga nyuruh dia mandi.Tapi, kalau lagi senang mandi, tanpa di suruh, sebelum ayahnya pulang kerja, dia sudah bersih."Tuh, Ayah sudah selesai mandi. Sana buruan mandi!" titahku. Karena mata ini melihat Mas Firman, baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Ma!" balas Dika. Kemudian dia segera beranjak. Dan berlalu menuju ke kamar mandi."Bajunya sudah aku siapkan, Mas. Aku letakan diatas ranjang!" ucapku."Iya," balas Mas Firman seraya masuk ke dalam kamar. Aku sendiri juga belum mandi. Biarkan Dika dulu. Habis Dika barulah aku. Emak belakangan saja. Yang penting semuanya sudah beres semua.********"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Suara yang tak asing juga di
PART 13"Maaf, Mas, aku nggak sanggup jika harus mengambil alih masalah Mas Andra," ucapku, setelah Mertua pulang. Karena aku memang tahu betul, bagaimana perekonomian kami.Mas Firman terlihat mengangguk. Kemudian mengusap wajahnya pelan."Iya, Dek. Mas juga merasa nggak sanggup," balas Mas Firman."Punya sangkutan sama Bank itu, hidup kita nggak akan tenang, Mas. Apalagi segitu banyak! Sebulan itu cepat, tahu-tahu udah jatuh tempo saja," ucapku yang mana dada ini masih terasa sesak. Tangan kanan berkali-kali menekan dada."Iya, dan kita selama ini nggak pernah berurusan sama Bank. Tapi, kasihan Bapak dan Ibu," jelas Mas Firman. Aku mengangguk pelan. Menyetujui ucapan yang bilang, kasihan dengan mertua."Aku juga kasihan sama Bapak dan Ibu. Tapi, kita bisa apa?" tanyaku balik. Mas Firman mengangguk."Iya, kita bisa apa? Dengan gaji Mas yang hanya segitu," balas Mas Firman. "Yaudahlah, kita istiahat dulu! Kita pikirkan lagi besok! Karena ini sudah waktunya tidur," pintaku. Mas Firman
PART 14"Ka! Ada apa? Pagi-pagi, kok, udah adu mulut sama ipar?" tanya Mak Giyem. Mulai kepo dia.Jelas saja suara ribut kami tadi terdengar. Karena memang saling ngegas. Apalagi rumahku dan Mak Giyem, berdekatan."Nggak apa-apa, Mak. Olah raga mulut saja!" jawabku asal. Mak Giyem terlihat mencebikan mulut. Seolah tak percaya."Mosok olah raga mulut? Olah raga pita suara nggak? Ha ha ha," tanya balik Mak Giyem, seraya melapas tawa. Dianggap lelucon saja."Iya, Mak! Pita suaranya minta diasah. Jadi nanti kalau lomba tujuh belasan bisa menang," balasku."Ha ha ha," Mak Giyem semakin menggelegarkan tawa.Hemm ... jawab santai saja. Mak Giyem ini ratunya gosip. Nggak di tanggapi saja dia akan tahu dengan sendirinya. Kalau di tanggapi, malah akan sampai kemana-mana nantinya. Sudah meluber kemana-kamana, masih di tambah-tambahin lagi. Seperti itulah, ngeri sekali PakLek!"Eh, tadi Mak dengar-dengar, bahas hutang Bank gitu. Emang iparmu hutang Bank?" tanya Mak Giyem. Dia ingin mengorek info
Part 15Aku aman dulu Teh yang aku buatkan untuk Ibu Mertua. Biar nggak di kerubuti semut. Aku masukan dulu ke dalam kulkas. Kalau dingin biar menjadi es teh.Entahlah, apa reaksi Mbak Niken tentang permintaan Ibu. Masih kekeuh atas gengsinya yang haqiqi, atau akan luluh? Demi rumah dan tanah biar tak tersita Bank.Susah memang kalau punya hati, yang selalu ingin dituruti apapun keinginannya. Sebenarnya bukan hanya Mbak Niken saja, yang ingin apa-apa harus di turuti. Kayaknya memang semua orang ada sifat seperti itu, tapi tergantung bisa mengontrolnya atau tidak. Kalau tak bisa mengontrol, ya ujung-ujungnya seperti Mbak Niken itu. Merepotkan.Aku sendiri, juga mempunyai keinginan menggebu dan ini itu. Manusiawi. Tapi, masih memikirkan kemampuan diri kita. Kalau tak mampu, kenapa dipaksakan? Sesuatu yang dipaksakan, hanya akan membuat sakit. Baik sakit fisik, sakit hati dan sakit pikiran. Ya, seperti itulah kalau menurutku. Nggak tahu kalau menurut yang lainnya. Terutama menurut Mbak
PART 16Kami semua masih hening di dalam ruang tamu. Sofa murahan yang dibilang Mbak Niken, terasa penuh. Dika dan Zaki, kami minta untuk bermain di luar. Kami nggak mau, anak-anak mendengar masalah ini. Nggak bagus untuk perkembangannya."Man, ini Niken mau ngomong!" ucap Ibu membuka percakapan. Semua mata seolah menoleh ke arah Mbak Niken. Mau ngomong apa dia? Mau ngomong saja minta di persilahkan dulu sama mertua.Jemari Mbak Niken terlihat saling bertautan. Mungkin dia deg-degan. Atau bisa jadi dia lagi menahan rasa gengsinya. Atau keringat dingin sedang keluar? Entahlah."Emmm, Man ... Ka ... sebelumnya aku minta maaf. Aku mau minta tolong kepada kalian, untuk mengambil alih hutang Bank yang kami ambil," ucap Mbak Niken akhirnya. Walau dengan nada yang terbata-bata.Aku meneguk ludah. Kemudian menghela napas sejenak. Kemudian beradu pandang dengan Mas Firman. Mas Firman terlihat memejamkan mata sejenak. Kemudian mengusap pelan wajahnya, yang masih terlihat kusut.Ya, bagi kami s