Di malam hari setelah insiden yang sangat menguras emosi dan air mata itu berlalu, Tsani terlihat sangat murung. Tidak seperti malam-malam biasanya. Sebelumnya ibu satu anak ini tidak pernah absen membacakan buku dongeng untuk Melani sebagai penghantar tidur anak kesayangannya. Malam ini ia begitu kalut. Ia berada di satu persimpangan jalan mana yang harus ia pilih. Rujuk kembali atau mundur dari kehidupan Bimo.Luka trauma yang telah Bimo berikan masih begitu menancap dalam batinnya. Laki-laki yang ia harap bisa berubah setelah kehadiran putri pertama mereka, justru makin tidak bertanggung jawab. Tsani seakan kehilangan penopang dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya. Tsani harus bekerja keras untuk menyambung hidup bersama adiknya, Dendi. Sebelum akhirnya Tsani diminta untuk menikah dengan Bimo.Semenjak kericuhan di rumah Tsani, Bimo dan bayinya tinggal di rumah Papah Rusli. Terhitung sudah lima hari berlalu, hitungan yang sama pula kun
"Ternyata kau sudah bisa mengambil hati anakku, Mas!"Wanita berbadan ramping dengan tinggi semampai itu melempar tatapan dingin kepada Bimo yang kini tengah memeluk Melani."Bukankah Melani ini anakku juga, Tsan? Darah dagingku. Sudah sepatutnya seorang anak dekat dengan ayahnya. Terlebih dia anak perempuan, ayah kandungnyalah yang menjadi cinta pertamanya.""Jangan terlalu bangga hanya dengan meninggikan status seorang ayah kandung, Mas. Pasti Melani akan bisa memilih dengan siapa dia akan hidup jika nantinya keputusanku tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan.""Aku pastikan Melani tidak akan memikirkan hal tersulit dalam hidupnya. Kita akan bersama lagi. Aku yakin itu."Keyakinan Bimo begitu kuat. Dengan membuat Melani menjadi nyaman senyaman-nyamannya bersamanya, itu akan mempersulit Tsani untuk penolakan rujuk. Bimo begitu paham dengan Tsani, apapun akan dia lakukan untuk membuat orang yang ia sayangi merasa bahagia. Contohnya Tsani yang masih mau mengurus mertuanya yang s
Pyar!!!Suara pecahan terdengar dari ruang tamu, tempat Melani bermain boneka."Yayah ... akit ...."Tangisan Melani mengadu kesakitan membuat semua orang panik dan berhamburan ke luar dari kamar Bimo."Astaghfirullah, Melani ... kening kamu berdarah, Nak?" Kakek Melani panik."Tolong ambilkan kotak P3k, Mah. Cepat.""Iya, Pah."Mamah Astrid berlari mengambil kotak P3K di ruang tengah."Pah, ini apa?"Bimo menemukan sesuatu yang tergeletak tidak jauh dari posisi duduk Melani. Ternyata batu yang terbungkus kertas dengan tulisan yang berbau ancaman. "JAUHI TSANI!!! JIKA TIDAK INGIN MENERIMA TEROR YANG LEBIH MENGERIKAN LAGI!!!"Batu dengan ukuran cukup besar yang telah mendarat tepat di kening Melani hingga anak kecil itu berdarah dan menangis sejadi-jadinya."Isi tulisannya apa, Bim?" tanya Papah Rusli.“Seperti ancaman, Pah.”Bimo menyerahkan kertas kusut itu kepada papahnya."Siapa yang sudah berani meneror keluarga kita, Bim?""Bimo juga tidak tahu, Pah. Bentar Bimo cek dulu ke luar.
Sengaja Bimo pulang melewati jalan depan rumah Tsani. Jalan alternatif menuju perkotaan. Sekalian ingin memanggil tukang pasang CCTV yang kebetulan tetangga rumah Tsani.Mobil sudah terparkir di depan rumah jasa pasang dan service CCTV."Pak, lagi sibuk nih?"Bimo menyapa seorang laki-laki berumur 45 tahun yang sedang berkutat dengan laptopnya."Eh, Mas Bimo. Apa kabar? Sudah lama banget tidak bertemu. Sini-sini duduk."Warga di kampungnya memang banyak yang mengenal Bimo. Secara Bimo adalah anak orang terpandang dan dulu sewaktu masih bujangan Bimo juga sering bergaul dengan muda-mudi di kampung. Dari segi itu sudah bisa membuat Bimo terkenal, terlebih lagi dengan kasus rumah tangganya dengan Tsani satu tahun yang lalu. Kasus yang tidak bisa disembunyikan karena Tsani juga termauk gadis yang banyak dikenal warga sebab keramahannya."Kabar saya baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana?""Alhamdulillah ... baik juga, Mas.""Alhamdulillah. Oh, ya, Pak. Nanti sore bisa ke rumah tidak? Saya mau
"Lancang kamu bicara seperti itu, Tsan!"Tangan Bimo seketika melayang di udara hampir mendarat ke pipi Tsani. Tinggal sejengkal lagi tato merah cap lima jari menempel di sana. Beruntung sekali, ada tangan malaikat tak bersayap datang di waktu yang tepat."Jangan pernah kasar kepada wanita, Bung!"Dengan cepat tangan kekar Bimo dicengkram erat lalu diputar ke belakang tubuhnya. Sampai ia meringis kesakitan. Bimo juga belum sempat melihat wajah sosok lelaki yang datang itu."Siapa Anda!" tanya Bimo kepada yang datang.Tsani yang merasa ketakutan, masih menutupi sebagian wajahnya. Selang beberapa detik Tsani angkat bicara."Pakdhe Tresno.""Kau sudah diapakan lagi sama orang ini Tsani?""A-aku baik-baik saja, Pakdhe. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu," jawab Tsani sedikit lega.Lelaki brewok itu melepaskan genggamannya terhadap Bimo. Bimo masih merasa kesakitan. Cengkeraman erat Pakdhe Tresno sampai membekas merah melingkar di tangan kanan Bimo.Pakdhe Tresno adalah kakak dari ayah Ts
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?" tanya Mamah Astrid dengan penuh keheranan."Tanyakan saja sendiri kepada suamimu itu! Kami permisi." "Tunggu, Tsan. Ini ada obat antibiotik untuk Melani dan kebutuhan dapur untuk kamu."Bimo menyerahkan semua yang sudah ia beli untuk Melani dan Tsani. Akan tetapi, ditolak oleh Pakdhe Tresno."Ambillah! Kami bisa membelinya sendiri. Jangan kalian pikir dengan membelikan itu semua bisa meredamkan rasa kecewa kami ini. Kalian sudah tidak bisa lagi dipercaya mengurus Melani. Kami permisi!"Pakdhe Tresno menggandeng Tsani ke luar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir di sana. Namun, sesampainya di dalam mobil. Pakdhe kembali ke luar lalu masuk ke dalam rumah Bimo."Tsani, kamu tunggu di sini saja. Ada yang perlu Pakdhe sampaikan kepada mereka," perintah Pakdhe."Baik, Pakdhe."Pakdhe baru saja sampai di ambang pintu, tetapi kegaduhan sudah terdengar. Pakdhe memilih untuk berhenti dan mendengarkan ocehan demi ocehan ketiga orang di dalam s
Lelaki brewok itu sudah masuk ke mobilnya."Ayo kita pulang, Tsan. Kelamaan di rumah mertuamu ini bikin Pakdhe kebakaran bewok.""Jenggot, Pakdhe," protes Tsani sambil tertawa kecil."Aih ... sama saja, sama-sama rambut.""Iya deh, sama. Oh ya. Kok, tadi di dalam lama banget Pakdhe, sampai Melani tidur pulas sekali."Tsani menatap ke arah pakdhenya yang sedang fokus ke kaca spion mengeluarkan mobil dari parkiran."Duh, maaf ya Tsan. Tadi sebenarnya juga belum kelar, tapi takut situasi dan kondisi Mamah Mertuamu makin memburuk. Nanti malah Pakdhe yang ketempuhan.""Memangnya apa yang tadi dibahas, Pakdhe?""Iya, Pakdhe cuma bilang kalau Pakdhemu ini tidak setuju jika kamu masih harus memberi ASI untuk anak hasil pengkhianatan mantan suamimu itu. Mereka pikir keponakan Pakdhe yang sholihah ini perempuan apaan. Lagian kamu sih, mau pula diperbudak sama mereka. Jangan terlalu pakai hati, Tsani. Cerdaslah sedikit.""Bukannya begitu, Pakdhe. Tsani hanya kasihan sama bayi itu. Mungkin, kalau
Rumah Papah Rusli.Bimo menghampiri Mamah Astrid yang sedang kuwalahan menangani Anita yang terus menangis karena kehausan. "Kamu ke mana saja sih, Bim? Apa tidak dengar Anita menangis?""Maaf, Mah. Tadi Bimo ada urusan sama Papah di gazebo depan.""Sekarang di mana papahmu?""Masih di sana kayaknya, Mah."Mamah Astrid keluar dari kamar, sedangkan Bimo lanjut mengurus Anita, memberikan ASI kepada putri keduanya."Cup cup cup ... anak Ayah jangan nangis lagi, sekarang mimi susu dulu ya, Sayang."Bimo memang sudah luwes mengurus Anita karena selama hidup bersama Dini, Bimolah yang sering mengurusnya. Sehari-harinya Dini memang sibuk dengan jualan online-nya. Tidak jarang pula, Dini meninggalkan Anita di rumah bersama Bimo untuk melakukan COD dengan pelanggan.Waktu demi waktu, usaha Dini berkembang pesat. Banyak reseller-reseller yang mengambil barang jualan dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, Dini belum begitu mahir me-manage keuangan bisnisnya sehingga setiap bulannya Bimo harus m