Share

Bab 4. Menikah di Hutan

"Apa-apaan ini? Om belum pernah nikah," jawab Haidar.

"Terus itu siapa? Om juga denger sendiri, kan? Laki-laki tak tahu diri!" teriaknya.

"Haidar! Alhamdulillah ... ternyata mayat yang di depan bukan kamu. Maaf ya, ngaku-ngaku jadi istri kamu ... biar cepet diladenin, soalnya lagi rame di depan." Perempuan berpakaian baju kantor yang menjadi sekretaris Haidar itu langsung masuk ruangan.

"Hahaha, iya gak masalah," jawab Haidar.

'Sial! Kenapa mereka nggak luka yang lebih parah?' batin Toya.

"Hmmm ... Alhamdulillah masih diberi hidup, jadi ... masih ada kesempatan untuk menikahi Ciara." Haidar mengedipkan mata kirinya.

"Ish, turuti syaratnya dulu!" bentak Ciara.

"Mau dituruti atau nggak, yang namanya jodoh gak akan ke mana ... hahaha, lagian kalau udah naksir gak usah sok-sokan. Tadi aja pas Toya bilang suami ... wajah kamu udah kayak tomat," jawab Haidar.

"Ihh! Cia tuh hanya melindungi diri dari sengatan mangsa laki-laki! Intinya gak mau dipermainkan. Masih kekeh ingin mencoba penuhi syarat?" tanya Ciara.

"Tentu dong, Nduk Cantik! Coba aja belum masa udah nyerah," jawabnya.

'Arghhh! Bikin panas aja!' batinnya lagi.

Seorang perempuan yang bernama Toya tersebut merasa tidak nyaman dengan percakapan Ciara dengan Haidar. Ia memilih keluar dari ruang tersebut setelah menjalankan aksinya berpura-pura sedih jikalau kehilangan Haidar. Tetap berada di ruangan tersebut, hanya membuat hatinya kebakaran. Haidar dan Ciara masih terus bercakap-cakap.

"Kenapa Om ngebet banget mau nikah sama Cia? Emangnya tertarik dengan apanya? Sudah tahu kalau Cia ini galak, mudah berantem, suka lalai makan, anti kotor, tapi males bersih-bersih, ribet, masih kecil juga dibanding Om. OMG, jarak sepuluh tahun, parah!" racaunya.

"Setiap orang yang diciptakan, itu punya kelebihan dan kekurangan," jawab Haidar.

"Loh … loh, kok jadi sok bijak gitu?" Ciara menggigit bibirnya.

"Bukan sok aja, Om memang harus bijak dengan kamu, Gadis Bayi!" sahut Haidar.

Kalau nikahin kamu hanya karena tertarik dengan salah satu kelebihan saja, untuk apa nikah? Pernikahan itu harus bisa menerima apapun yang ada dalam diri pasangan."

"Ya Allah Ya Allah, bener nih. Kayaknya waktu pingsan dapat petunjuk. Tumben bisa ngomong begitu, biasanya jug—"

"Hahaha, lucu banget prasangkamu." Lelaki itu tertawa lepas.

Sampai lupa kalau sedari tadi Haidar kebelet, gara-gara kaget dengan Toya dan merasa seru bicara dengan Ciara. Beruntungnya mamanya Haidar segera masuk dan bisa membantu Haidar untuk buang air kecil dulu. Setelah itu melanjutkan untuk membicarakan pernikahan.

"Apa alasan Cia gak mau nikah muda?" tanya Haidar.

"Males aja! Kata temen-temen yang udah nikah, laki-laki sekarang itu cuma manis di awal, omongannya hanya satu persen yang bisa dipercaya, banyak yang gak puas dengan istrinya sendiri. Tentunya di usia muda ... Ciara belum sanggup menghadapi itu semua," jawab Ciara.

"Nggak semua laki-laki begitu, nikah sama Om dijamin akan manis sampai beruban, seratus persen bisa dipercaya, tingkat puasnya sudah dipastikan over … tapi kenapa kalau sama Om kamu gercep jadi mau?" ledek Haidar.

"Cia pegang penyataannya. Siapa juga yang mau! Kan ada syarat!" seru Ciara.

"Ya iya, kalau syaratnya berhasil kan langsung mau. Kenapa dengan yang lain tidak diberi syarat begitu?" tanya Haidar.

"Ihhh nyebelin banget! Gak usah ikut campur dengan keputusan Cia! Udah untung diberi kesempatan, atau dibatalin aja semuanya!" rajuk Ciara.

"Jangan goda Om untuk menyentuhmu sebelum menikah, semakin merajuk berarti semakin menggugah keinginan Om untuk memeluk kamu!" godanya.

"Hueekkk! Muntahin Om kayaknya seru banget!

"Seru, tapi nanti kalau muntahnya muntah karena hamil twins, hahaha."

***

Selama masa pemulihan, Haidar berusaha keras untuk memperbanyak nonton video dan mencoba buat sate ayam di rumahnya. Setelah benar-benar sembuh, Haidar memberanikan diri untuk segera masak sate ayam dan menghidangkan untuk dicicipi Ciara. Ia sudah waspada, sebentar lagi waktu yang telah ditentukan habis, tahta CEO-nya akan hancur jika Ciara belum juga mau diajak menikah.

"Siap, Om?" tanya Ciara.

"Siap! Kamu jangan jauh-jauh dari Om, temenin ngobrol, dong!" pinta Haidar.

"Iya-iya, cepetan buat!" serunya dengan ketus.

Ciara duduk manis di samping Haidar yang sibuk membuat sate. Dalam hatinya perempuan itu sangat kagum dengan kegigihan Haidar, mau menuruti keinginannya. Baru Haidar, lelaki yang bisa memincut hati Ciara untuk menikah muda, apalagi dengan orang yang umurnya begitu jauh dari dirinya. Doanya terus ia panjatkan, berharap sate Haidar memang benar-benar bisa cocok supaya bisa segera menikah tanpa membuatnya malu karena setiap pengakuan yang ia ucapkan itu selalu membenci yang namanya nikah muda.

"Nih, satenya udah jadi. Dijamin kamu ketagihan," ungkap Haidar.

"PD amat! Baunya udah pasti ketolak! Keluargaku dan keluargamu udah kumpul, misal berhasil ... langsung gas nikah!" Ciara menatap tajam ke arah Haidar.

Tidak disangka oleh Ciara, ternyata sate ayam yang dibuat Haidar benar-benar pas. Ciara langsung mengangkat bendera merah yang sedari tadi sudah dipersiapkan, menandakan keberhasilan Haidar dalam memenuhi syarat mau nikahnya Ciara dengan laki-laki tersebut. Sorak keluarga mereka sangat meriah. Tidak menunggu lama, Haidar dan Ciara menikah di hutan, seperti yang sebelumnya sudah mereka bicarakan juga.

"Yeeeeyyyy, berhasil!" teriak Haidar.

"Dih, biasa aja kali!" seru Ciara.

"Nggak bisa. Kamu mau aku ajak nikah itu luar biasanya pol, Nduk!" sahut Haidar.

"Menikahimu ialah pilihan yang tak mungkin kuragu. Bersamamu, kuingin berjalan menyusuri arah tuk lebih berbenah, membangun rumah yang terisi cahaya cerah, menghapus gundah gulana yang sering mengena, dan mengisi tinta harum dalam rajutan lembar yang kita tebar."

—Mempelai pria—

"Aku siap bersamamu, siap atas tujuan manismu. Pernikahan bukan jalan perpecahan, tapi persatuan yang semakin mengikat makna ketulusan. Rangkullah aku sekuat jiwa ragamu tuk menjemput impian yang tak semu."

—Mempelai wanita—

Pernikahan yang tidak hanya disaksikan oleh manusia. Ocehan suara burung menghiasi hangat dan tegangnya suasana. Banyak kupu-kupu beterbangan, bahkan hinggap ke muka kedua mempelai. Semua seakan menyambut dan menunggu qobiltu terucap dari mulut lelaki tersebut.

"QOBILTU ...."

Sebuah janji terucap dengan sangat manis, memberikan seribu ketenangan dari kegelisahan Ciara dan juga Haidar selama ini. Iya, itulah romantis yang sesungguhnya. Memangku rangkaian kata atas sebuah hal yang sifatnya serius di atas serius kepada sang Maha Iradah. Harapan indah sudah menunggu, bergelutnya mereka dalam kungkungan mulia yang penuh dengan bunga-bunga di dalam rumah tangga yang sebenarnya.

Haidar merangkul perempuan yang baru saja sah menjadi istrinya. "Ciara Basma, menunduklah di kala sayap halusku menyapa, tetapi mendongaklah di saat kelalaianku sedang bertahta. Kelak kamu akan merasakan, indahnya cinta yang aku berikan untukmu, tapi harus sabar … siap?"

Ucapan Haidar membuat Ciara panik. "Isyarah apa ini, Om? Sabar dalam arti apa!"

"Gadis Bayi … ini momen indah masa harus kamu galakin. Bukan apa-apa, apa yang salah? Kesabaran dalam setiap langkah kita kan, jurus manjur untuk kekuatan cinta," jawab Haidar.

"Hehe, ya maaf, tadi kaget saja, kirain ... Om tidak tulus menikahi Cia," jawab Ciara. "Untuk CEO misterius ini juga, aku orangnya gila kerja. Namun, lebih gila dengan cinta ke Om! Jadi, mainan yang mendominasiku bukan lagi kerjaan, melainkan Om Sayang yang gagah ini."

Lantunan sholawat menggema. Syair pengantin menyambut datangnya Ciara dan Haidar sebagai pengantin baru. Sangat serasi, cantik dan tampan yang elegan dengan hiasan senyum sebagai mantra indah dalam sebuah pandangan. Haidar bersorak gembira dalam hatinya, jabatan sebagai CEO-nya kini sudah aman tetap bertahta untuk dirinya.

"Ehm, malam pertama kita di hutan saja, ya … setuju?" tanya Haidar.

"HAH?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status