Share

bab 3

Bab 3

🍁 Perkara teflon

Aku masih ingat betul, bagaimana dulu saat aku tinggalkan Mas Samsul untuk bekerja ke luar kota. Hampir semua perabotanku di rumah ludes berpindah ke rumah mertua. Bahkan, ada beberapa yang sengaja di jual oleh ibu mertuaku tetapi beliau tidak mau mengaku. Setelah dua tahun lamanya, barulah semua itu terbongkar saat secara tidak sengaja Lek Siti menjual sebuah teflon keramik padaku.

Teflon itu tak lain dan tak bukan adalah milikku, hadiah dari mamahku saat awal pernikahanku dengan Mas Samsul. Karena teflon itu bisa dikatakan limited edition, apalagi di bawah gagang teflon itu tertulis namaku dan juga Mas Samsul.

"Lek, kalau boleh tau. Lek Siti dapat beli di mana teflon ini?" tanyaku sengaja memancingnya saat itu.

Awalnya aku sama sekali tidak ingin suudzon saat hanya melihat sekilas dari dus yang dibawa oleh Lek Siti ke rumahku saat itu. Meskipun mamahku pernah bilang jika itu edition limited, tetapi bukan tidak mungkin kalau Lek Siti juga mampu membelinya bukan. Karena jujur saja, harganya juga lumayan mahal karena produk dari salah satu brand terkenal.

"Ini aku beli dari mamak mertuamu, Bu Sari. Aku sekarang lagi butuh duit, pas aku lihat di bawah gagangnya ada nama kamu dan Samsul. Jadi akau tawarkan lagi sama kamu, siapa tahu kamu mau balik gantiin. Kan sayang itu, mana ini teflon berat banget, Rin." Lek Siti mulai membuka dus dan mengeluarkan isinya dari dalam.

Begitu ia memperlihatkan bagian bawah gagang teflon itu, jantungku benar-benar rasanya mau copot. Barang yang sudah lama aku cari-cari rupanya sudah berpindah tangan secara 'ajaib'. Pasalnya, saat barang itu hilang dari tempatnya, semua orang aku tanyain dan tidak ada satu pun yang mau mengakui. Dan kini Allah malah menunjukannya setelah dua tahun waktu berlalu dan aku sudah mulai mengikhlaskannya.

"Ya sudah, Lek. Mau dijual berapa ini?" tanyaku dengan hati yang sudah tidak karuan, kecewa bercampur emosi.

"Dua ratus ribu saja, Rin. Soalnya dulu mamak mertuamu jualnya juga segitu ke aku, kan ini juga belum pernah aku pakai. Jadi ya, itung-itung cuma jaminan aja lah gitu, ya," ujar Lek Siti tidak mau rugi.

Allahurabbi ... Memang Allah itu memberikan rejeki tak disangka-sangka. Padahal teflon itu harganya dua juta lebih, tapi karena mamak mertuaku tidak tahu jenis barang makanya ia jual dengan sangat murah. Dan untungnya, orang yang beli adalah Lek Siti yang sama-sama tidak tahu barang.

"Ya sudah, Lek. Teflonnya aku bayarin aja, ya. Sebentar aku ambil uangnya dulu," ucapku langsung beranjak ke kamar untuk mengambil uang.

Setelah itu, aku kembali menemui Lek Siti yang masih setia duduk di ruang tamu. Kuberikan dua lembar uang berwarna merah, Lek Siti pun terlihat senang dan buru-buru pamit pergi.

Setelah kepergian Lek Siti, aku pandangi teflon yang masih tergeletak di atas kardus. Ada rasa haru dan juga kesal bercampur jadi satu. Haru karena akhirnya barang pemberian mamahku bisa kembali ke tanganku, kesal karena mengapa mamak mertuaku tidak mau berkata jujur.

Tiba-tiba bayangan kejadian dua tahun lalu pun kembali muncul. Di mana saat itu aku ingin menggunakan teflon itu untuk membuat es pisang ijo pesanan dari sebuah kampus ternama di Kota Jogja untuk acara buka bersama.

Aku yang baru dua bulan menjelang puasa pulang ke rumah pun dibuat pusing tujuh keliling karena benda itu lenyap secara tiba-tiba. Mas Samsul aku tanyai, dia bilang katanya sempat melihat mama membawa teflon itu beserta kardusnya dari dalam rumahku. Kebetulan posisi suamiku itu sedang ada di samping rumah membabat rumput, ia bisa melihat mamak mertua keluar, tetapi beliau tidak dapat melihat Mas Samsul karena posisi suamiku jongkok dan sedikit tertutup pohon.

Saat itu, Mas Samsul tidak berpikir macam-macam, ia mengira kalau mamak mertua hanya akan meminjamnya saja. Namun, setelah itu Mas Samsul tidak menanyakannya lagi karena lupa.

Aku menyuruh suamiku itu untuk mengambil kembali di tempat mamak. Namun tunggu punya tunggu hingga dua jam berlalu Mas Samsul tak kunjung kembali. Akhirnya aku susullah dia ke rumah mertua yang kebetulan berjarak lima ratus meter dari rumah kami.

Ternyata di sana sedang berkumpul semua, suamiku terlihat sibuk mencari ke sana kemari. Namun tidak kunjung ketemu benda yang kami cari. Akhirnya, Mas Samsul pun mencoba membujuk mamak mertua untuk memberi tahukan di mana benda itu ia simpan. Melihat gelagat mamak mertua yang salah tingkah, suamiku itu pun mulai curiga. Karena sedikit banyak ia sudah sangat paham dengan tingkah ibunya sendiri termasuk aku.

Sayangnya, sekuat dan sehalus apa pun suamiku membujuk, mamak mertua masih tidak mau mengaku bahkan sampai berani mengatakan sumpah. Karena usaha Mas Samsul tidak membuahkan hasil, akhirnya aku lah yang ambil alih untuk membujuk mamak mertuaku itu agar mau berkata sejujurnya. Siapa tahu, sesama perempuan bisa bicara dari hati ke hati dan akhirnya luluh kan tidak ada yang tahu, namanya juga berusaha.

Kudekati mamak mertuaku itu, lalu aku pegang dan usap punggung tangannya dengan lembut, seperti tengah membujuk anak berumur lima tahun.

"Mah, Rindu dan Mas Samsul janji nggak akan marah, asal mama mau bicara jujur. Teflon dan beberapa barang lainnya mama kemanakan, kalau toh memang sudah terlanjur mama jual. Mama bisa tolong tunjukin dijual ke siapa, mana tahu masih menjadi rejeki kami. Biar kami bayar ulang, soalnya itu adalah barang-barang pemberian orang tua Rindu. Banyak kenangannya. Tapi, lain kali kalau memang mama sedang butuh uang atau kesulitan uang, mama bisa bilang ke Rindu atau Mas Samsul. Insya Allah kalau kami ada pasti kami kasih," bujukku selembut mungkin.

Aku lihat mamak mertua semakin blingsatan, posisi duduknya semakin terlihat sangat tidak tenang. Kedua bola matanya pun seolah-olah selalu menghindari tatapanku dan Mas Samsul.

"Nggak apa-apa, Mak, jujur saja. Maaf kalau Rindu dan Mas Samsul sudah lancang berbicara seperti ini, tapi asal mama tau. Sebagian dari barang-barang Rindu yang mama jual ke orang-orang, sebagian dari mereka sudah mengadu pada Rindu, Ma."

Seketika itu juga Mamak mertuaku bangun dari duduknya, lalu melengos pergi sambil berkata," sumpah demi Allah, aku nggak tau!"

Bukan maksud aku tidak mempercayai mamak mertuaku, tetapi ternyata semua dugaanku dan Mas Samsul benar adanya.

Yang bikin aku merasa sangat syok adalah, saat mamak mertuaku mengetahui jika teflon yang ia jual pada Lek Siti telah aku bayar kembali. Dengan tidak tahu malunya dia datang ke rumah dan marah-marah. Katanya ngapain aku mau membantu Lek Siti dengan bersedia membayar kembali teflon yang telah ia jual pada Lek Siti.

Ya ampun, ibu mertuaku ini memang sungguh ajaib.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status