Tsani dan Bu Rosi saling menatap. Ibu Rosi pun menggelengkan kepala. Mereka berdua sama-sama terherannya terhadap Melani yang berbicara seperti itu.
“Melani, Sayang. Ayah Melani kan sudah pergi. Ayah Melani sudah bobok panjang, tidak mungkin bisa dipeluk sama Melani."Rayuan Tsani kali ini benar-benar kelewatan. Hatinya sudah termakan kebencian terhadap Bimo.“Yayah ada, Mah, Yayah ada ...” rengek Melani sambil menunjuk ruang tamu yang hanya berbatas satu tembok dengan kamar Tsani.“Sudah Melani, diam!” bentakan Tsani membuat Melani terkekeh dan menangis.“Mamah no no ayang Meyani ...,” tangis gadis bermata belo itu makin menjadi. Kini dia dipeluk oleh Bu Rosi.“Mbak, sudah. Jangan marah-marah, kasihan Melani,” ujar Bu Rosi sembari memeluk Melani.“Aku sudah tidak sudi, Bu jika lelaki itu menyusup lagi di kehidupan kami. Kami sudah sangat bahagia hanya hidup berdua saja, tetapi mengapa dia hadir lagi, Bu. Kenapa?” rintih Tsani.Kini batinnya bergelut dengan amarah yang sulit teredam. Sesak. Sangat sesak untuk bernapas.Bu Rosi hanya terdiam, menjawab pun takut salah. Dia menatap iba pada Tsani.“Saya minta tolong, Bu. Temani dulu putri saya di sini. Jangan biarkan Melani keluar dan mendengar pembicaraan apapun di ruang tamu nanti,” pinta wanita yang matanya sudah sangat sembab.“Baik, Mbak. Selesaikan dengan kepala dingin ya, Mbak.”Tanpa menjawab, Tsani ke luar meninggalkan Bu Rosi dan Melani. Langkahnya berhenti di ruang tamu lalu menatap satu per satu semua pasang mata yang ada di sana. Sebaliknya mereka pun berbalik menatap Tsani dengan penuh keheranan.“Tolong katakan, siapa yang sudah berani mengungkapkan bahwa dia adalah ayah Melani!”Tangan Tsani menunjuk ke arah Bimo, netra tajam bagai busur siap ia lepaskan ke pelaku yang lancang membongkar status Bimo.Semua orang masih terdiam. Tidak ada satu pun jawaban yang Tsani dapat.“Tolong, katakan!!!” bentak Tsani sekali lagi.“Aku yang sudah mengatakan kepada Melani,” jawab Bimo dengan tegas.“Kamu Mas?! Berani sekali kamu bicara kepada anakku bahwa kamu ayahnya!!!”“Memang kenyataannya seperti itu, Melani anakku, darah dagingku. Apa salah seorang ayah ingin dipanggil ayah oleh anaknya sendiri? Ingin dipeluk anaknya sendiri? Ingin mencurahkan kasih sayang terhadap anaknya sendiri? Apa salah?!” Bimo memberondong curahan hatinya terhadap Tsani.“Lancang sekali kamu, Mas berbicara seperti itu. Tidak ingatkah saat Melani lahir? Kau memberi azan kepadanya pun tidak! Bahkan saat aku mempertaruhkan nyawaku melahirkan Melani, kamu di mana? Hah?! Di mana letak hatimu saat itu? Sejak bayi tidak pernah sekali pun kamu menggendong Melani. Dan sekarang kamu dengan entengnya mengakui dia sebagai anakmu?! Hadapi aku dulu, Mas! Hadapi dulu ibunya!”Amarah Tsani makin membara mengingat masa lalu di mana Bimo sangat mengabaikan Tsani dan Melani.Bimo hanya terdiam menyadari kesalahan yang fatal di waktu dulu. Bentakan Tsani membuat bayi yang tengah digendongnya menangis.“Sudah, Mbak. Tenang dulu,” bujuk Bu Farida dan bergegas merangkul Tsani yang tubuhnya mulai bergetar sebab amarahnya.“Ambil saja anak gundikmu ini!” Tsani menyerahkan bayi kepada Bimo. “dan segera enyah dari rumahku!”Pengusiran Tsani tidak mendapat tanggapan dari Bimo. Ia masih saja mematung dengan memeluk bayinya.“Aku tidak akan pergi sebelum Melani pun ikut bersamaku,” celetuk Bimo.Semua netra tertuju pada Bimo. Emosi Tsani makin meluap. Rupanya Bimo benar-benar memancing amarah Tsani. Mengubah Tsani yang lembut menjadi perangai yang tidak pernah terlihat oleh orang lain. Hari ini Tsani bagai harimau tidur yang terbangun karena ulah Bimo.“Keterlaluan kamu, Mas! Dikasih hati minta jantung! Kau minta ASI untuk bayi gundikmu, sudah aku berikan. Dan kini kau meminta Melani dari tanganku! Jangan harap aku akan melepaskan putriku untukmu!”Peperangan makin sengit. Di ruang tamu masih ada Pak RT dan Bu Farida, sedangkan Bu Rosi masih di kamar bersama Melani sesuai perintah Tsani.“Sebaiknya kita selesaikan semuanya dengan baik-baik, Mbak, Mas.”“Sudah habis kesabaran saya, Pak menghadapi laki-laki macam Mas Bimo. Sejak awal pernikahan, tidak pernah sekali pun ia membuat saya bahagia. Terlebih kepada Melani. Perlakuannya tidak mencerminkan seorang suami sekaligus ayah yang baik untuk keluarganya.”Pernikahan Tsani dan Bimo memang karena hutang piutang. Akan tetapi, sebelum orang tua Tsani berhutang kepada orang tua Bimo, Pak Rusli dan istrinya memang sudah menyukai Tsani. Di mata orang tua Bimo, Tsani adalah gadis berparas cantik, lemah lembut dan sangat beradab baik. Calon menantu idaman menurut mereka meskipun mereka berbeda kasta.Sewaktu ketika, orang tua Tsani membutuhkan biaya banyak untuk pengobatan Dendi, adik Tsani yang mengalami kecelakaan. Dengan senang hati Pak Rusli dan istrinya menawarkan pinjaman kepada mereka sebesar 40 juta. Namun, orang tua Tsani sangat ragu jika tidak bisa mengembalikan uang tersebut. Orang tua Bimo pun tidak kehabisan akal untuk menjebak orang tua Tsani pada hutangnya. Cukup dengan tenaga dan dalam kurun waktu yang ditentukan mereka bisa membayarnya.Naasnya, sebelum mencapai waktu yang ditentukan, kedua orang tua Tsani meninggal. Dan hutang piutang mereka dijadikan alat untuk Tsani tidak berkutik. Akhirnya, Tsani terpaksa bersedia dinikahkan dengan Bimo walaupun tanpa cinta.“Semua bermula karena perjodohan oleh kedua orang tua saya, Pak. Saat itu memang saya tidak mencintai Tsani sedikit pun. Karena saya sudah memiliki pilihan sendiri, yaitu Dini. Ibu dari bayi ini. Akan tetapi, sekarang saya sadar setelah apa yang Dini lakukan terhadap saya dan anak kami. Dia sudah mengusir kami dari rumahnya,” terang Bimo.“Oh, jadi Mas datang ke sini karena sudah dibuang oleh wanita itu? Datang hanya untuk meminta ASI untuk bayi hasil pengkhianatan kalian dan mengambil putri kesayanganku, Melani? Benar-benar sudah tidak waras kamu, Mas!” tangis Tsani pecah.Melani yang mendengar ibunya menangis langsung berlari ke luar. Melihat apa yang sedang terjadi. Dengan polosnya, anak itu menghampiri Tsani yang duduk bersebelahan dengan Bu Farida.“Mah, no no angis, Mah," bujuk Melani.Tangan mungilnya mengusap kedua pipi Tsani yang basah. Tangan Tsani sontak memeluk Melani sebelum ada tangan lain yang mengambilnya.“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”Semua orang menoleh ke sumber suara.“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”Suara lelaki yang terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dan teras. Hanya terdengar suaranya, tetapi sosoknya belum juga nampak. Semua mata tertuju ke arah sumber suara, seakan menantikan kemunculan lelaki tersebut.“Saya tidak merelakan cucu kesayangan saya diambil oleh anak saya sendiri,” ucap ulang lelaki itu.Kini sosoknya sudah terlihat. Lelaki paruh baya yang menggandeng wanitanya masuk ke rumah Tsani.“Papah, Mamah,” ucap Bimo dan Tsani bersamaan.Melihat kedatangan kedua orang tua Bimo, Pak RT, Bu Rosi dan Bu Farida serta Mita berpamitan pulang.“Sepertinya sudah saatnya saya permisi, Pak, Bu,” pamit Pak RT.“Silakan, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah direpotkan atas masalah anak-anak kami,” sahut ayah Bimo.Sampai detik ini suasana rumah Tsani masih begitu tegang, bahkan le
Di malam hari setelah insiden yang sangat menguras emosi dan air mata itu berlalu, Tsani terlihat sangat murung. Tidak seperti malam-malam biasanya. Sebelumnya ibu satu anak ini tidak pernah absen membacakan buku dongeng untuk Melani sebagai penghantar tidur anak kesayangannya. Malam ini ia begitu kalut. Ia berada di satu persimpangan jalan mana yang harus ia pilih. Rujuk kembali atau mundur dari kehidupan Bimo.Luka trauma yang telah Bimo berikan masih begitu menancap dalam batinnya. Laki-laki yang ia harap bisa berubah setelah kehadiran putri pertama mereka, justru makin tidak bertanggung jawab. Tsani seakan kehilangan penopang dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya. Tsani harus bekerja keras untuk menyambung hidup bersama adiknya, Dendi. Sebelum akhirnya Tsani diminta untuk menikah dengan Bimo.Semenjak kericuhan di rumah Tsani, Bimo dan bayinya tinggal di rumah Papah Rusli. Terhitung sudah lima hari berlalu, hitungan yang sama pula kun
"Ternyata kau sudah bisa mengambil hati anakku, Mas!"Wanita berbadan ramping dengan tinggi semampai itu melempar tatapan dingin kepada Bimo yang kini tengah memeluk Melani."Bukankah Melani ini anakku juga, Tsan? Darah dagingku. Sudah sepatutnya seorang anak dekat dengan ayahnya. Terlebih dia anak perempuan, ayah kandungnyalah yang menjadi cinta pertamanya.""Jangan terlalu bangga hanya dengan meninggikan status seorang ayah kandung, Mas. Pasti Melani akan bisa memilih dengan siapa dia akan hidup jika nantinya keputusanku tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan.""Aku pastikan Melani tidak akan memikirkan hal tersulit dalam hidupnya. Kita akan bersama lagi. Aku yakin itu."Keyakinan Bimo begitu kuat. Dengan membuat Melani menjadi nyaman senyaman-nyamannya bersamanya, itu akan mempersulit Tsani untuk penolakan rujuk. Bimo begitu paham dengan Tsani, apapun akan dia lakukan untuk membuat orang yang ia sayangi merasa bahagia. Contohnya Tsani yang masih mau mengurus mertuanya yang s
Pyar!!!Suara pecahan terdengar dari ruang tamu, tempat Melani bermain boneka."Yayah ... akit ...."Tangisan Melani mengadu kesakitan membuat semua orang panik dan berhamburan ke luar dari kamar Bimo."Astaghfirullah, Melani ... kening kamu berdarah, Nak?" Kakek Melani panik."Tolong ambilkan kotak P3k, Mah. Cepat.""Iya, Pah."Mamah Astrid berlari mengambil kotak P3K di ruang tengah."Pah, ini apa?"Bimo menemukan sesuatu yang tergeletak tidak jauh dari posisi duduk Melani. Ternyata batu yang terbungkus kertas dengan tulisan yang berbau ancaman. "JAUHI TSANI!!! JIKA TIDAK INGIN MENERIMA TEROR YANG LEBIH MENGERIKAN LAGI!!!"Batu dengan ukuran cukup besar yang telah mendarat tepat di kening Melani hingga anak kecil itu berdarah dan menangis sejadi-jadinya."Isi tulisannya apa, Bim?" tanya Papah Rusli.“Seperti ancaman, Pah.”Bimo menyerahkan kertas kusut itu kepada papahnya."Siapa yang sudah berani meneror keluarga kita, Bim?""Bimo juga tidak tahu, Pah. Bentar Bimo cek dulu ke luar.
Sengaja Bimo pulang melewati jalan depan rumah Tsani. Jalan alternatif menuju perkotaan. Sekalian ingin memanggil tukang pasang CCTV yang kebetulan tetangga rumah Tsani.Mobil sudah terparkir di depan rumah jasa pasang dan service CCTV."Pak, lagi sibuk nih?"Bimo menyapa seorang laki-laki berumur 45 tahun yang sedang berkutat dengan laptopnya."Eh, Mas Bimo. Apa kabar? Sudah lama banget tidak bertemu. Sini-sini duduk."Warga di kampungnya memang banyak yang mengenal Bimo. Secara Bimo adalah anak orang terpandang dan dulu sewaktu masih bujangan Bimo juga sering bergaul dengan muda-mudi di kampung. Dari segi itu sudah bisa membuat Bimo terkenal, terlebih lagi dengan kasus rumah tangganya dengan Tsani satu tahun yang lalu. Kasus yang tidak bisa disembunyikan karena Tsani juga termauk gadis yang banyak dikenal warga sebab keramahannya."Kabar saya baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana?""Alhamdulillah ... baik juga, Mas.""Alhamdulillah. Oh, ya, Pak. Nanti sore bisa ke rumah tidak? Saya mau
"Lancang kamu bicara seperti itu, Tsan!"Tangan Bimo seketika melayang di udara hampir mendarat ke pipi Tsani. Tinggal sejengkal lagi tato merah cap lima jari menempel di sana. Beruntung sekali, ada tangan malaikat tak bersayap datang di waktu yang tepat."Jangan pernah kasar kepada wanita, Bung!"Dengan cepat tangan kekar Bimo dicengkram erat lalu diputar ke belakang tubuhnya. Sampai ia meringis kesakitan. Bimo juga belum sempat melihat wajah sosok lelaki yang datang itu."Siapa Anda!" tanya Bimo kepada yang datang.Tsani yang merasa ketakutan, masih menutupi sebagian wajahnya. Selang beberapa detik Tsani angkat bicara."Pakdhe Tresno.""Kau sudah diapakan lagi sama orang ini Tsani?""A-aku baik-baik saja, Pakdhe. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu," jawab Tsani sedikit lega.Lelaki brewok itu melepaskan genggamannya terhadap Bimo. Bimo masih merasa kesakitan. Cengkeraman erat Pakdhe Tresno sampai membekas merah melingkar di tangan kanan Bimo.Pakdhe Tresno adalah kakak dari ayah Ts
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?" tanya Mamah Astrid dengan penuh keheranan."Tanyakan saja sendiri kepada suamimu itu! Kami permisi." "Tunggu, Tsan. Ini ada obat antibiotik untuk Melani dan kebutuhan dapur untuk kamu."Bimo menyerahkan semua yang sudah ia beli untuk Melani dan Tsani. Akan tetapi, ditolak oleh Pakdhe Tresno."Ambillah! Kami bisa membelinya sendiri. Jangan kalian pikir dengan membelikan itu semua bisa meredamkan rasa kecewa kami ini. Kalian sudah tidak bisa lagi dipercaya mengurus Melani. Kami permisi!"Pakdhe Tresno menggandeng Tsani ke luar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir di sana. Namun, sesampainya di dalam mobil. Pakdhe kembali ke luar lalu masuk ke dalam rumah Bimo."Tsani, kamu tunggu di sini saja. Ada yang perlu Pakdhe sampaikan kepada mereka," perintah Pakdhe."Baik, Pakdhe."Pakdhe baru saja sampai di ambang pintu, tetapi kegaduhan sudah terdengar. Pakdhe memilih untuk berhenti dan mendengarkan ocehan demi ocehan ketiga orang di dalam s
Lelaki brewok itu sudah masuk ke mobilnya."Ayo kita pulang, Tsan. Kelamaan di rumah mertuamu ini bikin Pakdhe kebakaran bewok.""Jenggot, Pakdhe," protes Tsani sambil tertawa kecil."Aih ... sama saja, sama-sama rambut.""Iya deh, sama. Oh ya. Kok, tadi di dalam lama banget Pakdhe, sampai Melani tidur pulas sekali."Tsani menatap ke arah pakdhenya yang sedang fokus ke kaca spion mengeluarkan mobil dari parkiran."Duh, maaf ya Tsan. Tadi sebenarnya juga belum kelar, tapi takut situasi dan kondisi Mamah Mertuamu makin memburuk. Nanti malah Pakdhe yang ketempuhan.""Memangnya apa yang tadi dibahas, Pakdhe?""Iya, Pakdhe cuma bilang kalau Pakdhemu ini tidak setuju jika kamu masih harus memberi ASI untuk anak hasil pengkhianatan mantan suamimu itu. Mereka pikir keponakan Pakdhe yang sholihah ini perempuan apaan. Lagian kamu sih, mau pula diperbudak sama mereka. Jangan terlalu pakai hati, Tsani. Cerdaslah sedikit.""Bukannya begitu, Pakdhe. Tsani hanya kasihan sama bayi itu. Mungkin, kalau