Share

3. Jangan Ambil Anakku.

Tsani dan Bu Rosi saling menatap. Ibu Rosi pun menggelengkan kepala. Mereka berdua sama-sama terherannya terhadap Melani yang berbicara seperti itu.

“Melani, Sayang. Ayah Melani kan sudah pergi. Ayah Melani sudah bobok panjang, tidak mungkin bisa dipeluk sama Melani."

Rayuan Tsani kali ini benar-benar kelewatan. Hatinya sudah termakan kebencian terhadap Bimo.

“Yayah ada, Mah, Yayah ada ...” rengek Melani sambil menunjuk ruang tamu yang hanya berbatas satu tembok dengan kamar Tsani.

“Sudah Melani, diam!” bentakan Tsani membuat Melani terkekeh dan menangis.

“Mamah no no ayang Meyani ...,” tangis gadis bermata belo itu makin menjadi. Kini dia dipeluk oleh Bu Rosi.

“Mbak, sudah. Jangan marah-marah, kasihan Melani,” ujar Bu Rosi sembari memeluk Melani.

“Aku sudah tidak sudi, Bu jika lelaki itu menyusup lagi di kehidupan kami. Kami sudah sangat bahagia hanya hidup berdua saja, tetapi mengapa dia hadir lagi, Bu. Kenapa?” rintih Tsani.

Kini batinnya bergelut dengan amarah yang sulit teredam. Sesak. Sangat sesak untuk bernapas.

Bu Rosi hanya terdiam, menjawab pun takut salah. Dia menatap iba pada Tsani.

“Saya minta tolong, Bu. Temani dulu putri saya di sini. Jangan biarkan Melani keluar dan mendengar pembicaraan apapun di ruang tamu nanti,” pinta wanita yang matanya sudah sangat sembab.

“Baik, Mbak. Selesaikan dengan kepala dingin ya, Mbak.”

Tanpa menjawab, Tsani ke luar meninggalkan Bu Rosi dan Melani. Langkahnya berhenti di ruang tamu lalu menatap satu per satu semua pasang mata yang ada di sana. Sebaliknya mereka pun berbalik menatap Tsani dengan penuh keheranan.

“Tolong katakan, siapa yang sudah berani mengungkapkan bahwa dia adalah ayah Melani!”

Tangan Tsani menunjuk ke arah Bimo, netra tajam bagai busur siap ia lepaskan ke pelaku yang lancang membongkar status Bimo.

Semua orang masih terdiam. Tidak ada satu pun jawaban yang Tsani dapat.

“Tolong, katakan!!!” bentak Tsani sekali lagi.

“Aku yang sudah mengatakan kepada Melani,” jawab Bimo dengan tegas.

“Kamu Mas?! Berani sekali kamu bicara kepada anakku bahwa kamu ayahnya!!!”

“Memang kenyataannya seperti itu, Melani anakku, darah dagingku. Apa salah seorang ayah ingin dipanggil ayah oleh anaknya sendiri? Ingin dipeluk anaknya sendiri? Ingin mencurahkan kasih sayang terhadap anaknya sendiri? Apa salah?!” Bimo memberondong curahan hatinya terhadap Tsani.

“Lancang sekali kamu, Mas berbicara seperti itu. Tidak ingatkah saat Melani lahir? Kau memberi azan kepadanya pun tidak! Bahkan saat aku mempertaruhkan nyawaku melahirkan Melani, kamu di mana? Hah?! Di mana letak hatimu saat itu? Sejak bayi tidak pernah sekali pun kamu menggendong Melani. Dan sekarang kamu dengan entengnya mengakui dia sebagai anakmu?! Hadapi aku dulu, Mas! Hadapi dulu ibunya!”

Amarah Tsani makin membara mengingat masa lalu di mana Bimo sangat mengabaikan Tsani dan Melani.

Bimo hanya terdiam menyadari kesalahan yang fatal di waktu dulu. Bentakan Tsani membuat bayi yang tengah digendongnya menangis.

“Sudah, Mbak. Tenang dulu,” bujuk Bu Farida dan bergegas merangkul Tsani yang tubuhnya mulai bergetar sebab amarahnya.

“Ambil saja anak gundikmu ini!” Tsani menyerahkan bayi kepada Bimo. “dan segera enyah dari rumahku!”

Pengusiran Tsani tidak mendapat tanggapan dari Bimo. Ia masih saja mematung dengan memeluk bayinya.

“Aku tidak akan pergi sebelum Melani pun ikut bersamaku,” celetuk Bimo.

Semua netra tertuju pada Bimo. Emosi Tsani makin meluap. Rupanya Bimo benar-benar memancing amarah Tsani. Mengubah Tsani yang lembut menjadi perangai yang tidak pernah terlihat oleh orang lain. Hari ini Tsani bagai harimau tidur yang terbangun karena ulah Bimo.

“Keterlaluan kamu, Mas! Dikasih hati minta jantung! Kau minta ASI untuk bayi gundikmu, sudah aku berikan. Dan kini kau meminta Melani dari tanganku! Jangan harap aku akan melepaskan putriku untukmu!”

Peperangan makin sengit. Di ruang tamu masih ada Pak RT dan Bu Farida, sedangkan Bu Rosi masih di kamar bersama Melani sesuai perintah Tsani.

“Sebaiknya kita selesaikan semuanya dengan baik-baik, Mbak, Mas.”

“Sudah habis kesabaran saya, Pak menghadapi laki-laki macam Mas Bimo. Sejak awal pernikahan, tidak pernah sekali pun ia membuat saya bahagia. Terlebih kepada Melani. Perlakuannya tidak mencerminkan seorang suami sekaligus ayah yang baik untuk keluarganya.”

Pernikahan Tsani dan Bimo memang karena hutang piutang. Akan tetapi, sebelum orang tua Tsani berhutang kepada orang tua Bimo, Pak Rusli dan istrinya memang sudah menyukai Tsani. Di mata orang tua Bimo, Tsani adalah gadis berparas cantik, lemah lembut dan sangat beradab baik. Calon menantu idaman menurut mereka meskipun mereka berbeda kasta.

Sewaktu ketika, orang tua Tsani membutuhkan biaya banyak untuk pengobatan Dendi, adik Tsani yang mengalami kecelakaan. Dengan senang hati Pak Rusli dan istrinya menawarkan pinjaman kepada mereka sebesar 40 juta. Namun, orang tua Tsani sangat ragu jika tidak bisa mengembalikan uang tersebut. Orang tua Bimo pun tidak kehabisan akal untuk menjebak orang tua Tsani pada hutangnya. Cukup dengan tenaga dan dalam kurun waktu yang ditentukan mereka bisa membayarnya.

Naasnya, sebelum mencapai waktu yang ditentukan, kedua orang tua Tsani meninggal. Dan hutang piutang mereka dijadikan alat untuk Tsani tidak berkutik. Akhirnya, Tsani terpaksa bersedia dinikahkan dengan Bimo walaupun tanpa cinta.

“Semua bermula karena perjodohan oleh kedua orang tua saya, Pak. Saat itu memang saya tidak mencintai Tsani sedikit pun. Karena saya sudah memiliki pilihan sendiri, yaitu Dini. Ibu dari bayi ini. Akan tetapi, sekarang saya sadar setelah apa yang Dini lakukan terhadap saya dan anak kami. Dia sudah mengusir kami dari rumahnya,” terang Bimo.

“Oh, jadi Mas datang ke sini karena sudah dibuang oleh wanita itu? Datang hanya untuk meminta ASI untuk bayi hasil pengkhianatan kalian dan mengambil putri kesayanganku, Melani? Benar-benar sudah tidak waras kamu, Mas!” tangis Tsani pecah.

Melani yang mendengar ibunya menangis langsung berlari ke luar. Melihat apa yang sedang terjadi. Dengan polosnya, anak itu menghampiri Tsani yang duduk bersebelahan dengan Bu Farida.

“Mah, no no angis, Mah," bujuk Melani.

Tangan mungilnya mengusap kedua pipi Tsani yang basah. Tangan Tsani sontak memeluk Melani sebelum ada tangan lain yang mengambilnya.

“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”

Semua orang menoleh ke sumber suara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status