"Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber
"Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud
"Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah
"Kamu itu malu-maluin banget! Kasih tamu minuman, cuma pakai daster. Itu tamu penting, Weni. Kalau dia jijik ngeliat kamu, terus batalin kontrak kerja gimana? Kamu mau tanggung jawab, hah?!"Weni hanya menunduk. Dia tidak memberikan reaksi apa pun, membuatku sedikit geram."Benar kata Mama, kamu itu cuma bisa malu-maluin aja."Aku berjalan meninggalkannya sendirian, tidak ada gunanya lagi berbicara dengan wanita itu.Baru saja ingin merebahkan tubuh di tempat tidur, terdengar ada sesuatu yang pecah di dapur. Aku mendengkus, pasti ulah wanita itu lagi."Astaga! Kamu itu memang gak bisa ngapa-ngapain, ya? Piring aja bisa pecah kayak gitu." Aku berkacak pinggang melihatnya.Benar-benar tidak beres pekerjaannya. Aku menggelengkan kepala, melihat Weni yang tidak bersuara sejak tadi.Terdengar suara t
"Ma, aku ke rumah sakit dulu. Si Weni kecelakaan katanya."Mama yang sibuk menonton televisi menoleh. "Halah, paling juga cuma luka biasa. Udah, kamu tunggu di sini aja, gak penting dia."Masalahnya, aku dengar tadi, yang mengangkat telepon bilang ke kamar jenazah. Bagaimana kalau beneran si Weni meninggal? Bisa bahaya."Sebentar aja, Ma. Nanti Aku pulang lagi." Aku memakai jaket berwarna hitam, kemudian mengambil kunci mobil.Setelah berdebat dengan Mama cukup lama, akhirnya aku bisa pergi juga. Aku menghela napas pelan, mengambil kunci mobil.Lima belas menit perjalanan ke rumah sakit. Aku memarkirkan mobil, bergegas bertanya pada perawat yang lewat."Oh, betul, Pak. Korban sudah ada di kamar jenazah. Bisa dikuburkan setelah melunasi biaya rumah sakit."Aku terdiam. Jadi, Weni betulan meninggal? Ya ampun, bagai
"Bukan berarti Weni diam saja selama ini, lalu kamu bisa memanfaatkannya begitu. Kamu harusnya menjadi suami yang baik untuk istrimu."Aku mengusap dahi, masih memikirkan perkataan Bang Wira barusan. Benarkah Weni masih hidup?"Maaf, Bang. Apa Abang tahu sesuatu?""Maksudnya?" Bang Wira terlihat tidak mengerti dengan ucapan ku barusan.Aneh saja, Bang Wira tampak biasa saja. Tidak ada raut kesedihan. Mama dan Papa mertuaku tidak datang malam ini. Benar-benar ganjil."A—apa Weniku masih hidup, Bang?"Ada raut keterkejutan di wajah Bang Wira. Dia mengernyit menatapku. Seperti baru saja mendengar hal aneh. Memang, sih, harusnya aku tidak menanyakan itu pada Bang Wira, tapi sepertinya masih ada harapan."Weni kamu? Baru nyesel, hah?!"Hampir saja aku lompat ke belakang. Suara Bang
"Mbak bisa ceritain Weni kenapa selama ini?" tanyaku pelan."Kamu pikir saja sendiri. Apa yang kamu lakukan kemarin sampai hari ini, pasti kamu akan menyesal."Mbak Linda meninggalkanku sendirian di ruang dapur. Apakah benar yang Mbak Linda katakan? Selama ini Weni menderita?Ah, tidak mungkin. Weni itu di rumah hanya menjaga Vino, juga Rea—anak pertamaku yang sekarang kelas tiga SD.Mama yang sering melakukan pekerjaan rumah. Aku menggelengkan kepala, beranjak dari duduk. Tidak peduli lagi, Weni tidak pantas mendapatkan belas kasihanku.***"Mama kok belum pulang-pulang, Pa? Udah tiga hari, Rea juga tiga hari gak sekolah. Rea gak mau sekolah, kalau Mama belum pulang."Hampir setiap hari Rea merengek. Weni benar-benar menyebalkan, dia yang menanamkan manjanya Rea ini. Membuat susah saja.
"Weni? Ini kamu, kan, Sayang? Ini kamu?"Dia tetap mengibaskan tangan. "Tolong, lepasin aku."Terdengar bunyi dentuman di belakang. Aku menoleh, tidak sengaja melepaskan pegangan dari tangan Weni.Ah, mobilku barusan dilempar seseorang. Aku kembali menoleh. Weni sudah lari, percuma mengerjarnya.Kemana dia sekarang? Aku mengusap wajah, menatap lurus ke depan. Ada apa dengan Weni?***Aku masuk ke dalam rumah. Barusan, aku ke bengkel, memperbaiki mobil. Yang ada di pikiranku sekarang adalah Weni. Kalau itu bukan jenazah Weni lalu siapa? Dan kalau Weni masih hidup, kenapa dia menghindar dariku?Di depan ramai sekali. Aku malas keluar, lebih enak di dalam. Bersama Vino."Kamu tahu perhiasan Weni ditaruh dimana, Ndre?"Mendengar itu, aku langsung menoleh ke arah pintu. Mama barusan bertanya, sambil me