Aletta menatap pantulan dirinya di cermin, ia terlihat sudah siap dengan gaun pengantin dan riasan tipis di wajahnya. Mata gadis itu terasa memanas, namun sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak keluar karena takut jika merusak riasannya. Dia juga tidak ingin membuat matanya sembab dan membuat orang-orang akan merasa curiga.
Aletta mengambil nafasnya dalam-dalam untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Kebanyakan orang menganggap bahwa hari pernikahan adalah hari bahagia, namun tidak dengan Aletta. Dia tidak merasakan kebahagiaan karena dia tidak mencintai Aaron dan saat ini ibunya tidak bisa mendampinginya karena masih dalam pemulihan pasca operasi."Kamu kelihatan cantik, Aletta," suara Anggi terdengar membuat gadis itu sontak menoleh.Anggi berdiri di ambang pintu sembari tersenyum lebar menatap calon menantunya. Walaupun Aletta berada di kalangan yang jauh di bawahnya, namun entah mengapa Anggi tidak mempermasalahkannya. Mungkin karena Anggi melihat sifat polos Aletta dan sudah mengenal gadis itu lebih dalam selama dua minggu terakhir, dia bisa melihat bahwa Aletta bukan gadis gila harta, Aletta bahkan tidak terlihat tertarik dengan kekayaan keluarganya. Aletta hanyalah gadis malang yang terpaksa menerima lamaran putranya demi keselamatan sang ibu."Terima kasih Nyonya," ucap Aletta yang berusaha keras untuk tidak terlihat bersedih."Aletta, kamu baik-baik aja kan?" tanya Anggi menghampiri, dapat Anggi lihat mata Aletta yang tampak memerah."Saya baik-baik saja, Nyonya."Aletta menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis."Kamu jangan panggil saya Nyonya lagi, Aletta. Kamu harus panggil saya Mama dan jangan terlalu formal, saya bukan lagi majikan kamu. Sebentar lagi kamu akan jadi istri anak saya, jadi nggak seharusnya seorang menantu manggil mertuanya dengan sebutan Nyonya," Anggi memegang kedua pundak Aletta yang hanya bisa menundukkan kepalanya."Saya tau ini berat buat kamu, tapi kamu harus mulai terbiasa. Kamu akan menikah sama anak saya, itu artinya kamu akan membawa nama keluarga Matteo di belakang nama kamu. Walaupun pernikahan ini didasari perjanjian, tapi kamu harus ingat satu hal, anak saya cinta sama kamu. Jadi saya harap kamu juga bakalan cinta sama dia, jangan bikin dia sedih di sisa hidupnya. Kamu paham?""Paham Nyonya," jawab Aletta kemudian tersadar."Maksud saya.....Mama."Anggi mengusap kepala Aletta, "Semua tamu udah dateng, ada banyak kerabat dan rekan kerja. Jadi jangan pasang raut wajah sedih kayak gini, saya nggak mau jadi bahan gunjingan, kamu harus kelihatan bahagia.""Yasudah, kita sekarang keluar ya?"Aletta menganggukkan kepalanya kemudian menggandeng lengan Anggi dan mulai melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tempat ia didandani. Beberapa wanita berpakaian sama kini menghampirinya dan membantunya untuk mengangkat ekor gaun pengantinnya yang panjang. Melihat dari pakaian wanita-wanita itu, Aletta tahu bahwa mereka pastinya bertugas sebagai bridesmaids-nya.Jantung Aletta terasa berdebar-debar ketika ia menuruni undakan tangga yang akan langsung membawanya ke lantai dasar tempat para tamu undangan kini berkumpul. Aletta mengeratkan gandengan tangannya pada lengan Anggi saat semua mata mulai tertuju kepadanya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian dan Aletta merasa tidak percaya diri karena ia tahu bahwa semua tamu yang hadir adalah orang-orang yang berasal dari kalangan atas.Aletta berjalan dengan diiringi oleh 8 orang bridesmaids di belakangnya."Angkat dagumu, Aletta. Jangan menunduk seperti ini," bisik Anggi membuat Aletta mau tidak mau mengangkat sedikit dagunya.Anggi tersenyum tipis saat mendengar beberapa orang yang memuji kecantikan Aletta. Sekarang Anggi sangat paham tentang apa yang membuat putranya sampai terpikat dengan begitu cepat. Aaron tidak mungkin jatuh cinta kepada Aletta tanpa alasan, dan kecantikan Aletta adalah alasan yang kuat untuk membuat Aaron jatuh cinta kepadanya.Netra Aletta mulai bertubrukan dengan netra coklat tua milik Aaron yang saat ini tengah berdiri dengan didampingi oleh Ernest sebagai sang ayah dan juga penghulu. Aaron terlihat bertambah menawan dengan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna putih yang melekat di tubuhnya, rambut Aaron yang panjangnya hingga tengkuk tampak disisir rapi ke belakang sehingga wajahnya yang tegas terlihat dengan sangat jelas.Langkah kaki Aletta terhenti saat ia sudah berada tepat di hadapan Aaron. Pria itu menatap wajah Aletta lekat-lekat kemudian mengulurkan satu tangannya membuat Anggi yang melihatnya tersenyum kecil.Dengan rasa ragu yang menyelimutinya, Aletta menyambut uluran tangan Aaron yang langsung menggenggamnya. Wajah Aaron terlihat begitu dingin, pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun membuat Aletta merasa kebingungan. Aaron tidak terlihat bahagia, tetapi tidak juga terlihat bersedih. Sekarang dia benar-benar tidak bisa menebak isi dari kepala pria itu, Aaron terlalu sulit untuk ia baca."Bisa kita mulai sekarang?" penghulu bertanya sembari menatap Aaron dan juga Aletta."Bisa," sahut Ernest kemudian duduk di kursinya begitu juga dengan Aletta dan Aaron.Mereka duduk berdampingan, menghadap penghulu yang berada di seberang meja.Penghulu mulai terdengar membacakan beberapa doa dan pada akhirnya menjabat tangan Aaron membuat Aletta menatap jabatan tangan itu tanpa berkedip sedikitpun.Aletta memejamkan matanya saat suara Aaron terdengar begitu lantang mengucapkan ijab qobul, pria itu tidak terdengar gugup atau merasa kesulitan."Sah!"Hari itu, Aletta resmi menjadi istri dari seorang Aaron B. Matteo dan menjadi menantu di keluarga Matteo yang terkenal akan kekayaan mereka.Aletta hanya berharap semoga dia tidak mengambil keputusan yang salah dengan menjadi istri dari seorang pria dingin dan misterius eperti Aaron.Acara pernikahan mereka selesai pukul 9 malam, para tamu undangan telah pergi meninggalkan gedung, menyisakan beberapa kerabat yang masih berbincang satu sama lain dan mulai bersiap untuk pulang."Dari tadi aku nggak liat keluarga dari Aletta, mereka nggak datang atau gimana? Mbok Sarah juga nggak keliatan," tanya salah satu kakak dari Anggi."Aletta cuma hidup sama Ibunya, dan sekarang Mbok Sarah masih di rumah sakit karena baru aja selesai operasi. Masih dalam masa pemulihan," jawab Anggi membuat Gita membulatkan sedikit mulutnya."Aku nggak nyangka loh kalau ternyata Aaron bakalan nikah sama anaknya Mbok Sarah, benar-benar di luar dugaan. Mereka kenal di mana? Di rumah?"Anggi memijit pelipisnya, dia tahu keluarga besar mereka pastinya merasa sangat terkejut dengan pernikahan Aaron dan Aletta yang berstatuskan sebagai anak pembantu keluarga mereka."Di rumah, Aletta gantiin Mbok Sarah waktu dia sakit untuk sementara. Ternyata Aaron suka sama dia, Mbak.""Apa kamu nggak coba buat larang? Biasanya kamu sama Ernest pemilih banget, kok Aaron malah dikasih izin nikah sama anak pembantu?""Memangnya kenapa Mbak? Bagi kami nggak masalah anak pembantu, yang penting sifatnya baik dan Aaron bahagia," sahut Ernest membuat Gita memutar bola matanya."Gimana kalau ternyata Aletta cuma mau harta kalian?"Ernest terkekeh kecil, "Nggak masalah, harta kami cukup banyak buat dia."Gita berdecak kesal mendengar jawaban Ernest."Anggi, aku mau pulang aja deh. Capek banget di sini.""Nggak mau bareng? Kamu bisa nginep di mansion kami dulu, Mbak.""Kami udah sewa hotel, nanti pagi kami mampir kok ke mansion kalian," Gita segera berpamitan kepada Ernest dan Anggi kemudian menggandeng lengan suaminya untuk keluar dari gedung tanpa berniat menyapa Aletta ataupun Aaron terlebih dahulu.Anggi menghela nafas panjang, "Untung dia ngomongnya nggak ke Aletta sama Aaron. Aku kasian aja kalau sampai Aletta dengar hal-hal kayak gitu, Aaron juga pasti akan marah kalau dengar omongan Gita tadi.""Mbak kamu itu nggak pernah berubah," bisik Ernest yang memang sudah sangat hapal dengan sifat iparnya."Kami mau pulang," Aaron menghampiri sembari menggenggam tangan Aletta di sampingnya."Kamu serius mau tinggal di mansion peninggalan Nenek, Aaron?" tanya Anggi memastikan sekali lagi mengenai keputusan putranya."Aku serius Mah, kita udah bahas ini sebelumnya. Aku mau tinggal sama Aletta berdua di mansion peninggalan Nenek," jawab Aaron begitu mantap dan terdengar tidak bisa diganggu-gugat."Papa setuju, yang penting kamu sama Aletta nyaman. Tapi ingat Aaron, kamu harus jaga kondisi kesehatan kamu. Ingat apa yang dibilang sama dokter, kamu harus selalu minum obat dan checkup""Jangan bahas itu di sini, aku udah bilang sama Papa. Aku nggak mau ada yang tau soal ini.""Papa cuma ngingetin kamu, dan Aletta..... kamu udah tau semuanya. Jadi kamu tau kan harus apa?""Saya tau Tuan," Aletta menundukkan kepalanya merasa segan kepada Ernest."Yasudah, Mama nggak mau kamu kelelahan. Kamu harus istirahat, kamu sama Aletta pulang sekarang aja," ucap Anggi lalu memeluk tubuh Aaron.Anggi sangat menyayangi putranya itu walaupun dia tahu bahwa Aaron tidak akan menyadari kasih sayangnya karena sikapnya selama ini. Anggi dan Ernest hampir tidak pernah makan satu meja bersama Aaron, mereka berdua selalu disibukkan dengan pekerjaan, mereka tidak mempunyai waktu untuk Aaron hingga putra mereka itu tumbuh dewasa."Mama sayang sama kamu Aaron," Anggi mengusap pipi putranya, namun Aaron tidak bergeming di tempatnya."Kita pergi sekarang," Aaron segera menarik tangan Aletta membuat gadis itu tersentak kaget."Kami permisi, Tuan, Nyonya," ucap Aletta sembari menoleh ke belakang."Jangan panggil mereka seperti itu, panggil mereka Mama dan Papa seperti saya memanggil mereka, kamu harus terbiasa, Aletta. Mereka mertua kamu, bukan lagi majikan kamu.""Maaf, Tuan," cicit Aletta membuat Aaron sontak menghentikan langkah kakinya."Apa saya perlu mengajari kamu tentang banyak hal? Apa ada seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan Tuan?""Jadi......saya harus memanggil Tuan dengan sebutan apa?" tanya Aletta merasa kebingungan."Kamu bisa panggil nama saya dan berhenti berbicara formal karena orang yang mendengarnya pasti akan merasa kita berdua aneh. Jangan menggunakan kata saya, aku kamu lebih enak didengar untuk pasangan suami istri.""Tapi itu tadi Tu- eh kamu menggunakan kata 'saya'."Aaron sontak berdehem singkat, "Aku juga harus membiasakan diri."Sesampainya di mansion, Aletta tertegun melihat tempat yang akan ia tinggali. Mansion peninggalan nenek Aaron ternyata sangatlah besar dan juga mewah. Mansion itu benar-benar terlihat seperti istana, kurang lebih seperti mansion yang ditempati oleh Anggi dan juga Ernest, sama-sama bergaya khas Eropa membuat Aletta sedikit tahu tentang selera desain keluarga Matteo. "Kita akan tinggal di sini, Aaron?" suara Aletta terdengar memelan saat mengucapkan nama pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya di mata hukum dan juga agama. "Iya, hanya kita berdua. Nggak ada anggota keluarga lain, cuma ada pelayan, pengawal, dan juga supir," Aaron berjalan terlebih dahulu membuat Aletta mengintilnya di belakang. "Kenapa kita harus tinggal terpisah dari Mama dan Papa? Bukannya akan lebih nyaman tinggal satu atap sama orang tua? Apalagi sekarang....... kamu lagi nggak sehat." "Bagi kamu nyaman, tapi enggak bagi saya. Tinggal terpisah dari mereka akan membuat saya merasa lebih tenang. Lagi pula mere
Aletta mengerjapkan matanya beberapa kali saat sinar matahari pagi masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Aletta termenung menatap langit-langit kamar dan teringat tentang apa yang tadi malam terjadi membuatnya segera menggelengkan kepala.Aletta mengusap wajahnya lalu menarik selimut agar tubuhnya yang polos tertutup dengan sempurna. Aaron terlihat keluar dari walk in closet, pria itu tampak sudah rapi dengan kemeja yang melekat di tubuhnya. Aaron memasang jam tangannya sembari melirik singkat ke arah Aletta, raut wajahnya begitu datar dan tatapan pria itu teramat dingin membuat Aletta tidak berani membuka suara.Aletta hanya diam memperhatikan Aaron yang kini menyisir rambutnya, ia tidak tahu akan ke mana perginya Aaron. Aletta tidak berniat untuk bertanya walaupun sebenarnya merasa sangat penasaran karena mereka baru saja menikah, namun pria itu sudah ingin pergi keluar. Tapi Aletta cukup mengerti, dia tahu bahwa Aaron adalah orang yang sangat sibuk. "Ibu kamu sudah ada di rum
Aletta segera memutus sambungan telponnya lalu kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas dengan wajah yang tampak menegang.Sarah mengernyit melihatnya, "Siapa yang telpon, Ta?" tanyanya merasa penasaran."Bukan siapa-siapa, orang salah sambung, Bu.""Sini, biar saya yang dorong," Aletta mengambil alih tugas Nayla."Tolong bawain paper bag itu ya," ucap Aletta sembari mendorong kursi roda ibunya."Kamu serius yang tadi itu salah sambung? Muka kamu keliatan tegang loh Ta.""Aku serius, Bu. Nanti aku mau ganti nomor aja, sering banget orang salah sambung," Aletta terkekeh kecil."Ini ditaruh di mana Nyonya?" tanya Nayla membuat Aletta menoleh."Itu makanannya tolong kamu pindahin ke piring ya? Emm......kamu juga nggak perlu panggil saya Nyonya, cukup panggil Mbak aja." Nayla tersenyum tipis, "Iya Mbak."Wanita itu segera pergi ke dapur, sedangkan Aletta kini membawa Sarah ke ruangan yang berukuran cukup luas. Di dalam ruangan itu terdapat telivisi, meja dan di ujung samping pintu kaca
"Siapa yang sudah merampok barang kita tempo hari?" Edgar tertunduk kemudian menyerahkan amplop berwarna coklat kepada Aaron. "Kami sedang mencoba untuk meringkus mereka, Tuan."Aaron membuka amplop tersebut, ia menatap beberapa lembar foto dan data diri dari orang-orang yang sudah begitu berani mencuri darinya. "Dapatkan mereka secepatnya, Edgar. Saya nggak mau tikus-tikus itu lepas, saya mau mereka ada di hadapan saya malam ini juga. Kamu mengerti?" "Mengerti Tuan, kami akan segera mendapatkan mereka. Maaf atas kelalaian para pekerja kita.""Saya nggak mau kejadian seperti ini terulang lagi, perketat keamanan saat pengiriman barang. Jangan sampai saya dirampok sampai berkali-kali," ucap Aaron kemudian melempar foto-foto itu ke atas meja.Aaron menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya lalu menyalakannya dengan pemantik api. Pria itu mulai menyesap rokoknya dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan."Bagaimana dengan keluarga dari sepuluh orang itu Tuan?" Aaron t
Malam terasa begitu hening dan dingin, Aletta menarik selimut tebal hingga sebatas leher untuk menghangatkan tubuhnya. Tangannya bergerak meraba tempat di sebelahnya, namun ia tidak menemukan keberadaan Aaron membuat matanya sontak terbuka.Aletta mengedarkan pandangannya, ia merubah posisinya menjadi duduk dengan rasa kantuk yang masih menyerangnya. Wanita itu segera turun dari atas tempat tidur dan menuju ke arah kamar mandi."Aaron?" Aletta langsung membuka pintu kamar mandi, dan dia tidak melihat adanya sosok Aaron membuatnya merasa kebingungan.Aletta kembali duduk di tepi ranjangnya kemudian meraih ponselnya yang berada di atas nakas."Ke mana dia?" gumam Aletta sembari melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 1 malam.Aletta segera menghubungi Aaron karena merasa penasaran sekaligus khawatir mengingat kondisi kesehatan pria itu. Aletta mencoba menelpon Aaron beberapa kali, tetapi Aaron tidak kunjung mengangkat telponnya membuat ia merasa was-was. Aletta menghela nafas p
Aletta duduk di lantai yang dingin dengan kedua kaki tertekuk hingga ke dada, sesekali ia menyeka air matanya. Ia menyesal karena sudah berusaha untuk mempedulikan Aaron, ternyata pria itu tidak menganggapnya sebagai seorang istri sepenuhnya, bahkan dia tidak memiliki hak untuk sekedar menanyakan keberadaan pria itu.Walaupun Aletta belum mencintai Aaron, namun tetap saja Aletta merasa terluka. Ia ingin memiliki hubungan selayaknya suami istri yang selama ini ia lihat, ia mencoba untuk berdamai dengan statusnya sebagai istri dari Aaron, tetapi sikap pria itu malah membuatnya tersadar bahwa seharusnya dia bersikap acuh dan tidak perlu mempedulikan Aaron.Aletta menatap air kolam renang yang terlihat begitu jernih, ia memejamkan matanya yang terasa membengkak karena menangis.Sedangkan Aaron kini tengah duduk di tepi ranjang sembari menempelkan ponsel ke telinganya. Pria itu terlihat sudah rapi dengan pakaian yang baru ia ambil dari lemari. Helaan nafas panjang terdengar keluar dari mul
Aletta sontak berdiri dari duduknya, ia begitu terkejut melihat kehadiran seorang pria yang ia kira masih berada di luar negeri. Aletta menatap pria itu tanpa berkedip, ia melangkah mundur kemudian berniat untuk kembali ke dalam mobil. Namun pria itu langsung berdiri dan mencekal lengannya."Kamu mau ke mana Aletta? Kita bahkan belum bicara, ada banyak hal yang harus kita omongin.""Lepasin tanganku, Brian. Nggak ada yang harus kita omongin, tolong jangan ganggu aku lagi," Aletta mencoba untuk melepaskan cekalan tangan Brian dengan ketakutan yang menyelimuti dirinya.Aletta dan Brian memiliki masa lalu yang bisa dikatakan sangat buruk saat mereka sedang berada di bangku SMA. Mereka berdua berasal dari kalangan yang sangat berbeda membuat Aletta menjauh dari Brian karena sadar akan posisi. Namun kala itu Brian sangat gencar mengejarnya dan tidak pernah berhenti mendapatkan perhatiannya. Aletta akhirnya menyerah dan menerima Brian sebagai kekasihnya, mereka menjalani hubungan di belakang
"Kamu mau masuk atau nunggu di mobil?""Mohon maaf tapi apa Nyonya akan lama?" tanya Septian memastikan."Kayaknya iya, mungkin sampai sore. Kamu bakalan bosen di dalam mobil, pengap juga pasti," ucap Aletta membuat Septian segera turun dari dalam mobil."Apa nggak masalah saya masuk?" "Enggak masalah, emangnya kenapa? Toh di rumah ada ibu sama Nayla," Aletta melangkahkan kaki terlebih dahulu membuat Septian mengikutinya di belakang.Aletta menekan bel di sebelah pintu beberapa kali hingga pintu rumah yang ditempati oleh ibunya terbuka memperlihatkan sosok Nayla yang tampak menggunakan celemek di tubuhnya. "Masuk Mbak," Nayla sedikit melipir memberi jalan untuk Aletta dan Septian.Nayla menatap Septian dengan tatapan bertanya-tanya."Ibu mana Nay?" tanya Aletta tidak melihat keberadaan Sarah."Di dapur Mbak, lagi masak buat makan siang."Mendengar hal itu membuat Aletta segera membawa langkah kakinya menuju dapur meninggalkan Septian yang masih berdiri di tempatnya."Silahkan duduk,