Bab 10Dengan rasa penasaran, aku masuk ke rumah Mbak Niken. Dua hari tak jumpa. Tak mendengar celotehan ngeselinnya. Ada yang hilang rasanya, ha ha ha.Kata Mas Andra, dia sakit, bisa jadi sakit karena kesakitan gegara sedot lemak. Kalau nggak, mungkin demam karena shok, motornya di tarik leasing. Atau bisa saja perasaan sendiri, karena malu. Sudah kowar-kowar mau beli motor baru, malah motor lama melayang tarik leasing. Menyedihkan sekali Bude. "Duduk dulu!" perintah Mas Andra. Kami mengangguk. Kemudian duduk di atas karpet ruang tamunya. Mas Andra terlihat melangkah menuju kamarnya. Aku mengedarkan pandang. Walau bersebelahan, aku jarang masuk ke rumah Mbak Niken. Yang ada hampir tiap hari, Mbak Niken ke rumahku. Apalagi kalau ada barang baru. Hemmm, sehari bisa dua sampai tiga kali, datang ke rumah."Ka, kamu ikut antar ke rumah sakit, ya! Naik belakang. Mbakmu lemes," pinta Mas Andra."Iya, Mas!" balasku. Setelah Mas Firman mengangguk seraya menatapku."Yaudah. Bantu mbakmu ke
Bab 11Malam semakin dingin. Pulang dari rumah Mbak Niken, kami lansung berbaring di kamar. Dika sudah berada di kamarnya. Mas Firman aku lihat dia belum tidur. Matanya masih menatap langit-langit. "Mas.""Hemm.""Mikirin apa?""Mikirin Mas Andra," jawabnya, dengan sorot mata yang masih menatap langit-langit.Aku menggeserkan badan, mendekat. Mas Firman menyambutku, dia mengelus pelan kepalaku. "Nggak nyangka aku kalau Mbak Niken sakit," ucapku. Mas Firman mengangguk."Iya, Dek, sama!" balasnya. Aku menghela napas sejenak. "Semoga Mas Andra kuat," ucapku."Iya, aamiin. Kalau menurut, Mas, Mbak Niken itu memaksakan keadaan. Jadi seperti itulah jadinya," ucap Mas Firman."Entahlah, Mas. Aku juga nggak habis pikir," balasku."Iya, dan Mas Andra selalu menuruti keinginan istrinya. Bagus sih, tapi kalau nggak mikir keadaan dan kemampuannya, kan rusak sendiri," ucap Mas Firman. "Iya, Mas. Semoga saja setelah mendapat penyakit itu, Mbak Niken bisa intropeksi diri, dan bisa sedikit menge
Bab12Kopi untuk suami tercinta sudah tersedia. Mas Firman masih berada di dalam kamar mandi. Terdengar suara guyuran air menyentuh lantai.Dika sudah aku panggil masuk. Karena sudah sore. Zaki sudah pulang juga. Masih ngantri dulu sama ayahnya. Karena Dika memang seperti itu. Kalau lagi susah di suruh mandi, maka payah juga nyuruh dia mandi.Tapi, kalau lagi senang mandi, tanpa di suruh, sebelum ayahnya pulang kerja, dia sudah bersih."Tuh, Ayah sudah selesai mandi. Sana buruan mandi!" titahku. Karena mata ini melihat Mas Firman, baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Ma!" balas Dika. Kemudian dia segera beranjak. Dan berlalu menuju ke kamar mandi."Bajunya sudah aku siapkan, Mas. Aku letakan diatas ranjang!" ucapku."Iya," balas Mas Firman seraya masuk ke dalam kamar. Aku sendiri juga belum mandi. Biarkan Dika dulu. Habis Dika barulah aku. Emak belakangan saja. Yang penting semuanya sudah beres semua.********"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Suara yang tak asing juga di
PART 13"Maaf, Mas, aku nggak sanggup jika harus mengambil alih masalah Mas Andra," ucapku, setelah Mertua pulang. Karena aku memang tahu betul, bagaimana perekonomian kami.Mas Firman terlihat mengangguk. Kemudian mengusap wajahnya pelan."Iya, Dek. Mas juga merasa nggak sanggup," balas Mas Firman."Punya sangkutan sama Bank itu, hidup kita nggak akan tenang, Mas. Apalagi segitu banyak! Sebulan itu cepat, tahu-tahu udah jatuh tempo saja," ucapku yang mana dada ini masih terasa sesak. Tangan kanan berkali-kali menekan dada."Iya, dan kita selama ini nggak pernah berurusan sama Bank. Tapi, kasihan Bapak dan Ibu," jelas Mas Firman. Aku mengangguk pelan. Menyetujui ucapan yang bilang, kasihan dengan mertua."Aku juga kasihan sama Bapak dan Ibu. Tapi, kita bisa apa?" tanyaku balik. Mas Firman mengangguk."Iya, kita bisa apa? Dengan gaji Mas yang hanya segitu," balas Mas Firman. "Yaudahlah, kita istiahat dulu! Kita pikirkan lagi besok! Karena ini sudah waktunya tidur," pintaku. Mas Firman
PART 14"Ka! Ada apa? Pagi-pagi, kok, udah adu mulut sama ipar?" tanya Mak Giyem. Mulai kepo dia.Jelas saja suara ribut kami tadi terdengar. Karena memang saling ngegas. Apalagi rumahku dan Mak Giyem, berdekatan."Nggak apa-apa, Mak. Olah raga mulut saja!" jawabku asal. Mak Giyem terlihat mencebikan mulut. Seolah tak percaya."Mosok olah raga mulut? Olah raga pita suara nggak? Ha ha ha," tanya balik Mak Giyem, seraya melapas tawa. Dianggap lelucon saja."Iya, Mak! Pita suaranya minta diasah. Jadi nanti kalau lomba tujuh belasan bisa menang," balasku."Ha ha ha," Mak Giyem semakin menggelegarkan tawa.Hemm ... jawab santai saja. Mak Giyem ini ratunya gosip. Nggak di tanggapi saja dia akan tahu dengan sendirinya. Kalau di tanggapi, malah akan sampai kemana-mana nantinya. Sudah meluber kemana-kamana, masih di tambah-tambahin lagi. Seperti itulah, ngeri sekali PakLek!"Eh, tadi Mak dengar-dengar, bahas hutang Bank gitu. Emang iparmu hutang Bank?" tanya Mak Giyem. Dia ingin mengorek info
Part 15Aku aman dulu Teh yang aku buatkan untuk Ibu Mertua. Biar nggak di kerubuti semut. Aku masukan dulu ke dalam kulkas. Kalau dingin biar menjadi es teh.Entahlah, apa reaksi Mbak Niken tentang permintaan Ibu. Masih kekeuh atas gengsinya yang haqiqi, atau akan luluh? Demi rumah dan tanah biar tak tersita Bank.Susah memang kalau punya hati, yang selalu ingin dituruti apapun keinginannya. Sebenarnya bukan hanya Mbak Niken saja, yang ingin apa-apa harus di turuti. Kayaknya memang semua orang ada sifat seperti itu, tapi tergantung bisa mengontrolnya atau tidak. Kalau tak bisa mengontrol, ya ujung-ujungnya seperti Mbak Niken itu. Merepotkan.Aku sendiri, juga mempunyai keinginan menggebu dan ini itu. Manusiawi. Tapi, masih memikirkan kemampuan diri kita. Kalau tak mampu, kenapa dipaksakan? Sesuatu yang dipaksakan, hanya akan membuat sakit. Baik sakit fisik, sakit hati dan sakit pikiran. Ya, seperti itulah kalau menurutku. Nggak tahu kalau menurut yang lainnya. Terutama menurut Mbak
PART 16Kami semua masih hening di dalam ruang tamu. Sofa murahan yang dibilang Mbak Niken, terasa penuh. Dika dan Zaki, kami minta untuk bermain di luar. Kami nggak mau, anak-anak mendengar masalah ini. Nggak bagus untuk perkembangannya."Man, ini Niken mau ngomong!" ucap Ibu membuka percakapan. Semua mata seolah menoleh ke arah Mbak Niken. Mau ngomong apa dia? Mau ngomong saja minta di persilahkan dulu sama mertua.Jemari Mbak Niken terlihat saling bertautan. Mungkin dia deg-degan. Atau bisa jadi dia lagi menahan rasa gengsinya. Atau keringat dingin sedang keluar? Entahlah."Emmm, Man ... Ka ... sebelumnya aku minta maaf. Aku mau minta tolong kepada kalian, untuk mengambil alih hutang Bank yang kami ambil," ucap Mbak Niken akhirnya. Walau dengan nada yang terbata-bata.Aku meneguk ludah. Kemudian menghela napas sejenak. Kemudian beradu pandang dengan Mas Firman. Mas Firman terlihat memejamkan mata sejenak. Kemudian mengusap pelan wajahnya, yang masih terlihat kusut.Ya, bagi kami s
Part 17Bapak sudah duduk diantara kami. Hati ini sedikit lega, karena nampaknya, Bapak ada bersama anak bungsunya. "Bapak ini gimana?" tanya Ibu seolah nada pertanyaannya menunjukan ketidaksukaan."Gimana? Ibu yang gimana?" tanya Bapak. Ibu terlihat mengerutkan kening. Aku masih memilih posisi aman. Diam."Andra ini dalam masalah! Kalau bukan saudaranya yang bantu, siapa lagi?" ucap Ibu, jelas sekali dalam pengamatanku. Ibu berat kepada anak sulungnya."Iya, Bapak tahu. Tapi, setelah Bapak pikir-pikir, kita ini nggak adil dengan Firman!" balas Bapak. Lagi, aku lihat keningnya semakin melipat. Mbak Niken aku lihat wajahnya semakin pucat. Entahlah, mungkin karena dia belum sembuh total, atau pucat karena akan hancur sebentar lagi."Nggak adil gimana? Bapak ini ada-ada saja!" ucap Ibu. Bapak terlihat mengusap wajah pelan."Berkali-kali Firman dia bilang tak mampu, tapi ibu tak mendengarkan keluhnya! Adilkah seperti itu? Dan kamu Andra, harusnya kamu berpikir panjang, jika akan berurus