Selepas kepergian kedua orang tuanya, Tsani dipaksa menikah dengan anak rentenir yang meminjamkan hutang kepada orang tuanya. Tsani yang tidak bisa melunasi sisa hutang orang tuanya itu akhirnya menyetujui syarat pelunasan tersebut. Namun, sayangnya pernikahannya dengan Bimo, anak sang rentenir itu tidak bertahan lama. Lika-liku rumah tangga pun kian mendera, saat Bimo mengkhianati pernikahannya. Bimo lebih memilih Dini, cinta di masa lalunya dan meninggalkan Tsani serta anaknya yang masih berusia satu tahun.
💙💙💙“Akhirnya, kamu membukakan pintu untuk kami juga, Tsan.” Bimo terharu dan bersyukur sekali Tsani mau menerima kedatangannya.“Apa tujuan Anda berani menginjakkan kaki di rumahku!” Dengan ketusnya Tsani bertanya.“Tsan, aku meminta maaf tulus kepadamu.”Masih di ambang pintu, Bimo melakukan tindakan yang tak diduga oleh Tsani sehingga Tsani mundur dua langkah.“Jika harus dengan bersujud di hadapanmu bisa membuat kamu memaafkan dosa-dosaku, akan aku lakukan selama apapun yang kau mau.”Air mata Tsani berlinang deras, mengguyur permukaan pipi dan membasahi hijab instannya.Mendengar tangisan bayi Bimo meruntuhkan separuh pertahanan Tsani. Akan tetapi, rasa benci kepada Bimo lebih menyala-nyala di hati Tsani saat ini. Bukan karena egois, Tsani ingin Bimo merasakan apa yang dulu ia rasakan saat meminta Bimo untuk tetap bersamanya, bahkan Tsani rela untuk dimadu.Dendam masa lalu masih berkobar. Terlebih melihat wajah sang bayi yang begitu mirip dengan Dini, wanita yang merebut istananya.“Tidak perlu ada kelanjutan antara kau dan aku, Mas. Semua sudah selesai! Semenjak kau beranjak pergi satu langkah dari rumah kita bersama ibu dari bayi ini.”“Kau boleh tidak memaafkanku, kau boleh memakiku. Aku terima itu. Tapi aku mohon, Tsan. Bantu aku rawat anak ini. Beri sedikit ASI-mu untuk dia. Dini sudah membuang kami, to---long--- , Tsan ...,” tangis Bimo kini lebih keras dari tangisan bayinya, sedangkan Tsani belum juga luluh dengan apa yang Bimo lakukan.Akibatnya, beberapa tetangga mulai penasaran dengan insiden di rumah Tsani.“Dulu aku yang memohon kepadamu, tetapi tak kau hiraukan. Dan sekarang kau datang dengan membawa bayi gundikmu itu dan meminta ASI dariku? Apa kau sudah gila, Mas?!”Jemari tangan Tsani mulai mengepal. Matanya terbelalak. Seluruh tubuhnya memanas, jantungnya tak bekerja lagi dengan normal. Berdegup sangat kencang bagai genderang tanda peperangan.“Rawat sendiri bayi itu, dia bukan tanggung jawabku. Aku tidak sudi menerima dia dalam hidupku. Apalagi harus merawatnya seperti anakku sendiri. Hidupku sudah lebih baik tanpa kamu, Mas!Saat Tsani berniat menutup pintu, kedua kakinya dipeluk oleh Melani.“Lani, kenapa kamu keluar, Nak?”“Mah, acihan dede ayinya, Mah.” Melani menangis, Tsani menyeka air mata putrinya yang masih sangat polos itu.Tsani menyetarakan dengan tinggi badan anaknya sehingga ia pun mampu melihat dengan jelas mata basah lelaki di masa lalunya. Lelaki yang dulu sangat beringas, kasar, dan dingin kepadanya kini justru berbalik mengemis seperti halnya Tsani dahulu.“Assalamu'alaikum, Mbak Tsani. Maaf kalau saya ikut campur.” Pak Noto selaku RT setempat bersama tiga ibu ibu berduyun-duyun menyambangi rumah Tsani.“Wa'alaikumussalam, Pak RT.” Tsani langsung bangkit, tetapi tidak dengan Bimo.“Bangun, Mas. Mari kita duduk dulu untuk menyelesaikan perkara ini.” Pak Noto membantu Bimo yang sudah terlalu lemas karena adegan panjang yang menguras energi.Bimo masih menunduk, belum ingin menampakkan wajahnya di hadapan mereka yang datang.“Silakan masuk, Pak, Bu,” titah Tsani singkat.“Terima kasih, Mbak.”Kini hanya ada Tsani, Pak Noto, Bimo dan Bu Rosi yang duduk di ruang tamu. Dua Ibu lainnya di luar menjaga bayi Bimo, Melani dan Mita.“Maaf sebelumnya, Mbak Tsani. Jika kami lancang datang ke sini. Tadi saya mendapat laporan dari salah satu warga yang kebetulan lewat di depan rumah Mbak Tsani. Katanya ada keributan di rumah Mbak Tsani. Saya selaku RT di sini berhak tahu, agar tidak timbul perkara-perkara lain yang tidak diinginkan. Sekarang, tolong ceritakan kronologi yang sebenarnya.”“Maaf, Pak. Semua kesalahan di sini bermula dari saya.”Bimo memberanikan diri menampakkan wajah yang sejak tadi menunduk.“Astaghfirullah, Mas Bimo. Ini benar Mas Bimo?” tebak Bu Rosi.Mereka terperangah dengan penampilan Bimo yang jauh berbeda saat masih menjadi suami Tsani.“Mas Bimo anak Pak Rusli, Bu?” tanya Pak Noto kepada Bu Rosi.“Iya, Pak. Mantan suaminya Mbak Tsani.”“Ya Allah ... Mas Bimo....”“Iya benar, Pak, Bu. Saya Bimo anak Pak Rusli, tetapi masih menyandang status sebagai suami Tsani karena saya tidak pernah menjatuhkan talak kepada Tsani.”“Tutup mulutmu, Mas! Aku tidak sudi menganggapmu sebagai suamiku lagi! Setelah apa yang telah kau perbuat!” Tsani spontan bangkit dari duduknya. Amarah Tsani membuncah hebat mendengar pernyataan yang Bimo lontarkan.“Sabar, Mbak Tsani, sabar.” Bu Rosi yang duduk di sebelah Tsani berusaha menenangkannya.Seorang Ibu yang menggendong bayi masuk ke dalam dengan langkah seribu.“Permisi, maaf Pak, Bu. Sepertiny bayi Bapak ini sudah sangat kehausan, perutnya kosong. Saya takut dia dehidrasi.”“Bayi saya memang belum minum ASI sejak 3 hari, Bu. Semenjak saya diusir dari rumah istri kedua saya. Hanya saya kasih minum air mineral saja,” urai Bimo.“Mbak Tsani, mohon tolong bayi Mas Bimo sekiranya ASI Mbak Tsani masih keluar,” bujuk Bu Rosi dengan penuh hati-hati.ASI Tsani memang masih keluar karena Melani pun masih minum ASI. Namun ada ketidaksudian Tsani menyusui bayi hasil pengkhianatan Bimo dan wanita itu.“Tolong, Tsan. Bayi itu tidak tahu masalah kita, tolong dia kumohon,” bujuk Bimo. Menjatuhkan diri di lantai, tangannya meraih tangan Tsani. Wajahnya sejajar dengan lutut Tsani.“Mbak Tsani, tolong kesampingkan ego Mbak Tsani dulu, ada nyawa bayi tidak berdosa yang jadi taruhannya,” titah Pak Noto dengan sangat hati-hati.Tangan Bu Rosi pun tidak henti-hentinya mengusap punggung Tsani yang sedari tadi butiran air matanya mengalir deras bagai bendungan meluap. Kini hatinya luluh meskipun hanya separuh.Tsani bangkit dari kursi. Dengan langkah gontai ia mengambil alih bayi itu dari tangan Bu Farida.“MasyaAllah, bayinya langsung berhenti menangis.” Bu Farida dan seisi ruangan terkejut dengan reaksi bayi yang sekarang sudah di tangan Tsani.“Alhamdulillah,” ucap syukur semua orang, kecuali Tsani yang hanya terdiam tanpa ekspresi.Tanpa bicara sepatah kata pun, Tsani meninggalkan ruang tamu. Langkahnya semakin lemah. Batinnya sangat tidak karuan.“Biar saya temani, Mbak.” Bu Rosi memapah Tsani dengan telaten. Sepertinya Beliau paham betul apa yang tengah Tsani rasakan.Tsani duduk bersandar di headboard ranjang, sedangkan Bu Rosi duduk di kursi plastik. Tatapan Tsani sangat kosong, hanya air mata yang tak henti menetes.“Mbak Tsani yang ikhlas ya, Mbak. Semua yang terjadi sudah ada dalam ketetapan-Nya ---.”Tsani hanya terdiam mendengarkan nasihat Bu Rosi yang panjang lebar. Orang lain bisa saja memandang remeh ujian hidup yang Tsani alami karena mereka tidak pernah mengalaminya sendiri.Kini di pangkuannya sudah ada bayi dengan wajah Dini. Membuat Tsani tidak sedikit pun menatap bayi itu.Di saat Tsani tengah menyusui sang bayi, Melani masuk ke kamar. Membubarkan lamunan kosong Tsani.“Mah ... Meyani ingin peyuk Yayah, Oleh?”Tsani terkejut dengan celoteh putri kesayangannya itu. Iya, Melani ingin memeluk ayahnya.“Apakah Melani sudah tahu bahwa Mas Bimo adalah ayah kandungnya?” Tsani bermonolog dalam hati, “lantas siapa yang telah lancang memberi tahu kepadanya?”Tsani dan Bu Rosi saling menatap. Ibu Rosi pun menggelengkan kepala. Mereka berdua sama-sama terherannya terhadap Melani yang berbicara seperti itu.“Melani, Sayang. Ayah Melani kan sudah pergi. Ayah Melani sudah bobok panjang, tidak mungkin bisa dipeluk sama Melani."Rayuan Tsani kali ini benar-benar kelewatan. Hatinya sudah termakan kebencian terhadap Bimo.“Yayah ada, Mah, Yayah ada ...” rengek Melani sambil menunjuk ruang tamu yang hanya berbatas satu tembok dengan kamar Tsani.“Sudah Melani, diam!” bentakan Tsani membuat Melani terkekeh dan menangis.“Mamah no no ayang Meyani ...,” tangis gadis bermata belo itu makin menjadi. Kini dia dipeluk oleh Bu Rosi.“Mbak, sudah. Jangan marah-marah, kasihan Melani,” ujar Bu Rosi sembari memeluk Melani.“Aku sudah tidak sudi, Bu jika lelaki itu menyusup lagi di kehidupan kami. Kami sudah sangat bahagia hanya hidup berdua saja, tetapi mengapa dia h
“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”Suara lelaki yang terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dan teras. Hanya terdengar suaranya, tetapi sosoknya belum juga nampak. Semua mata tertuju ke arah sumber suara, seakan menantikan kemunculan lelaki tersebut.“Saya tidak merelakan cucu kesayangan saya diambil oleh anak saya sendiri,” ucap ulang lelaki itu.Kini sosoknya sudah terlihat. Lelaki paruh baya yang menggandeng wanitanya masuk ke rumah Tsani.“Papah, Mamah,” ucap Bimo dan Tsani bersamaan.Melihat kedatangan kedua orang tua Bimo, Pak RT, Bu Rosi dan Bu Farida serta Mita berpamitan pulang.“Sepertinya sudah saatnya saya permisi, Pak, Bu,” pamit Pak RT.“Silakan, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah direpotkan atas masalah anak-anak kami,” sahut ayah Bimo.Sampai detik ini suasana rumah Tsani masih begitu tegang, bahkan le
Di malam hari setelah insiden yang sangat menguras emosi dan air mata itu berlalu, Tsani terlihat sangat murung. Tidak seperti malam-malam biasanya. Sebelumnya ibu satu anak ini tidak pernah absen membacakan buku dongeng untuk Melani sebagai penghantar tidur anak kesayangannya. Malam ini ia begitu kalut. Ia berada di satu persimpangan jalan mana yang harus ia pilih. Rujuk kembali atau mundur dari kehidupan Bimo.Luka trauma yang telah Bimo berikan masih begitu menancap dalam batinnya. Laki-laki yang ia harap bisa berubah setelah kehadiran putri pertama mereka, justru makin tidak bertanggung jawab. Tsani seakan kehilangan penopang dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya. Tsani harus bekerja keras untuk menyambung hidup bersama adiknya, Dendi. Sebelum akhirnya Tsani diminta untuk menikah dengan Bimo.Semenjak kericuhan di rumah Tsani, Bimo dan bayinya tinggal di rumah Papah Rusli. Terhitung sudah lima hari berlalu, hitungan yang sama pula kun
"Ternyata kau sudah bisa mengambil hati anakku, Mas!"Wanita berbadan ramping dengan tinggi semampai itu melempar tatapan dingin kepada Bimo yang kini tengah memeluk Melani."Bukankah Melani ini anakku juga, Tsan? Darah dagingku. Sudah sepatutnya seorang anak dekat dengan ayahnya. Terlebih dia anak perempuan, ayah kandungnyalah yang menjadi cinta pertamanya.""Jangan terlalu bangga hanya dengan meninggikan status seorang ayah kandung, Mas. Pasti Melani akan bisa memilih dengan siapa dia akan hidup jika nantinya keputusanku tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan.""Aku pastikan Melani tidak akan memikirkan hal tersulit dalam hidupnya. Kita akan bersama lagi. Aku yakin itu."Keyakinan Bimo begitu kuat. Dengan membuat Melani menjadi nyaman senyaman-nyamannya bersamanya, itu akan mempersulit Tsani untuk penolakan rujuk. Bimo begitu paham dengan Tsani, apapun akan dia lakukan untuk membuat orang yang ia sayangi merasa bahagia. Contohnya Tsani yang masih mau mengurus mertuanya yang s
Pyar!!!Suara pecahan terdengar dari ruang tamu, tempat Melani bermain boneka."Yayah ... akit ...."Tangisan Melani mengadu kesakitan membuat semua orang panik dan berhamburan ke luar dari kamar Bimo."Astaghfirullah, Melani ... kening kamu berdarah, Nak?" Kakek Melani panik."Tolong ambilkan kotak P3k, Mah. Cepat.""Iya, Pah."Mamah Astrid berlari mengambil kotak P3K di ruang tengah."Pah, ini apa?"Bimo menemukan sesuatu yang tergeletak tidak jauh dari posisi duduk Melani. Ternyata batu yang terbungkus kertas dengan tulisan yang berbau ancaman. "JAUHI TSANI!!! JIKA TIDAK INGIN MENERIMA TEROR YANG LEBIH MENGERIKAN LAGI!!!"Batu dengan ukuran cukup besar yang telah mendarat tepat di kening Melani hingga anak kecil itu berdarah dan menangis sejadi-jadinya."Isi tulisannya apa, Bim?" tanya Papah Rusli.“Seperti ancaman, Pah.”Bimo menyerahkan kertas kusut itu kepada papahnya."Siapa yang sudah berani meneror keluarga kita, Bim?""Bimo juga tidak tahu, Pah. Bentar Bimo cek dulu ke luar.
Sengaja Bimo pulang melewati jalan depan rumah Tsani. Jalan alternatif menuju perkotaan. Sekalian ingin memanggil tukang pasang CCTV yang kebetulan tetangga rumah Tsani.Mobil sudah terparkir di depan rumah jasa pasang dan service CCTV."Pak, lagi sibuk nih?"Bimo menyapa seorang laki-laki berumur 45 tahun yang sedang berkutat dengan laptopnya."Eh, Mas Bimo. Apa kabar? Sudah lama banget tidak bertemu. Sini-sini duduk."Warga di kampungnya memang banyak yang mengenal Bimo. Secara Bimo adalah anak orang terpandang dan dulu sewaktu masih bujangan Bimo juga sering bergaul dengan muda-mudi di kampung. Dari segi itu sudah bisa membuat Bimo terkenal, terlebih lagi dengan kasus rumah tangganya dengan Tsani satu tahun yang lalu. Kasus yang tidak bisa disembunyikan karena Tsani juga termauk gadis yang banyak dikenal warga sebab keramahannya."Kabar saya baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana?""Alhamdulillah ... baik juga, Mas.""Alhamdulillah. Oh, ya, Pak. Nanti sore bisa ke rumah tidak? Saya mau
"Lancang kamu bicara seperti itu, Tsan!"Tangan Bimo seketika melayang di udara hampir mendarat ke pipi Tsani. Tinggal sejengkal lagi tato merah cap lima jari menempel di sana. Beruntung sekali, ada tangan malaikat tak bersayap datang di waktu yang tepat."Jangan pernah kasar kepada wanita, Bung!"Dengan cepat tangan kekar Bimo dicengkram erat lalu diputar ke belakang tubuhnya. Sampai ia meringis kesakitan. Bimo juga belum sempat melihat wajah sosok lelaki yang datang itu."Siapa Anda!" tanya Bimo kepada yang datang.Tsani yang merasa ketakutan, masih menutupi sebagian wajahnya. Selang beberapa detik Tsani angkat bicara."Pakdhe Tresno.""Kau sudah diapakan lagi sama orang ini Tsani?""A-aku baik-baik saja, Pakdhe. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu," jawab Tsani sedikit lega.Lelaki brewok itu melepaskan genggamannya terhadap Bimo. Bimo masih merasa kesakitan. Cengkeraman erat Pakdhe Tresno sampai membekas merah melingkar di tangan kanan Bimo.Pakdhe Tresno adalah kakak dari ayah Ts
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?" tanya Mamah Astrid dengan penuh keheranan."Tanyakan saja sendiri kepada suamimu itu! Kami permisi." "Tunggu, Tsan. Ini ada obat antibiotik untuk Melani dan kebutuhan dapur untuk kamu."Bimo menyerahkan semua yang sudah ia beli untuk Melani dan Tsani. Akan tetapi, ditolak oleh Pakdhe Tresno."Ambillah! Kami bisa membelinya sendiri. Jangan kalian pikir dengan membelikan itu semua bisa meredamkan rasa kecewa kami ini. Kalian sudah tidak bisa lagi dipercaya mengurus Melani. Kami permisi!"Pakdhe Tresno menggandeng Tsani ke luar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir di sana. Namun, sesampainya di dalam mobil. Pakdhe kembali ke luar lalu masuk ke dalam rumah Bimo."Tsani, kamu tunggu di sini saja. Ada yang perlu Pakdhe sampaikan kepada mereka," perintah Pakdhe."Baik, Pakdhe."Pakdhe baru saja sampai di ambang pintu, tetapi kegaduhan sudah terdengar. Pakdhe memilih untuk berhenti dan mendengarkan ocehan demi ocehan ketiga orang di dalam s