Share

4. Bujuk Rujuk

“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”

Suara lelaki yang terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dan teras. Hanya terdengar suaranya, tetapi sosoknya belum juga nampak. Semua mata tertuju ke arah sumber suara, seakan menantikan kemunculan lelaki tersebut.

“Saya tidak merelakan cucu kesayangan saya diambil oleh anak saya sendiri,” ucap ulang lelaki itu.

Kini sosoknya sudah terlihat. Lelaki paruh baya yang menggandeng wanitanya masuk ke rumah Tsani.

“Papah, Mamah,” ucap Bimo dan Tsani bersamaan.

Melihat kedatangan kedua orang tua Bimo, Pak RT, Bu Rosi dan Bu Farida serta Mita berpamitan pulang.

“Sepertinya sudah saatnya saya permisi, Pak, Bu,” pamit Pak RT.

“Silakan, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah direpotkan atas masalah anak-anak kami,” sahut ayah Bimo.

Sampai detik ini suasana rumah Tsani masih begitu tegang, bahkan lebih tegang setelah kedatangan kedua mertuanya. Mereka memang sering mengunjungi rumah Tsani, sekali pun Tsani dan Bimo sudah satu tahun berpisah. Selama satu tahun pula Tsani tidak pernah mendapatkan nafkah dari Bimo maka dari itu orang tuanya selalu memberi uang sekadar untuk menutup kekurangan uang belanja dan jajan Melani. Mereka tidak bisa memenuhi semua kebutuhan menantunya karena setiap bulan harus membawa Bu Rusli kontrol ke rumah sakit.

“Kakek ... nenek ...,” panggil Melani kepada mereka dan memeluk mereka.

Pelukan hangat pun mereka berikan, hingga senyum Melani terlukis di bibirnya. Melani begitu disayangi oleh mereka. Melani adalah cucu pertama dari keluarga Tsani maupun keluarga Bimo. Namun, sayangnya Melani tidak merasakan kasih sayang dari kedua orang tua Tsani.

“Kenapa kalian begitu kaget dengan kedatangan orang tua kalian sendiri? Apa ada yang salah jika orang tua berkunjung ke rumah anak sendiri?” tanya ayah Bimo dengan nada tegas.

Tsani yang sedari tadi tertegun atas kedatangan mertuanya, sampai lupa belum menyalami mereka.

“Maaf Pak, Bu. Tsani lupa.”

Tsani segera memberikan salam takzim dan mencium punggung tangan keduanya. Diikuti oleh Bimo, tetapi apa yang terjadi. Kedua orang tuanya justru menampik tangan Bimo.

“Pah, Mah,” lirih Bimo.

“Masih berani kamu menampakkan wajahmu di hadapan Tsani, istri yang sudah satu tahun kamu lalaikan?! Sungguh tidak tahu malu! Siapa yang sudah mendidik kamu sampai jadi orang yang begitu tidak punya hati?! Jawab, Bimo!” bentak papah Bimo.

Bimo dibuatnya membisu, tidak berkutik seperti kecoa yang meminum racun serangga. Dalam hatinya ingin menjawab. Namun, papah Bimo bukanlah karakter orang yang suka diladeni ketika amarahnya memuncak, bahkan akan berubah menjadi lebih ganas. Bimo memilih diam dengan berondongan cacian yang papahnya berikan karena Bimo pun sudah menyadari kesalahannya.

“Papah sudah tahu semua yang terjadi hari ini karena Papah dan Mamah sudah datang sedari kalian ribut. Papah sengaja tidak masuk. Hanya ingin tahu apa tujuan sebenarnya kamu datang ke rumah Tsani. Ternyata hatimu sudah benar-benar mati, Bimo.”

“Pah, tetapi Bimo lakukan ini karena Bimo sayang Melani. Bimo janji akan menjadi ayah yang baik buat Melani.”

Kali ini lelaki berambut gondrong itu berani angkat bicara, menjawab pertanyaan papahnya.

“Ayah yang baik kamu bilang? Lihat dulu diri kamu yang sekarang, Bim. Rambut gondrong, kumis tebal, baju kumal, sungguh tidak terawat sekali diri kamu ini. Dimana istri yang selalu kamu puja-puja itu? Dan bayi yang kamu gendong. Apa sudah bisa kamu merawatnya? Sampai sok gagah membawa bayi keluar rumah. Akhirnya, apa yang terjadi? Kamu mengemis ASI kepada istri yang sudah kamu telantarkan. Menyedihkan sekali. Sekarang kamu berniat mengambil cucu kesayangan Papah? Mau jadi apa cucu Papah nanti. Mau jadi gelandangan sama sepertimu, iya?” berondong caci maki kini terangkai lagi dari mulut lelaki beruban yang masih terlihat gagah.

Seketika ruangan hening. Bimo dan Tsani sama-sama tertunduk. Tsani memang tidak pernah berani angkat bicara jika papah mertuanya sedang marah. Dan itu sudah Tsani tanamkan sedari dulu saat kedua orang tuanya masih hidup. Didikan yang baik membangun etika yang baik pula. Berbeda dengan Bimo yang memang sedari kecil jauh dari kasih sayang orang tua. Harta berlimpah, tetapi mendapat belaian dan pelukan saja susah. Kasih sayang orang tuanya memang tidak adil. Mereka lebih menyayangi adik Bimo dari pada Bimo sendiri.

“Papah minta Bimo menceraikan Dini dan rujuk dengan Tsani.”

Seketika Bimo dan Tsani mendongak bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada satu pasang mata. Darah Tsani berdesir cepat mendengar pemintaan mertuanya. Permintaan yang tidak pernah sama sekali Tsani harapkan.

“Aku setuju,” jawab Bimo, “aku mau bersama lagi dengan Tsani dan meninggalkan Dini.”

Tsani tertegun dengan jawaban Bimo. Entah mimpi atau nyata. Akan tetapi, detik ini Tsani mendengar kesanggupan Bimo untuk meninggalkan wanita perusak rumah tangganya.

“Tsani tidak mau, Pah. Mas Bimo mau kembali kepada Tsani karena dia sudah dibuang oleh wanita itu. Bukan karena benar-benar tulus ingin kembali kepada Tsani. Tsani tidak mau. Maaf, Pah,” tolak Tsani.

“Tapi, Nak, Mamah sangat ingin melihat kalian bersama lagi. Berkumpul di rumah Mamah bersama menantu dan cucu kesayangan Mamah ini. Tolong bahagiakan hari tua Mamah, Nak.”

Wanita berhijab berwajah pucat itu pun turut membujuk Tsani untuk mau menerima permintaan mereka. Mamah Bimo memang sedang sakit sejak melihat menantu kesayangannya diperlakukan tidak baik oleh anaknya sendiri. Sakitnya bertambah parah lagi ketika Bimo berani pergi dari rumah demi seorang wanita yang tidak tahu malu.

“Demi Mamah, Nak. Rujuklah kembali dengan Bimo, Nak. Maafkan anak Mamah, lupakan kesalahannya. Bina kembali dari awal rumah tangga dengannya. Mamah yakin Bimo akan lebih baik jika hidup bersamamu. Mamah tidak mau kehilangan dia dan juga kehilangan menantu sebaik kamu. Kali ini Mamah mohon,” pinta mertua Tsani.

Saat ini Tsani sungguh merasa dilema. Tsani disuguhkan dengan dua pilihan. Patuh akan bujukan rujuk dari mertuanya atau tidak, tetapi jika tidak mematuhinya. Tsani akan merasa sangat bersalah dan juga durhaka. Karena Tsani sudah sangat menganggap kedua mertuanya itu seperti orang tua kandungnya sendiri. Kasih sayang mereka sungguh tulus. Walaupun Bimo selaku anaknya sudah tega meninggalkan Tsani. Akan tetapi, mereka tidak sedikit pun mundur satu langkah dari hidup Tsani. Tsani sangat beruntung untuk hal ini.

“Mah, Pah ... tanpa mengurangi rasa hormat Tsani kepada Mamah Papah, Tsani paham betul jika kalian begitu sayang kepada Tsani dan juga Melani. Akan tetapi, untuk permintaan Mamah Papah yang satu ini, Tsani harus memikirkan matang-matang. Beri Tsani waktu, Mah, Pah. Setidaknya agar Tsani melihat bagaimana sikap Mas Bimo yang sekarang. Apakah sudah benar-benar berubah atau hanya sekadar bualan belaka. Namun, jika nantinya keputusan Tsani tidak seperti yang Mamah Papah harapan, Tsani minta maaf sebesar-besarnya. Dan Tsani akan tetap menyayangi kalian sebagai orang tua Tsani," ucap Tsani.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status