"Menikahnya sudah Om yang minta. Sekarang ganti Cia yang milih malam pertamanya. Mau di hotel aja! Kalau di hutan dingin!" rengek Ciara.
"Justru dinginnya itu yang dicari," jawab Haidar."Ogah, Cia mboten purun!" Ciara memonyongkan bibirnya."Kedah purun," sahut Haidar."Dibilang tidak mau ya tidak mau! Menyeramkan, Om! Cia tuh … takut gelap yang akut sebenarnya," ungkap Ciara. "Kenapa tertawa?""Ya sudah ngikut kamu," jawabnya.Haidar mengalah untuk yang ini. Pikirannya sudah tertata karena jabatan CEO tetap berhasil. Haidar menyadari, selesai masalah satu, dia akan menghadapi perkara baru. Namun, itu sudah menjadi pilihannya.***"Siapa yang beliin baju itu? Siapa juga yang suruh pakai!" Haidar menutup mata. "Om kok begitu, tidak senang?" tanya Ciara."Kamu terlalu menggoda!" Haidar berjalan ke ranjang, tetapi malah berselimut sendiri.Entah, harus dengan bahasa apa Haidar mengatakan yang sebenarnya. Pernikahan yang hanya pura-pura dijalankan dengan cinta. Menikahnya secara umum, jelas karena karena Allah, Haidar paham syariat. Namun, secara tujuan antar manusia, ia menikah karena rasa ta'dzim kepada papanya dan demi jabatannya sebagai CEO."Cuek ... Om marah karena kita tidak malam pertama di hutan?" Ciara membuka selimut Haidar."Tidak," jawab Haidar."Katanya menggoda, kok nggak dimanfaatin?" tanyanya."Nduk, gak usah bawel! Kita tidur aja!" perintah Haidar.Bukan itu yang Ciara harapkan. Malam pertama disuguh dengan sikap dingin? Tentu hal yang sedikit saja tidak Ciara harapkan. Soalnya, sikap Haidar saat mengajak Ciara menikah dengannya, itu sudah panas banget bagi Ciara. Sungguh di luar nalar yang membuat kesedihan perempuan itu menghampiri."Hadap sini! Tidak ingin kah, coba-coba mainan baru?" Ciara bangun dari tidurnya."Sudah dibilang, tidur saja! Kita kan masih capek, tidak usah maksain diri!" Haidar membalikkan badannya meskipun nada bicaranya lumayan tinggi."Om Sayang kok berubah, mainan yang ringan kan, banyak. Om pasti lebih tahu tentang itu!" rengeknya membuat sikap galaknya seakan hangus begitu saja."Iya, Om lebih tahu banyak dari kamu. Makanya nurut, tidak usah ngeyel! Tidur lagi!" Haidar menarik tangan Ciara."Iiih, menyebalkan! Bukan malam pertama begini yang Ciara inginkan. Mana bisa tidur? Seribu harapan dimusnahkan, mengobrol tidak, main apalagi! Cuma disuruh tidur, tidur dan tidur mulu!" racau Ciara.Haidar mendekatkan bibirnya ke jidat Ciara untuk mengecup kening saja, tidak lebih dari itu. "Tuh, sudah main kan? Ngomel saja terus kalau itu bisa buat bahagia! Om mau tidur, Good Night, Nduk!""Kesambet apa, sih! Kenapa mendadak begini sikapnya Om Sayang?" kesal Ciara."Sudah dikecup juga," sahut Haidar."Cuma sebentar, tidak level sama rayuannya sebelum menikah." Ciara sudah kesal, ia membalikkan badannya.Malam pertamanya terasa kacau. Hanya ada perdebatan yang ujung-ujungnya tetap banyak tidur karena Haidar tetap saja menolak akses untuk menuju banyak hal yang diinginkan Ciara. Namun, tidak dengan Haidar, dia memang seperti itu, ingin menunjukkan jati diri yang sesungguhnya, bagaimana sikap Haidar Jenggala yang asli.'Hhhh! Bawelnya … mengganggu waktu tidurku!' batin Haidar.'Sepi, apa bedanya dengan belum menikah? Aslinya kan Cia gak ingin nikah muda dari dulu! Jangan-jangan bener kata temen-temen, tapi Om yang satu ini bisa merebut hatiku! Kesel banget!' Ciara menggigit bibirnya, perasaan galau mulai hinggap lagi."Isbay, Istri Bayi Tersayang ... ini buat saku tidurmu. Panggilan sayang," ucap Haidar yang sangat menggugah senyum Ciara, tetapi ia pura-pura tidur karena malu dengan sikapnya yang barusan marah.***"Isbay, bangun! Kita sholat sunnah dulu!" Haidar menggerakkan kaki Ciara yang tertutup selimut."Om Sayang sudah wudhu?" tanyanya."Ya sudahlah, sudah rapi begini." Haidar membenahi songkoknya.Ciara bangun dan usil menyentuh Haidar tanpa penghalang. "Hahaha … batal."Haidar menatap lekat ke arah Ciara, sebagaimana tatapan cowok dingin. Wajahnya terlihat kesal, tetapi malas untuk berdebat di hari yang lumayan masih ngantuk. Mereka wudhu bersama dan menjalankan ibadah secara berjamaah. "Om mau jujur, tapi Isbay jangan marah," kata Haidar. "Jujur apa?""Om belum cinta sama kamu. Menikah juga karena rasa ta'dzim dan jabatan CEO, ngeluluhin Isbay kemarin hanya cosplay. Aslinya, Om itu orang yang dingin dan belum ingin menikah untuk saat ini," ungkap Haidar."Ngawur! Aku tidak bisa sesabar itu, ya jelas marah!" Ciara kembali duduk di atas ranjang."Maaf, tapi Om tidak akan melepaskan Cia. Sudah menangisnya! Ini bukan perkara yang menyedihkan, ini hanya tantangan. Bukannya Isbay yang cantik ini menyukai tantangan?" Haidar mencoba duduk di sampingnya.Ciara menoleh dengan wajah galak. "Tidak begini juga tantangan yang Cia suka! Ternyata pernyataan Om yang katanya manis sampai beruban itu omong kosong! Bener kata temen-temen Cia, huaaaa!"Haidar masih berpikir. Itulah keputusan yang telah diambil. Apa saja resiko yang muncul, itu sudah harus menetapkan sebagai langkah yang pasti. Intinya tidak boleh membiarkan dirinya lengah dan menyerah atas apa yang sebaiknya ia lakukan meskipun itu menyakitkan."Itu bukan omong kosong! Om akan pertahanin itu. Ya … bagaimana? Serba salah, sih! Begini saja, sekarang kan sudah terjadi meskipun Om belum cinta. Kita menikah baik-baik kok, jalur langit tidak ditinggalkan. Anggap saja sekarang menjadi tugas kamu untuk meluhkan, Om! Biar tahu rasanya juga pas Om meluluhkan kamu, tidak mudah, mulai dari kecelakaan sampai Om puyeng nonton video bikin sate ayam!" Haidar mengeluarkan napas panjang."Ceraikan saja mumpung lukanya masih satu hari!" pintanya."Gak akan! Om bukan laki-laki buruk yang ada dalam pikiran kamu. Belum cinta, bukan berarti selamanya tidak cinta!" Haidar mencubit pipi Ciara."Sebenarnya, Cia udah terlanjur jatuh cinta sama Om! Dendam ih ganti Cia yang ngeluluhin!" seru Ciara. "Kenapa cubit-cubit?""Tuh, kan … gak usah keluarin kata cerai lagi, justru perceraian itu malah bikin kamu lebih sakit. Tidak dendam, tetapi kenyataan mengharuskan begitu kalau kamu ingin bahagia. Semalam ingin dimainin, sekali dicubit malah protes!" Haidar melepaskan cubitan.Dingin bukan berarti selalu tidak peduli. Justru Haidar sebenarnya sangat peduli, hanya saja melakukan atau mewujudkan perkara dengan cara yang tidak biasa sehingga membuat Ciara atau siapa saja wanita yang menjadi istrinya merasa kurang disentuh dan memang kenyataannya seperti itu. Sekarang semua sudah terbongkar, tetapi tetap pura-pura cinta jika di depan orang tuanya mereka berdua. "Iya ... Om Sayang, tidak protes!" Ciara memeluk Haidar, marahnya seakan hangus begitu saja. "Sayang ya, pernikahan kita belum seperti sempurnanya kalam.""Tunggu saja! Aku akan memenuhi, tetapi juga harus kamu jemput!"Haidar yang seperti ini yang membuat Ciara bahagia dengan sangat. Ini yang membuat air matanya tidak bisa berlama-lama dan aslinya Ciara memang bukan orang yang mau merenung meskipun berada di titik terpahit. Ciara bahagia karena suaminya tidak menyerah begitu saja, dia lelaki yang bertanggung jawab, berani masuk merebut cintanya Ciara, Haidar tidak akan membuangnya begitu saja."Melewati ujian demi ujian dalam setiap rumah tangga adalah hal pasti yang ada dalam kehidupan dan inilah langkah kebahagiaan yang sesungguhnya. Rumah yang indah ya rumah tangga kita. Sesakit apa saja yang menerpa, aku itu temboknya dan Om dindingnya. Bertahan ya Om, kita harus kuat! Rumah kita akan lebih indah jika di dalamnya terdapat isi-isi yang bermanfaat, apa coba isinya?" Ciara memancing keromantisan suaminya, berusaha menepis bentuk dingin dari perlakuan Haidar, ia tetap memeluk suaminya.Meskipun risih, Haidar membalas pelukan Ciara. "Isinya, anak kita. Nanti bikin yang banyak, dapat twins, sesuai keinginan Om dari awal, semoga Allah menghendaki.""Aamiin," jawab Ciara berdoa."Namun, sabarnya jangan sampai lepas! Bikinnya tunggu sampai cinta Om bisa hadir ke Isbay. Perjodohan kita itu indah kok, asal kuncinya tidak dilepas," ucap Haidar, "kamu sabar menebar dan aku sadar ditebar."Senyum yang manis terurai dari bibir Ciara. Mengingat dan ingin selalu tersenyum tentang kunci yang suaminya berikan. Mereka bergegas untuk ke luar kamar hotel setelah sapaan mulut mereka selesai. ***"Om Sayang tetap kerja hari ini?" tanya Ciara."Iya," jawab singkat Haidar."Yaaahhh!" Ciara tiduran ke dada bidang Haidar yang sedang melihat ponsel."Bangun! Tidak usah seperti ini, Isbay!" Haidar berusaha membangunkan Ciara.Ciara kecewa, di hari yang masih pagi sikap dingin Haidar sudah mulai kembali lagi. Pada umumnya, setelah qobiltu itu sudah saatnya menikmati rasa cinta yang selama ini didambakan. Kali ini tidak terjadi pada Ciara dan Haidar yang masih terjebak dalam proses meluluhkan setelah diluluhkan meskipun telah mereka bicarakan baik-baik juga tentang sebuah kenyataan."Sewotnya! Istri tidak boleh dilakukan seperti ini!" bentak Ciara."Hukum siapa?" tanya Haidar."Hukum alam! Itu namanya tidak menghargai, Om! Katanya alumni pesantren, hati Om di mana … bisa tega begitu sama istri?" Ciara beralih untuk make up di depan cermin sembari mengusap air matanya dulu, baper menghampiri.Cia seorang BA kosmetik di perusahaan papanya yang juga masih menjadi seorang mahasiswa. Pagi itu seharusnya ia lebih cepat datang ke kantor. Namun, mengingat kenyataan dan sekarang menghadapi Haidar yang seperti itu, membuat sesaknya dada mengguncang lagi. Sepertinya, itu hal tersedih yang pernah ia alami selama ini."Berangkatnya kan bareng. Isbay tidak bersyukur banget! Kemarin yang mengecup kening, cubit pipi sama yang Isbay peluk siapa? Memang ya, perempuan itu selalu kurang!" Haidar ngomel sambil keluar kamar."Wajar ini mah, kurangnya 99℅, kita pengantin baru loh, Om! Harusnya juga masih menghabiskan waktu berdua, ini malah kerja kerja dan kerja!" gumamnya."Bukannya kamu gila kerja?" tanya Haidar."Kan sudah dibilang, lebih gila cintaku ke Om!"Ciara menjadi malas mau sarapan bersama dengan suaminya. Hal ini tidak bisa Haidar abaikan. Tidak dalam kesedihan saja, Ciara sering lupa makan. Apalagi saat harinya tidak baik-baik saja dan sudah muncul rasa malas? Suaminya harus gerak cepat mengembalikan mood makan."Ayo sarapan dulu!" ajak Haidar."Hhhhh! Mood makan udah kabur," jawab Ciara sembari mengangkat telepon. "J-jangan, Ma!""Isbay, kenapa? Dapat telepon dari siapa?" Haidar menghampiri istrinya yang terlihat panik."Ini, ada kabar dari keluarga Mamamu," jawab Ciara. "Kabar apa? Mana … kok sudah mati cuma sebentar?" tanya Haidar. "Hahaha … kena prank. " Ciara tertawa lepas, dia kesal dengan suaminya, sekalian saja di-prank. "Is, kamu masih waras? Masa baru beberapa hari nikah sama Om ... jadi gila?" Haidar menyentuh jidat Ciara. "Om Sayang apa, sih? Katanya suruh prasangka baik, lah ini … malah mengira kalau ciara gila!" keluhnya. "Hahaha, ingin ketawain saja. Yuk, buruan isi tenaga!" ajak Haidar. Haidar tahu saja kalau Ciara hanya prank. Begitulah dia, tidak mudah untuk dikelabui. Tidak kehabisan ide, Ciara terus bersikap centil di hadapan Haidar. Prank-nya gagal, tetapi tidak dengan langkah fisik selanjutnya. "Cium dululah!" pinta Ciara. "Om Sayang kan, tidak suka orang lebay!" Haidar ikut bercermin meraba dagu mulusnya sendiri. "Dulu saja mengancam mau cium waktu belum menikah, sekarang sudah menikah masa malah dibiarkan. Tidak mau mencium, ya sudah tidak mau makan!" seru Ciara. “Hhhh
"Tenang, kita liat sama-sama," jawab Haidar. Kabar tidak sedap kembali mengguncang. Tangis yang menderu itu, ternyata tangis tentang kabar kecelakaan pesawat yang tentunya menimbulkan banyak korban. Pihak yang akan bekerjasama dengan Haidar pun membatalkan pertemuan di waktu tersebut, mereka mengundur sehingga mengakibatkan Haidar mengurus kerjasama yang di luar kota terlebih dahulu. Pengunduran dilakukan karena pihak sana juga tahu akan kecelakaan tersebut yang mana beberapa korbannya merupakan anggota keluarga dari pihak yang akan bekerjasama. ***"Om Sayang, boleh minta sesuatu gak?" tanya Ciara. "Asal bukan anak," jawab Haidar. 'Hhh, minta jawaban aja," sahut Ciara. "Apa, hmm?" Mereka sudah dari tadi di atas ranjang, tetapi belum juga memejamkan mata karena Ciara terus saja mengajak bicara. Meskipun tidak jadi ke luar negeri, besok Haidar sudah harus berangkat ke luar kota. Seperti wanita pada umumnya, Ciara sengaja manja ke suami, walaupun dia juga tahu seharusnya malam ini
Ciara langsung bergegas untuk mandi. Ia orangnya mudah penasaran, apalagi ini tentang pernikahannya yang sekarang masih bermain dengan api meluluhkan. Haidar tersenyum samar, bahagia melihat senyum sang istri sudah mendarat. "Hemm, udah mandi," kata Ciara."Oke, Om mandi dulu ya, entar baru cerita," jawab Haidar."Jangan lama-lama, Sayang!" pintanya."Siap." Seperti peringatan istrinya, Haidar tidak terlalu lama di kamar mandi. Pada dasarnya, ia memang lelaki yang juga tidak suka berlama-lama di dalam kamar mandi. Istrinya sudah menunggu dengan dandannya yang mempesona. Dibilang tidak tertarik, itu munafik, Haidar tentu tertarik, tetapi tetap belum bisa melabuhkan cinta. "Tuh ganti bajunya, mau dipakaiin?" tanya Ciara. "Gak usah, biar cepet tak pakai sendiri saja." Haidar masuk ke ruang ganti baju. "Yee, dah rapi. Cerita sini sambil Cia sisirin," kata Ciara."Cerita apa?" "Tadi katanya mau cerita tentang pernikahan," jawabnya."Hehe, cuma bohongin Isbay saja, hahaha. Berchandya …
Terkejut dengan ucapan Ciara. Dalam bayang pikiran Haidar, istrinya tahu dari mana nomor ponselnya Bening. Ia masih berusaha santai dan tetap fokus ke laptopnya. Wajah dan kelakuan Ciara yang galak pun tidak bisa dikondisikan lagi, tanpa pikir panjang menggebrak meja kerjanya Haidar. Breghh."Astaghfirullahal'adzim, Isbay!" Haidar kaget dan langsung berdiri. "Aku ini sedang bicara sama Om!" teriaknya."Kalau kedatangan kamu cuma mau ribut, Om antar pulang sekarang!" seru Haidar."Tega ya! Om mikir gak sih, istri mana yang tidak cemburu jika foto suaminya diposting perempuan lain dengan caption love! Manaaaaa! Kecuali kalau memang orangnya seperti Om, nggak ada cinta untuk pasangan halalnya," omel Ciara."Duduk, Isbay … udah ya marahnya. Dapat nomer Bening dari siapa?" Haidar merangkul istrinya untuk duduk di atas ranjang."Mama Sita," sahutnya. Ciara terdiam melihat sorot mata suaminya yang tidak mungkin Haidar menduakannya. Hampir saja Haidar terpancing emosi, tetapi untungnya bisa
Ciara: "Hahaha, ngurusnya Sayangkuh! Buatnya mah gak ribet asal Om udah mau." Haidar: "Tau gak, Nduk? Wanitaku ini laksana air mata, kamu lambang dari segala teduh maupun rapuhku. Mau tidak mau, kamu tetap ikut merasakan apa yang menerpaku." Ciara: "Hahaha, mboten napa-napa, melow banget!" Haidar: "Ada hakmu yang belum aku penuhi." Ciara: "Mm, tapi sudah banyak hak lain yang Om berikan. Yang penting kita paham akan hak dan kewajiban, paham itu bisa menempatkan sesuai tempatnya juga. Maaf kalau merengek, tapi sejujurnya Cia mau anak kita lahir juga dengan benih cintamu, Sayang! Bukan sekedar nafsu. Om bahagia kan nikah sama Cia?" Haidar: "Bahagia, maaf ya … belum bisa utuh membahagiakanmu." Ciara: "Om Sayang dinginnya udah mulai anget nih, hehe … kangen!" Haidar: "Apa sih? Kalau beneran kangen, ya kamu makan dong, jangan ditunda lagi!" Ciara: "Asal VC-nya jangan dimatiin dulu." Haidar: "Iya." Ciara: "Om Sayang, Cia tuh ...." Haidar: "Ditelan dulu, nanti bicara lagi." *** "A
"Mau ke pesantren." "Untuk apa? Abah sama Ummah jam segini sudah istirahat, santri-santri pun juga, gak baik bertamu di jam segini, Cantik. Besok ya?" kata Haidar. "Aku cuma mau lihat gerbangnya doang habis tuh pulang!" rengeknya. "Ya udah, yuk berangkat!" Haidar melirik sejenak dan tanpa aba-aba mengangkat istrinya untuk masuk mobil. Keinginannya dituruti begitu saja sudah senang banget. Meskipun hanya untuk melihat gerbang pesantren, selama tidak merugikan istrinya, Haidar tetap berangkat. Lelahnya sudah lenyap dengan pengakuan cinta dan rasa syukur yang tumbuh dalam dirinya. "Om udah siapin tiket honeymoonnya sesuai pilihan kamu waktu itu sama Mama. Nggak berubah pikiran kan?" tanya Haidar. "Nggak dong, udah cocok," jawab Ciara. "Ehmm, kenapa menangis?" Haidar terkejut setelah menoleh, ternyata air mata sang istri bercucuran. "Kangen mondok, huaaaaa!" "Hahaha …." Haidar tertawa lepas. "Apa yang lucu?" sahut Ciara ketus. "Gak lucu, tapi kamu imut banget kalau nangis gitu,
"Apa! Nggak usah jeda-jeda gitu napa sih kalau ngomong!" rajuk Ciara. "Isbay-Isbay, oke bicara ... dan Om tuh hutangnya banyak banget sama kamu," jawab Haidar. "Hutang apaan? Gak ada hutang apapun," jawab Ciara. "Hutang perasaan," kata Haidar. "Sudahlah, Cia gak permasalahin itu. Lagian, kata Om yang harus dipikir tuh senengnya aja, bukan sedihnya jika ingin bahagia. Lebih baik fokus doa deh di sini, semoga Allah cepat memberi Huda, Dhuha, dan Badri." "Aamiin. Ya udah kita langsung ke makam sekarang," ucap Haidar. "Mengke riyen, mau makan brem dulu, hehe." Ciara mengedipkan matanya dan melirik tangan Haidar yang membawa bremnya. Haidar belajar banyak belajar mengenali wanita dari istrinya. Mulai dari wanita yang telah terkoordinasi dengan sensitif, peka, cemburuan, dan dan lain-lain. Ciara memberi banyak bahasa untuk Haidar rangkai dalam hidupnya. Kisah pertemuannya tiba-tiba, tapi memberi ruang yang begitu luas untuk kebahagiaannya. "Mau disuapin?" tanya Haidar. "Maulah, menu
"Om Sayang!" teriak Ciara. "Kenapa wajah kamu begitu?" "Ada yang diam-diam lewat di belakang mobil kita," bisik Ciara. "Yakin? Mana?" "Itu tuh, lari ke kiri." Ciara menunjuk larinya sosok berhodi hitam. "Biar Om suruh orang buat menelusuri. Yang penting sekarang mobil beres, kamu bisa cepet istirahat." Haidar melanjutkan untuk mengantar istrinya ke masjid. Haidar menelpon Spion, karyawan yang sekaligus sahabat bermuka dua itu untuk diuji coba. Karena ia curiga bahwa pelaku ban kempes itu ialah dia, dengan motif kecemburuan dan keserakahannya ingin merebut warisan keluarga jenggala. Ditambah, ia yang akan menempati jabatan CEO-nya saat itu jikalau Haidar tak bisa meluluhkan Ciara. Hal inilah yang menjadi alasan di atas alasan, papanya Haidar sangat mempercayai Spion, dan belum tahu mengenai sikap serta niat buruknya. Membangun perusahaan sampai sebesar itu tidak melalui cara yang tiba-tiba, Haidar menghargai perjuangan para leluhurnya , sehingga tetap mempertahankan perusahaan di