Share

Ibuku si ratu hutang
Ibuku si ratu hutang
Penulis: Ade Tiwi

Wanita si ratu hutang

Garin menghela nafas kasar, ia lelah dengan rumitnya hidup yang ia jalani. Garin masih tak habis pikir dengan sang ibunya yang begitu suka sekali hutang disana-sini.

Hal itu membuat Garin jadi bertanya-tanya, kemana uang yang ia kasih setiap bulannya? Jumlah uang yang Garin kasih setiap bulannya tidaklah sedikit, setidaknya uang itu bisa untuk makan mereka selama sebulan. Tapi ini belum ada dua minggu, ibunya bilang uangnya sudah habis.

Setiap Garin bertanya tentang uang bulanan yang ia berikan maka wanita paruh baya itu langsung marah meledak-ledak. Seperti sekarang ini, sedari tadi tak berhenti mengomel dan terus menyalahkan Garin yang tidak pernah tau berapa kebutuhan hidup sehari-hari.

Mengatai Garin terlalu kolot dan pelit sampai tidak tahu kalau semua kebutuhan pangan pada naik. Dan belum lagi kebutuhan lainnya yang harus mereka beli. Belum lagi cicilan hutang yang harus mereka bayar setiap bulannya.

Ibu Garin bilang, uang yang Garin berikan setiap bulannya tidak pernah cukup untuk kebutuhan mereka selama sebulan.

"Setidaknya mulai bulan besok kamu tambah lagi uangnya. Jangan cuma segitu-gitu aja dari dulu, gak pernah naik. Percuma dong kalau kamu kerja udah bertahun-tahun tapi uang gaji gak naik-naik."

Garin naik pitam dengan kedua telapak tangan yang terkepal kuat. Andaikan dia amnesia tak mengingat sama sekali wanita di depannya ini siapa. Maka kemungkinan Garin sudah membalas ucapannya. Sayangnya Garin sadar, wanita di depannya ini adalah wanita yang telah mengandung dan melahirkannya.

Garin diam dan akan tetap diam ketika mendapat protesan juga omelan darinya. Ia tidak ingin menjadi anak yang durhaka jika melawan sedikit saja. Karena itulah Garin selalu diam sembari mendengarkan segala keluh kesah sang ibu sampai selesai.

Setelah puas memberi omelan pada Garin, sang ibu beranjak pergi begitu saja dengan entengnya meninggalkan Garin yang terisak.

Garin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menumpahkan segala isak tangis tanpa suara dengan susah payah.

Kapan semuanya akan berakhir? Kapan ibunya akan berhenti mengganggu dirinya? Kapan ibunya akan berhenti berhutang?

****

Pagi ini saat akan berangkat kerja Garin dikejutkan dengan kedatangan bu Nia, wanita paruh baya pemilik kontrakan tempat yang ia tinggali sekarang bersama sang ibunda tercinta.

"Mana Ibumu?" tanya bu Nia.

Mendengar ibunya dicari, Garin mengambil inisiatif untuk menangani ini sendiri. "Ada apa ya, Bu? Bukannya kami sudah membayar uang sewa rumah dan rutin membayarnya setiap bulan?"

"Eh, siapa bilang?! Kalian sudah dua bulan ini tidak bayar uang sewa rumah."

"Apa?!" pekik Garin terperanjat, "b-bagaimana bisa?"

"Halaahh, sudah cepat kau panggilkan wanita ratu hutang itu." bu Nia mengibaskan tangannya mengusir Garin untuk segera memanggil ibunya yang terkenal dengan julukan itu. 'Si wanita ratu hutang'.

Garin yang masih syok pun mengangguk dan berbalik badan hendak memanggil ibunya kerena Garin pun juga ingin mendengar penjelasan dari ibunya.

"Aku disini," seruan sebuah suara menghentikan langkah Garin.

Rina, ibu Garin melangkah mendekat menuju ke ambang pintu yang terbuka dimana sosok bu Nia masih berdiri disana sambil menatap tajam.

"Kenapa kesini sepagi ini?" geram Rina mendelikkan bola matanya yang besar semakin tampak membesar.

"Bukankah sudah ku bilang untuk datang setelah putriku pergi bekerja?" bisik Rina pelan di telinga Nia agar tak kedengaran Garin yang menatap bingung dan penuh tanda tanya pada mereka berdua.

"Tenanglah, aku pasti akan membayar uang sewa rumah yang menunggak dua bulan dan juga hutang uang yang aku pinjam bulan lalu." sambung Rina kembali berbisik, berusaha menenangkan Nia yang mendorong tubuhnya menjauh.

"Kau hanya terus berjanji, berjanji dan berjanji. Tapi tak ada satupun dari ucapanmu yang selalu kau tepati. Kau selalu ingkar janji." cibir Nia penuh hina.

"Haruskah aku percaya pada janjimu barusan? Apakah kau akan membayar semua hutang-hutangmu padaku?" tuntut Nia meminta jawaban kepastian.

"I-iya, aku janji. Aku pasti akan bayar bulan depan setelah putriku sudah gajian?"

"Benar itu?"

Rina mengangguk, "iya, percayalah padaku."

Nia tampak berpikir sebentar sebelum pada akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi ingat kau harus menepati ucapanmu. Kalau tidak kau harus menerima resiko akibat dari ucapan dan janjimu. Mengerti?!" ancamnya.

Wajah Rina pucat pasih, dengan tubuh gemetar wanita paruh baya itu mengangguk lemah.

"Bagus!" tutup Nia sebelum berbalik badan dan meninggalkan rumah kontrakan Garin dan ibunya.

Setelah kepergian Nia, Rina mengusap wajahnya frustasi seraya bergumam. "Bagaimana ini?" paniknya sembari berjalan mondar-mandir kesana kemari. Semua itu tak luput dari pengamatan mata Garin yang mulai basah oleh airmata.

"Ibu—"

"Diam!" sela ibunya ketus, "jangan bicara satu katapun atau bertanya ini itu. Ibu lagi pusing ini, Garin. Jadi, tolong jangan tambah bikin Ibu makin pusing.

Garin terisak, tak mengerti dengan ibunya yang menurutnya terlalu egois. Bahkan untuk mengatakan semua hal yang tidak ia ketahui pun ibunya enggan untuk menjelaskan.

Dan, apa kata ibunya tadi? Jangan tambah ibunya makin pusing? Apakah itu artinya sosok Garin hanya menyusahkan ibunya saja?

Garin menggelengkan kepalanya, ibunya sudah sangat keterlaluan. Garin muak, dan juga sangat lelah.

Cukup sudah semua ini, Garin tidak ingin terlibat mengenai apapun lagi. Jika ibunya bisa seegois ini, kenapa Garin tidak?

Jadi, biarkan sekali ini saja Garin egois dan tak mau mengacuhkan wanita yang telah melahirkannya ini.

Tanpa bicara dan berpamitan seperti biasa yang ia lakukan, Garin pergi begitu saja dan sedikit membanting pintu hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

BLAAAMMM!

Tbc....

Vote dan komennya 😚

Ramaikan lapak baru, Yess!!! ❤️🙏🤭

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status