Share

2. Meng-ASI-hi.

Selepas kepergian kedua orang tuanya, Tsani dipaksa menikah dengan anak rentenir yang meminjamkan hutang kepada orang tuanya. Tsani yang tidak bisa melunasi sisa hutang orang tuanya itu akhirnya menyetujui syarat pelunasan tersebut. Namun, sayangnya pernikahannya dengan Bimo, anak sang rentenir itu tidak bertahan lama. Lika-liku rumah tangga pun kian mendera, saat Bimo mengkhianati pernikahannya. Bimo lebih memilih Dini, cinta di masa lalunya dan meninggalkan Tsani serta anaknya yang masih berusia satu tahun.

💙💙💙

“Akhirnya, kamu membukakan pintu untuk kami juga, Tsan.” Bimo terharu dan bersyukur sekali Tsani mau menerima kedatangannya.

“Apa tujuan Anda berani menginjakkan kaki di rumahku!” Dengan ketusnya Tsani bertanya.

“Tsan, aku meminta maaf tulus kepadamu.”

Masih di ambang pintu, Bimo melakukan tindakan yang tak diduga oleh Tsani sehingga Tsani mundur dua langkah.

“Jika harus dengan bersujud di hadapanmu bisa membuat kamu memaafkan dosa-dosaku, akan aku lakukan selama apapun yang kau mau.”

Air mata Tsani berlinang deras, mengguyur permukaan pipi dan membasahi hijab instannya.

Mendengar tangisan bayi Bimo meruntuhkan separuh pertahanan Tsani. Akan tetapi, rasa benci kepada Bimo lebih menyala-nyala di hati Tsani saat ini. Bukan karena egois, Tsani ingin Bimo merasakan apa yang dulu ia rasakan saat meminta Bimo untuk tetap bersamanya, bahkan Tsani rela untuk dimadu.

Dendam masa lalu masih berkobar. Terlebih melihat wajah sang bayi yang begitu mirip dengan Dini, wanita yang merebut istananya.

“Tidak perlu ada kelanjutan antara kau dan aku, Mas. Semua sudah selesai! Semenjak kau beranjak pergi satu langkah dari rumah kita bersama ibu dari bayi ini.”

“Kau boleh tidak memaafkanku, kau boleh memakiku. Aku terima itu. Tapi aku mohon, Tsan. Bantu aku rawat anak ini. Beri sedikit ASI-mu untuk dia. Dini sudah membuang kami, to---long--- , Tsan ...,” tangis Bimo kini lebih keras dari tangisan bayinya, sedangkan Tsani belum juga luluh dengan apa yang Bimo lakukan.

Akibatnya, beberapa tetangga mulai penasaran dengan insiden di rumah Tsani.

“Dulu aku yang memohon kepadamu, tetapi tak kau hiraukan. Dan sekarang kau datang dengan membawa bayi gundikmu itu dan meminta ASI dariku? Apa kau sudah gila, Mas?!”

Jemari tangan Tsani mulai mengepal. Matanya terbelalak. Seluruh tubuhnya memanas, jantungnya tak bekerja lagi dengan normal. Berdegup sangat kencang bagai genderang tanda peperangan.

“Rawat sendiri bayi itu, dia bukan tanggung jawabku. Aku tidak sudi menerima dia dalam hidupku. Apalagi harus merawatnya seperti anakku sendiri. Hidupku sudah lebih baik tanpa kamu, Mas!

Saat Tsani berniat menutup pintu, kedua kakinya dipeluk oleh Melani.

“Lani, kenapa kamu keluar, Nak?”

“Mah, acihan dede ayinya, Mah.” Melani menangis, Tsani menyeka air mata putrinya yang masih sangat polos itu.

Tsani menyetarakan dengan tinggi badan anaknya sehingga ia pun mampu melihat dengan jelas mata basah lelaki di masa lalunya. Lelaki yang dulu sangat beringas, kasar, dan dingin kepadanya kini justru berbalik mengemis seperti halnya Tsani dahulu.

“Assalamu'alaikum, Mbak Tsani. Maaf kalau saya ikut campur.” Pak Noto selaku RT setempat bersama tiga ibu ibu berduyun-duyun menyambangi rumah Tsani.

“Wa'alaikumussalam, Pak RT.” Tsani langsung bangkit, tetapi tidak dengan Bimo.

“Bangun, Mas. Mari kita duduk dulu untuk menyelesaikan perkara ini.” Pak Noto membantu Bimo yang sudah terlalu lemas karena adegan panjang yang menguras energi.

Bimo masih menunduk, belum ingin menampakkan wajahnya di hadapan mereka yang datang.

“Silakan masuk, Pak, Bu,” titah Tsani singkat.

“Terima kasih, Mbak.”

Kini hanya ada Tsani, Pak Noto, Bimo dan Bu Rosi yang duduk di ruang tamu. Dua Ibu lainnya di luar menjaga bayi Bimo, Melani dan Mita.

“Maaf sebelumnya, Mbak Tsani. Jika kami lancang datang ke sini. Tadi saya mendapat laporan dari salah satu warga yang kebetulan lewat di depan rumah Mbak Tsani. Katanya ada keributan di rumah Mbak Tsani. Saya selaku RT di sini berhak tahu, agar tidak timbul perkara-perkara lain yang tidak diinginkan. Sekarang, tolong ceritakan kronologi yang sebenarnya.”

“Maaf, Pak. Semua kesalahan di sini bermula dari saya.”

Bimo memberanikan diri menampakkan wajah yang sejak tadi menunduk.

“Astaghfirullah, Mas Bimo. Ini benar Mas Bimo?” tebak Bu Rosi.

Mereka terperangah dengan penampilan Bimo yang jauh berbeda saat masih menjadi suami Tsani.

“Mas Bimo anak Pak Rusli, Bu?” tanya Pak Noto kepada Bu Rosi.

“Iya, Pak. Mantan suaminya Mbak Tsani.”

“Ya Allah ... Mas Bimo....”

“Iya benar, Pak, Bu. Saya Bimo anak Pak Rusli, tetapi masih menyandang status sebagai suami Tsani karena saya tidak pernah menjatuhkan talak kepada Tsani.”

“Tutup mulutmu, Mas! Aku tidak sudi menganggapmu sebagai suamiku lagi! Setelah apa yang telah kau perbuat!” Tsani spontan bangkit dari duduknya. Amarah Tsani membuncah hebat mendengar pernyataan yang Bimo lontarkan.

“Sabar, Mbak Tsani, sabar.” Bu Rosi yang duduk di sebelah Tsani berusaha menenangkannya.

Seorang Ibu yang menggendong bayi masuk ke dalam dengan langkah seribu.

“Permisi, maaf Pak, Bu. Sepertiny bayi Bapak ini sudah sangat kehausan, perutnya kosong. Saya takut dia dehidrasi.”

“Bayi saya memang belum minum ASI sejak 3 hari, Bu. Semenjak saya diusir dari rumah istri kedua saya. Hanya saya kasih minum air mineral saja,” urai Bimo.

“Mbak Tsani, mohon tolong bayi Mas Bimo sekiranya ASI Mbak Tsani masih keluar,” bujuk Bu Rosi dengan penuh hati-hati.

ASI Tsani memang masih keluar karena Melani pun masih minum ASI. Namun ada ketidaksudian Tsani menyusui bayi hasil pengkhianatan Bimo dan wanita itu.

“Tolong, Tsan. Bayi itu tidak tahu masalah kita, tolong dia kumohon,” bujuk Bimo. Menjatuhkan diri di lantai, tangannya meraih tangan Tsani. Wajahnya sejajar dengan lutut Tsani.

“Mbak Tsani, tolong kesampingkan ego Mbak Tsani dulu, ada nyawa bayi tidak berdosa yang jadi taruhannya,” titah Pak Noto dengan sangat hati-hati.

Tangan Bu Rosi pun tidak henti-hentinya mengusap punggung Tsani yang sedari tadi butiran air matanya mengalir deras bagai bendungan meluap. Kini hatinya luluh meskipun hanya separuh.

Tsani bangkit dari kursi. Dengan langkah gontai ia mengambil alih bayi itu dari tangan Bu Farida.

“MasyaAllah, bayinya langsung berhenti menangis.” Bu Farida dan seisi ruangan terkejut dengan reaksi bayi yang sekarang sudah di tangan Tsani.

“Alhamdulillah,” ucap syukur semua orang, kecuali Tsani yang hanya terdiam tanpa ekspresi.

Tanpa bicara sepatah kata pun, Tsani meninggalkan ruang tamu. Langkahnya semakin lemah. Batinnya sangat tidak karuan.

“Biar saya temani, Mbak.” Bu Rosi memapah Tsani dengan telaten. Sepertinya Beliau paham betul apa yang tengah Tsani rasakan.

Tsani duduk bersandar di headboard ranjang, sedangkan Bu Rosi duduk di kursi plastik. Tatapan Tsani sangat kosong, hanya air mata yang tak henti menetes.

“Mbak Tsani yang ikhlas ya, Mbak. Semua yang terjadi sudah ada dalam ketetapan-Nya ---.”

Tsani hanya terdiam mendengarkan nasihat Bu Rosi yang panjang lebar. Orang lain bisa saja memandang remeh ujian hidup yang Tsani alami karena mereka tidak pernah mengalaminya sendiri.

Kini di pangkuannya sudah ada bayi dengan wajah Dini. Membuat Tsani tidak sedikit pun menatap bayi itu.

Di saat Tsani tengah menyusui sang bayi, Melani masuk ke kamar. Membubarkan lamunan kosong Tsani.

“Mah ... Meyani ingin peyuk Yayah, Oleh?”

Tsani terkejut dengan celoteh putri kesayangannya itu. Iya, Melani ingin memeluk ayahnya.

“Apakah Melani sudah tahu bahwa Mas Bimo adalah ayah kandungnya?” Tsani bermonolog dalam hati, “lantas siapa yang telah lancang memberi tahu kepadanya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status