Share

Part 7 - Bisnis Aaron

"Siapa yang sudah merampok barang kita tempo hari?"

Edgar tertunduk kemudian menyerahkan amplop berwarna coklat kepada Aaron.

"Kami sedang mencoba untuk meringkus mereka, Tuan."

Aaron membuka amplop tersebut, ia menatap beberapa lembar foto dan data diri dari orang-orang yang sudah begitu berani mencuri darinya.

"Dapatkan mereka secepatnya, Edgar. Saya nggak mau tikus-tikus itu lepas, saya mau mereka ada di hadapan saya malam ini juga. Kamu mengerti?"

"Mengerti Tuan, kami akan segera mendapatkan mereka. Maaf atas kelalaian para pekerja kita."

"Saya nggak mau kejadian seperti ini terulang lagi, perketat keamanan saat pengiriman barang. Jangan sampai saya dirampok sampai berkali-kali," ucap Aaron kemudian melempar foto-foto itu ke atas meja.

Aaron menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya lalu menyalakannya dengan pemantik api. Pria itu mulai menyesap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan.

"Bagaimana dengan keluarga dari sepuluh orang itu Tuan?"

Aaron tidak langsung menjawabnya, pria itu memejamkan matanya untuk sejenak.

"Ringkus mereka," jawabnya membuat Edgar tersenyum tipis.

"Kalau begitu saya permisi Tuan," Edgar segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangan Aaron.

Aaron mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di atas meja, tiba-tiba saja suara dering ponselnya terdengar membuat pria itu melirik benda pipih tersebut. Melihat bahwa yang menelpon adalah sang ayah membuat Aaron segera meraih ponselnya dari atas meja.

"Hm?"

"Kamu ada di mana, Aaron?"

"Aku ada di kantor, ada apa?" tanya Aaron sembari menghembuskan asap rokoknya hingga mengepul di udara.

"Kenapa kamu masih ke kantor? Bukannya sudah Papa katakan bahwa kamu harus istirahat total, keadaanmu bisa memburuk, Aaron."

"Aku baik-baik saja, aku masih perlu mengurus beberapa hal sebelum waktu enam bulan berakhir. Apa Papa tahu tentang barang kita yang dirampok?"

"Papa nggak tahu tentang perampokan yang kamu maksud, belum ada yang memberitahu Papa tentang hal itu. Kapan kejadiannya?"

"Lusa, para bajingan itu berhasil mencuri lima puluh kilo gram yang seharusnya kita kirim kepada Tuan Hendrik. Selain membuat rugi, mereka juga membuat transaksi kita mengalami keterlambatan," ucap Aaron dengan sorot matanya yang teramat dingin.

"Benar-benar sialan, apa kamu sudah mengurusnya? Mereka sudah kamu bereskan?" suara Ernest langsung terdengar meninggi di seberang sana.

"Akan segera ku bereskan, Edgar sedang mencari mereka bersama dengan orang-orang kita. Apa Papa akan datang nanti malam untuk melihat wajah orang-orang itu?"

"Tentu Papa akan datang. Jika sudah ditemukan, suruh Edgar menyekap para tikus itu di tempat biasa. Tunggu Papa sebelum membereskan mereka."

Aaron tersenyum kecil, "Aku pasti akan menunggu Papa, aku nggak akan memulai pesta sebelum Papa datang."

"Kamu benar-benar akan baik-baik saja, Aaron? Bukankah penyakitmu sangat parah? Harusnya kau tetap berada di rumah."

"Aku rutin meminum obat dan selalu periksa ke dokter. Aku akan baik-baik saja, jangan terlalu berlebihan dalam mengkhawatirkan aku, sudah sangat terlambat," ucap Aaron kemudian langsung memutus sambungan teleponnya mereka secara sepihak.

Aaron berdiri dari duduknya sembari menekan kuat putung rokoknya ke asbak berbahan kaca. Ia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore membuatnya segera mengambil jasnya untuk bergegas pergi meninggalkan kantor.

Suara ponselnya kembali terdengar, Aaron menatap nama yang tertera dan langsung menggeser tombol hijau di layar membuat panggilan mereka terhubung.

"Lima belas menit lagi aku sampai, tunggu aku."

***

Aletta menghela nafas panjang sembari memandangi separuh kakinya yang kini berada di dalam air. Wanita itu telah duduk di tepi kolam selama satu jam lebih, ditemani oleh novel dan beberapa cemilan. Tetapi sekarang Aletta merasa sudah bosan, ia segera mengambil ponselnya, berniat untuk mengirim pesan kepada Aaron.

Namun baru mengetik beberapa kata, ia kembali menghapusnya karena merasa takut jika Aaron tidak akan membalas pesannya yang memang tidaklah penting.

"Sudah jam setengah enam sore, kenapa Aaron belum datang? Padahal harusnya jam segini dia sudah datang," batinnya kebingungan.

Mencoba untuk memberanikan diri, Aletta mulai menelpon Aaron untuk sekedar menanyakan keberadaan pria itu. Aletta menunggu selama beberapa saat, namun panggilan tidak kunjung terhubung membuatnya segera mematikan layar ponselnya.

"Bodoh," gumamnya merutuki dirinya sendiri.

Tiba-tiba saja Aletta merasakan seseorang memegang kedua pundaknya dari belakang membuat ia tersentak kaget dan segera menoleh.

"Kamu di sini rupanya."

"Kamu udah pulang?"

Aaron tersenyum kecil, "Menurutmu? Aku sudah ada di hadapan kamu."

Aletta hanya bisa menunduk merasa malu dengan pertanyaan bodohnya. Jelas-jelas Aaron sudah berada tepat di depan matanya, namun ia malah mengajukan pertanyaan tersebut.

"Jangan menunduk, aku nggak suka. Kamu harus melihat aku jika sedang berbicara, Aletta," Aaron mengangkat dagu wanita itu membuat netra keduanya bertemu.

"Kamu cantik, kenapa terus menunduk?"

Pipi Aletta langsung memanas mendengar pujian pertama yang ia dengar dari mulut Aaron. Ia tidak menyangka bahwa Aaron akan memujinya, pujian sederhana yang membuatnya tersipu.

Aaron terkejut kecil sembari mengusap semburat merah di pipi mulut Aletta.

"Sekarang semakin cantik."

Aletta berdehem singkat, ia mulai merasa sangat gugup hingga rasanya ingin segera menjauh dari pria itu untuk sekedar mengambil nafas panjang karena sekarang ia mulai kesulitan bernafas.

"Apa kamu merasa lapar?" tanya Aletta berusaha untuk tetap bersikap tenang.

"Aku tidak lapar, tapi aku ingin makan," jawab Aaron sembari menarik pinggang Aletta agar lebih mendekat kepadanya.

Aaron sengaja terus memandangi wajah Aletta karena ia merasa senang setiap kali melihat kegugupan dan rasa takut wanita itu.

Aletta mengernyit, "Kamu mau makan apa?"

"Kamu," bisik Aaron tepat di telinga Aletta.

Mata wanita itu sontak melotot, sedangkan Aaron langsung mengangkat tubuh Aletta ala bridal style sehingga Aletta segera mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu. Aletta tersentak kaget karena Aaron mengangkatnya dengan sangat mudah dan tanpa aba-aba. Aletta hampir saja berteriak, untungnya dia bisa menahannya.

"Aaron, tu-turunkan aku."

"Kamu yakin mau diturunkan?" tanya Aaron saat berjalan menyusuri anak tangga membuat Aletta segera menggelengkan kepalanya.

"Kamu......mau apa?" Aletta benar-benar merasa gugup, padahal sudah setengah bulan dia menjadi istri Aaron, namun tetap saja ia tidak terbiasa.

Mungkin karena mereka tidak pernah benar-benar mendekat dan saling mengenal satu sama lain sehingga ada benteng di antara mereka berdua.

"Apa aku perlu menjawabnya Aletta? Kamu bisa malu," ucap Aaron membuat Aletta menggigit pelan bibir bawahnya.

Sudah kebiasaan Aletta melakukan hal itu ketika sedang merasa gugup ataupun terlalu banyak berpikir.

Aaron menggelengkan kepalanya, "Tolong jangan melakukan itu, kita belum sampai kamar. Jangan menggodaku."

Aletta mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian segera memalingkan wajahnya.

"Nggak ada yang menggoda kamu, Aaron."

Pria itu mengecup kepala Aletta, "Benarkah?"

Aaron segera membuka pintu kamarnya dan langsung menutupnya dengan menggunakan kaki. Pria itu berjalan ke arah ranjang, ia meletakkan Aletta dengan hati-hati lalu mulai melepaskan kancing kemejanya membuat Aletta segera beringsut mundur.

"Tunggu-tunggu, apa yang mau kamu lakuin Aaron?"

"Kenapa kamu terus bertanya? Kamu masih belum mengerti?" tanya Aaron yang kini sudah melepaskan kemejanya membuat tubuh atletisnya terlihat.

"Kamu.....mau melakukan itu?"

Aaron menganggukkan kepalanya lalu naik ke atas ranjang dan menindih tubuh Aletta, mengurung tubuh wanita itu dengan kedua tangannya. Jarak wajah mereka begitu dekat, Aaron menatap mata Aletta dalam-dalam, namun yang ditatap malah memalingkan wajahnya.

"Aaron, asal kamu tahu. Saat ini aku sedang datang bulan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status