Share

Mulai Simpati

Senyum Devan tersungging sempurna. Akhirnya, gadis itu menyerah juga. "Kamu tenang saja. Semua biaya akan saya tanggung dan ibu kamu akan menikmati fasilitas terbaik di rumah sakit ini."

Devan menatap dokter serius. "Dok, lakukan yang terbaik untuk pasien ini. Soal biaya, saya akan lunasi sekarang."

"Baik, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu untuk menyiapkan operasinya."

Dokter pun bergegas keluar untuk menyiapkan semuanya. Sementara Cecil menatap Devan dengan tatapan sendunya.

"Kamu tunggu di sini. Saya urus dulu biaya administrasinya."

Cecil mengangguk, lalu membiarkan Devan berlalu dari hadapannya.

Di dalam ruangan itu, Cecil menangis tanpa suara. Ia tidak tahu, apakah keputusan yang diambilnya sekarang sudah benar atau justru malah menjerumuskan dirinya ke dasar jurang. Cecil tidak bisa berpikir jernih. Yang terpenting baginya saat ini hanyalah kesembuhan ibunya. Biarkan jika setelah ini, ia akan menderita atau bahkan disiksa hidup-hidup oleh Devan yang menyebalkan itu.

Sudah satu jam berlalu, Cecil masih setia dengan lamunannya. Terlalu asyik melamun, ia sampai tidak sadar jika Devan sudah kembali. Laki-laki itu langsung mendudukkan diri si sebelah Cecil.

"Biaya rumah sakit sudah saya lunasi," ucap Devan lantang, membuat Cecil tersentak.

"Astaghfirullah! Sejak kapan Bapak di sini?" tanya Cecil sambil memegangi detak jantungnya yang berlompatan.

"Itu tidak penting.Yang penting, setelah ini kita bahas perjanjian kontrak pernikahan palsu ini. Besok, kamu ikut saya bertemu keluarga. Keluarga saya orang terpandang, dandan yang cantik, jaga sikap kamu, dan yang terpenting, jangan bikin saya malu!"

Cecil melirik Devan sekilas, sebelum ia kembali menatap ibunya yang tengah terkapar. "Ribet banget!"

Devan tampak acuh. Ia tidak peduli dengan gerundelan Cecil padanya.

***

Jam 5 sore, operasi siap. Kini Cecil dan Devan tengah menunggu di depan ruang operasi. Dengan gelisah, Cecil mondar-mandir di depan pintu operasi. Ia berharap, semoga operasi ibunya dapat berjalan dengan lancar. "Ya Tuhan, tolong lancarkanlah segala sesuatunya di dalam sana. Beri kesembuhan pada ibu agar bisa berkumpul bersama lagi."

Cecil bergumam lirih. Hanya itu doa yang bisa ia munajatkan saat ini.

Devan sedikit simpati melihat Cecil seperti itu. Ia pun menyuruh sekretaris pribadinya itu untuk duduk di sebelahnya.

"Duduk di sini," ucapnya setengah memerintah.

Tanpa membantah, Cecil menurut. Untuk saat ini, ia tidak ingin berdebat dengan siapapun, termasuk bos galaknya ini.

Gadis itu berjalan mendekat ke arah Devan lalu mendudukkan diri di samping lelaki itu.

Masih dengan harap-harap cemas, Cecil celingukan menatap pintu ruang operasi. Sesekali ia menoleh pada Devan yang tengah berkutat dengan ponselnya.

"Bapak pulang saja, saya sanggup jaga Ibu sendirian," ucap Cecil sontak membuat Devan mengalihkan perhatiannya.

Devan menatap Cecil dengan sorot matanya yang tajam, lalu mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan gadis itu.

"Kamu ngusir saya?!"

Cecil menarik napas panjang sebelum emosinya mendidih. "Bukan gitu maksud saya, Pak. Saya cuman tidak ingin Pak Devan kecapekan. Besok Bapak harus menemui klien penting dari Singapura. Lebih baik Bapak pulang, biar bisa istirahat."

Devan memutar bola matanya. Ia paling benci diatur-atur. "Kamu itu sekretaris saya, tugas kamu cuman ngatur jadwal saya, bukan hidup saya. Jadi, jangan sok! Satu lagi, saya tidak suka diatur! Paham?!"

Tangan Cecil mengepal keras. Ia berusaha mengumpulkan kesabaran yang sudah sangat terbatas itu. "Terserah Bapak saja. Perasaan, saya salah terus di mata Bapak. Terserah, Bapak mau di sini sampai subuh juga silakan. Saya bodo amat!"

Cecil membuang muka ke arah lain dan membiarkan Devan tetap berada di sebelahnya.

"Yang sopan sama atasan!" tegur Devan yang hanya diacuhkan gadis itu. Namun detik berikutnya, ia menoleh pada Devan dengan mata memicing.

"Itu cuman di kantor, Pak. Kalau di luar jam kerja, Pak Devan bukan siapa-siapa. Jadi, saya bebas ngapain aja. Kita sama-sama makan nasi, minum air putih dan yang terpenting, Bapak tidak bisa galak lagi sama saya. Karena Pak Devan hanya orang biasa. Bukan bos saya!"

Mata Devan membulat. Cecil memang gadis unik. Baru kali ini lelaki itu bertemu dengan sosok seperti ini. Pembangkang, keras kepala, dan masih banyak lagi minusnya.

"Berani ya, kamu sama Saya?!" ucap Devan geram.

"Ngapain takut? Bapak makan nasi, saya juga makan. Bapak minum air, saya juga sama. Ingat, Pak, di luar, saya bukan bawahan Pak Devan!"

Devan menyeringai licik. Memang siapa yang bisa melawan kuasa Devan? Gadis itu akan dibuatnya tidak berkutik. "Di kantor, kamu bawahan saya, dan di luar, kamu calon istri saya. Jangan lupakan soal itu. Jadi, apapun yang kamu lakukan, masih di bawah kendali saya."

Cecil mendengus kesal. Tangannya sudah terangkat dan bersiap menjotos wajah Devan. Tapi dengan sigap, lelaki itu menahan tangan mungil yang hampir melayang itu.

"Jangan kurang ajar! Ingat, saya berkuasa atas diri kamu!"

Cecil meronta agar tangannya bisa terlepas. Namun cengkeraman tangan Devan sepuluh kali lebih kuat dari tenaganya. Semakin berusaha ia melepaskan diri, maka cengkeraman tangan itu akan terasa semain sakit.

Cecil menatap sengit manik Devan. Ia tidak tahu, entah apa jadinya nanti setelah dirinya menikah dengan bos galak dan kejam ini. "Masih calon istri, bukan istri yang sah! Jadi Bapak nggak bisa semena-mena."

Devan melepas cengkeraman tangannya. Dilihatnya pergelangan Cecil yang memerah.

"Sakit?" tanyanya sedikit merasa bersalah.

Cecil memalingkan wajahnya lurus ke depan. Ia malas melihat tampang bak malaikat kematian itu.

"Udah tau merah, masih pakai nanya!" gerutu Cecil pelan.

Devan terkekeh pelan. Terlihat manis, namun mematikan. "Mangkanya, nurut kalau tidak mau tersakiti. Saya paling tidak suka bantahan. Jangan coba-coba menguji kesabaran saya dengan jadi seorang pembangkang. Paham?!"

Cecil tidak menggubris. Ia lebih tertarik menunggu dokter keluar dari dalam ruangan. Percuma saja ia membantah. Untuk saat ini, Devan memang memiliki kuasa atas dirinya, dan itu akan terus berlangsung selama satu tahun. Semoga saja, ia kuat menjalani ini semua. Semua pengorbanan yang dirinya lakukan, semata-mata hanya demi kesembuhan ibunya.

Tiba-tiba saja dokter keluar dari ruangan membuat lamunan Cecil menjadi buyar. Tanpa menunggu lebih lama, gadis itu berdiri dan berjalan cepat menghampiri dokter yang baru saja keluar.

"Dok, gimana operasinya? Ibu saya baik-baik saja kan? Operasinya berhasil kan, Dok?" berondong Cecil dengan berbagai pertanyaan. Ia sungguh tidak sabar mengetahui hasil operasinya. Semoga saja, pengorbanannya tidak sia-sia.

Dokter yang merawat Nira pun tersenyum. Ia menatap Cecil dengan binar kebahagiaan.

"Alhamdulillah, operasi ibu kamu berjalan dengan lancar. Semoga saja, tubuh beliau bisa menerima ginjal baru yang didonorkan dengan baik. Kami belum bisa memastikan apakah ginjal baru ibumu akan berfungsi dengan baik. Tapi Nak Cecil tidak perlu khawatir, kita bisa memantau perkembangannya dalam beberapa hari ke depan. Sejauh ini, tidak ada masalah."

Mendengar penjelasan dokter, Cecil ikut tersenyum. Senyum manis yang baru sekali ini Devan lihat.

Untuk beberapa saat, Devan sempat terpesona dengan senyum mahal itu. Karena sebelumnya, Devan memang tidak pernah melihat Cecil tersenyum. Bahkan, terkesan jutek, menurutnya.

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Dokter. Semoga saja Ibu bisa segera sadar."

Dokter itu menepuk bahu Cecil pelan. "Sama-sama, Nak Cecil. Tim medis hanya bisa bekerja semampunya, karena yang Maha Penyembuh yang sebenarnya adalah Tuhan. Tanpa campur tangan dari-Nya, kami bukan apa-apa."

Cecil mengangguk, sambil mengintip ke dalam. Dokter yang tahu apa yang ada di pikiran Cecil, berusaha menjelaskan.

"Ibu kamu masih dalam pemulihan. Nanti setelah efek bius sudah hilang, pasien bisa dipindahkan di ruang inap biasa. Nak Cecil tidak perlu khawatir."

Cecil mengangguk paham. Perasaannya sekarang, sudah jauh lebih lega. "Iya, Dok."

"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu," pamit sang dokter pada Cecil dan Devan.

"Silakan, Dok," jawab keduanya dengan kompak.

Tiba-tiba bunyi perut Cecil yang berdisko terdengar cukup nyaring. Cecil memegangi perutnya yang terasa lapar karena sejak tadi pagi hanya terisi roti selai yang dibelinya dari warung pinggir jalan. Cecil tidak sempat makan, dan ia lupa mengisi perutnya hingga sekarang.

"Kenapa perut kamu? Lapar?" tanya Devan membuat Cecil salah tingkah. Bagi Cecil, ini sangat memalukan.

Cecil menatap Devan malu-malu. "Hehe ... dari pagi belum makan, Pak."

Devan pun berdecak. Gadis ini memang ceroboh. "Ckck! Ayo makan dulu. Saya juga lapar," ajaknya setengah memerintah.

Cecil menggeleng pelan. Dirinya memang lapar sekarang, tapi ia tidak akan tega meninggalkan ibunya sendirian. "Tidak, Pak. Saya di sini saja. Kasihan Ibu di dalam sendirian."

Devan menarik napasnya panjang. "Cecilia Hutama, ikut saya makan, sekarang!"

"Bapak saja yang makan, saya masih ingin di sini," tolak Cecil halus.

"Kamu harus ikut saya makan, Cecilia! Saya tidak mau kalau kamu sampai jadi tengkorak yang tinggal tulang belulang. Apa nanti yang keluarga saya katakan tentang kamu? Makan sekarang! Saya tidak terima penolakan."

"Tapi ... ibu saya?"

"Ibu kamu baik-baik saja di dalam sana. Lagian, mau kamu tunggu juga percuma, tidak akan bisa masuk. Sekarang kamu makan dulu, setelah itu kita kembali lagi ke sini. Jangan ngebantah lagi!"

Devan pun meraih tangan Cecil dan menyeretnya berjalan menuju pujasera rumah sakit ini.

"Pelan-pelan, Pak!" protes Cecil yang kewalahan mensejajarkan langkahnya dengan langkah Devan yang panjang.

"Mangkanya, kalau jalan jangan lelet!" ejek Devan.

"Bukan jalan saya yang lelet, tapi kaki Bapak yang kepanjangan!" bela Cecil. Ia tidak diterima dibilang lelet.

"Malah nyalahin kaki saya!" timpal Devan.

"Ya memang nyatanya gitu. Pokoknya Pak Devan yang sal--"

"Sssttt! Diam!" bentak Devan membuat Cecil terkesiap. Ia pun menurut dan berjalan cepat mendahului Devan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status