"Ini kita mau ke mana?" tanya Aletta saat Aaron menuntunnya berjalan dengan mata yang tertutup kain berwarna merah."Ada sedikit kejutan untukmu," jawab Aaron sembari menggenggam erat tangan Aletta.Wanita itu hanya tersenyum kecil, jantungnya terasa berdebar-debar karena merasa penasaran dengan kejutan apa yang akan Aaron lakukan. Dapat Aletta rasakan hembusan angin pantai yang begitu kencang, mereka berdua terus berjalan hingga rasanya kepala Aletta berputar karena dia tidak terbiasa berjalan dengan mata tertutup."Sedikit lagi kita sampai."Aaron memegang kedua pundak Aletta lalu berhenti membuat wanita itu juga melakukan hal yang sama. Aaron memberi isyarat kepada para pemain biola agar segera bersiap memainkan musik yang indah.Aletta terkekeh kecil, "Apa udah bisa dibuka?""Biar aku yang bukain," Aaron melepaskan ikatan kain yang menutupi mata Aletta secara perlahan.Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali, senyuman di wajahnya langsung mengembang saat melihat meja dan kur
"Menikahlah dengan anak saya, maka saya akan memberi kamu uang untuk biaya operasi ibumu."Deg. Jantung Aletta terasa berhenti berdetak untuk sejenak saat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh majikannya. "Menikah? Sa-sama Tuan Aaron?" tanya Aletta dengan terbata.Anggi menganggukkan kepalanya, "Saya tau kamu pasti kaget, saya pun juga kaget, Aletta." Anggi mengetuk-ngetukkan ujung jarinya di atas meja, dapat ia lihat wajah Aletta yang langsung berubah menjadi pucat pasi."Aaron sakit parah, saya dan suami saya baru tau tentang penyakitnya kemarin sore. Umur Aaron..... udah nggak lama lagi, dokter bilang kalau dia cuma punya waktu enam bulan di dunia," ucap Anggi kemudian menjeda kalimatnya karena dadanya terasa begitu sesak.Anggi tidak pernah menyangka bahwa putranya telah menderita sakit parah selama ini dan Aaron menyembunyikan hal itu darinya membuat ia merasa bersalah karena membiarkan Aaron melewati semua rasa sakitnya sendirian."Kamu tau apa permintaan Aaron untuk ke
"Kenapa kamu terima tawaran itu, Aletta?" Gadis itu tertegun mendengar pertanyaan ibunya."Apa maksud ibu? Aku nggak paham," ucap Aletta memang belum memberitahu ibunya tentang perjanjian yang telah ia setujui, dan Aletta tidak berniat untuk memberitahu ibunya tentang hal itu. "Jangan pura-pura Aletta, ibu udah tau semuanya. Kemarin sore Nyonya Anggi datang, dia memang mau membiayai operasi ibu, tapi dengan syarat kamu harus mau menikah sama Tuan Aaron. Dia juga bilang kalau kamu udah tanda tangan surat perjanjian, kenapa kamu nggak ngomong dulu sama ibu, Aletta?""Jadi Nyonya Anggi yang udah kasih tau ibu?" Sarah menganggukkan kepalanya, hatinya terasa perih ketika tahu bahwa putrinya menyetujui pernikahan tanpa rasa cinta hanya karena dirinya. "Kamu nggak harus menikah dengan Tuan Aaron, kamu masih bisa batalin perjanjian itu sebelum terlambat, Aletta. Ibu tau kamu nggak cinta sama dia."Aletta menggelengkan kepalanya kemudian meraih tangan sang ibu untuk ia genggam. "Aku nggak
Aletta menatap pantulan dirinya di cermin, ia terlihat sudah siap dengan gaun pengantin dan riasan tipis di wajahnya. Mata gadis itu terasa memanas, namun sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak keluar karena takut jika merusak riasannya. Dia juga tidak ingin membuat matanya sembab dan membuat orang-orang akan merasa curiga.Aletta mengambil nafasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Kebanyakan orang menganggap bahwa hari pernikahan adalah hari bahagia, namun tidak dengan Aletta. Dia tidak merasakan kebahagiaan karena dia tidak mencintai Aaron dan saat ini ibunya tidak bisa mendampinginya karena masih dalam pemulihan pasca operasi."Kamu kelihatan cantik, Aletta," suara Anggi terdengar membuat gadis itu sontak menoleh.Anggi berdiri di ambang pintu sembari tersenyum lebar menatap calon menantunya. Walaupun Aletta berada di kalangan yang jauh di bawahnya, namun entah mengapa Anggi tidak mempermasalahkannya. Mungkin karena Anggi melihat sifat polos Aletta dan s
Sesampainya di mansion, Aletta tertegun melihat tempat yang akan ia tinggali. Mansion peninggalan nenek Aaron ternyata sangatlah besar dan juga mewah. Mansion itu benar-benar terlihat seperti istana, kurang lebih seperti mansion yang ditempati oleh Anggi dan juga Ernest, sama-sama bergaya khas Eropa membuat Aletta sedikit tahu tentang selera desain keluarga Matteo. "Kita akan tinggal di sini, Aaron?" suara Aletta terdengar memelan saat mengucapkan nama pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya di mata hukum dan juga agama. "Iya, hanya kita berdua. Nggak ada anggota keluarga lain, cuma ada pelayan, pengawal, dan juga supir," Aaron berjalan terlebih dahulu membuat Aletta mengintilnya di belakang. "Kenapa kita harus tinggal terpisah dari Mama dan Papa? Bukannya akan lebih nyaman tinggal satu atap sama orang tua? Apalagi sekarang....... kamu lagi nggak sehat." "Bagi kamu nyaman, tapi enggak bagi saya. Tinggal terpisah dari mereka akan membuat saya merasa lebih tenang. Lagi pula mere
Aletta mengerjapkan matanya beberapa kali saat sinar matahari pagi masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Aletta termenung menatap langit-langit kamar dan teringat tentang apa yang tadi malam terjadi membuatnya segera menggelengkan kepala.Aletta mengusap wajahnya lalu menarik selimut agar tubuhnya yang polos tertutup dengan sempurna. Aaron terlihat keluar dari walk in closet, pria itu tampak sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuhnya. Aaron memasang jam tangannya sembari melirik singkat ke arah Aletta, raut wajahnya begitu datar dan tatapan pria itu teramat dingin membuat Aletta tidak berani membuka suara.Aletta hanya diam memperhatikan Aaron yang kini menyisir rambutnya, ia tidak tahu akan ke mana perginya Aaron. Aletta tidak berniat untuk bertanya walaupun sebenarnya merasa sangat penasaran karena mereka baru saja menikah, namun pria itu sudah ingin pergi keluar. Tapi Aletta cukup mengerti, dia tahu bahwa Aaron adalah orang yang sangat sibuk. "Ibu kamu sudah ada di rum
Aletta segera memutus sambungan telponnya lalu kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas dengan wajah yang tampak menegang.Sarah mengernyit melihatnya, "Siapa yang telpon, Ta?" tanyanya merasa penasaran."Bukan siapa-siapa, orang salah sambung, Bu.""Sini, biar saya yang dorong," Aletta mengambil alih tugas Nayla."Tolong bawain paper bag itu ya," ucap Aletta sembari mendorong kursi roda ibunya."Kamu serius yang tadi itu salah sambung? Muka kamu keliatan tegang loh Ta.""Aku serius, Bu. Nanti aku mau ganti nomor aja, sering banget orang salah sambung," Aletta terkekeh kecil."Ini ditaruh di mana Nyonya?" tanya Nayla membuat Aletta menoleh."Itu makanannya tolong kamu pindahin ke piring ya? Emm......kamu juga nggak perlu panggil saya Nyonya, cukup panggil Mbak aja." Nayla tersenyum tipis, "Iya Mbak."Wanita itu segera pergi ke dapur, sedangkan Aletta kini membawa Sarah ke ruangan yang berukuran cukup luas. Di dalam ruangan itu terdapat telivisi, meja dan di ujung samping pintu kaca
"Siapa yang sudah merampok barang kita tempo hari?" Edgar tertunduk kemudian menyerahkan amplop berwarna coklat kepada Aaron. "Kami sedang mencoba untuk meringkus mereka, Tuan."Aaron membuka amplop tersebut, ia menatap beberapa lembar foto dan data diri dari orang-orang yang sudah begitu berani mencuri darinya. "Dapatkan mereka secepatnya, Edgar. Saya nggak mau tikus-tikus itu lepas, saya mau mereka ada di hadapan saya malam ini juga. Kamu mengerti?" "Mengerti Tuan, kami akan segera mendapatkan mereka. Maaf atas kelalaian para pekerja kita.""Saya nggak mau kejadian seperti ini terulang lagi, perketat keamanan saat pengiriman barang. Jangan sampai saya dirampok sampai berkali-kali," ucap Aaron kemudian melempar foto-foto itu ke atas meja.Aaron menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya lalu menyalakannya dengan pemantik api. Pria itu mulai menyesap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan."Bagaimana dengan keluarga dari sepuluh orang itu Tuan?" Aaron t