Share

Bab 5. Tiupan Malam Pertama

"Menikahnya sudah Om yang minta. Sekarang ganti Cia yang milih malam pertamanya. Mau di hotel aja! Kalau di hutan dingin!" rengek Ciara.

"Justru dinginnya itu yang dicari," jawab Haidar.

"Ogah, Cia mboten purun!" Ciara memonyongkan bibirnya.

"Kedah purun," sahut Haidar.

"Dibilang tidak mau ya tidak mau! Menyeramkan, Om! Cia tuh … takut gelap yang akut sebenarnya," ungkap Ciara. "Kenapa tertawa?"

"Ya sudah ngikut kamu," jawabnya.

Haidar mengalah untuk yang ini. Pikirannya sudah tertata karena jabatan CEO tetap berhasil. Haidar menyadari, selesai masalah satu, dia akan menghadapi perkara baru. Namun, itu sudah menjadi pilihannya.

***

"Siapa yang beliin baju itu? Siapa juga yang suruh pakai!" Haidar menutup mata.

"Om kok begitu, tidak senang?" tanya Ciara.

"Kamu terlalu menggoda!" Haidar berjalan ke ranjang, tetapi malah berselimut sendiri.

Entah, harus dengan bahasa apa Haidar mengatakan yang sebenarnya. Pernikahan yang hanya pura-pura dijalankan dengan cinta. Menikahnya secara umum, jelas karena karena Allah, Haidar paham syariat. Namun, secara tujuan antar manusia, ia menikah karena rasa ta'dzim kepada papanya dan demi jabatannya sebagai CEO.

"Cuek ... Om marah karena kita tidak malam pertama di hutan?" Ciara membuka selimut Haidar.

"Tidak," jawab Haidar.

"Katanya menggoda, kok nggak dimanfaatin?" tanyanya.

"Nduk, gak usah bawel! Kita tidur aja!" perintah Haidar.

Bukan itu yang Ciara harapkan. Malam pertama disuguh dengan sikap dingin? Tentu hal yang sedikit saja tidak Ciara harapkan. Soalnya, sikap Haidar saat mengajak Ciara menikah dengannya, itu sudah panas banget bagi Ciara. Sungguh di luar nalar yang membuat kesedihan perempuan itu menghampiri.

"Hadap sini! Tidak ingin kah, coba-coba mainan baru?" Ciara bangun dari tidurnya.

"Sudah dibilang, tidur saja! Kita kan masih capek, tidak usah maksain diri!" Haidar membalikkan badannya meskipun nada bicaranya lumayan tinggi.

"Om Sayang kok berubah, mainan yang ringan kan, banyak. Om pasti lebih tahu tentang itu!" rengeknya membuat sikap galaknya seakan hangus begitu saja.

"Iya, Om lebih tahu banyak dari kamu. Makanya nurut, tidak usah ngeyel! Tidur lagi!" Haidar menarik tangan Ciara.

"Iiih, menyebalkan! Bukan malam pertama begini yang Ciara inginkan. Mana bisa tidur? Seribu harapan dimusnahkan, mengobrol tidak, main apalagi! Cuma disuruh tidur, tidur dan tidur mulu!" racau Ciara.

Haidar mendekatkan bibirnya ke jidat Ciara untuk mengecup kening saja, tidak lebih dari itu. "Tuh, sudah main kan? Ngomel saja terus kalau itu bisa buat bahagia! Om mau tidur, Good Night, Nduk!"

"Kesambet apa, sih! Kenapa mendadak begini sikapnya Om Sayang?" kesal Ciara.

"Sudah dikecup juga," sahut Haidar.

"Cuma sebentar, tidak level sama rayuannya sebelum menikah." Ciara sudah kesal, ia membalikkan badannya.

Malam pertamanya terasa kacau. Hanya ada perdebatan yang ujung-ujungnya tetap banyak tidur karena Haidar tetap saja menolak akses untuk menuju banyak hal yang diinginkan Ciara. Namun, tidak dengan Haidar, dia memang seperti itu, ingin menunjukkan jati diri yang sesungguhnya, bagaimana sikap Haidar Jenggala yang asli.

'Hhhh! Bawelnya … mengganggu waktu tidurku!' batin Haidar.

'Sepi, apa bedanya dengan belum menikah? Aslinya kan Cia gak ingin nikah muda dari dulu! Jangan-jangan bener kata temen-temen, tapi Om yang satu ini bisa merebut hatiku! Kesel banget!' Ciara menggigit bibirnya, perasaan galau mulai hinggap lagi.

"Isbay, Istri Bayi Tersayang ... ini buat saku tidurmu. Panggilan sayang," ucap Haidar yang sangat menggugah senyum Ciara, tetapi ia pura-pura tidur karena malu dengan sikapnya yang barusan marah.

***

"Isbay, bangun! Kita sholat sunnah dulu!" Haidar menggerakkan kaki Ciara yang tertutup selimut.

"Om Sayang sudah wudhu?" tanyanya.

"Ya sudahlah, sudah rapi begini." Haidar membenahi songkoknya.

Ciara bangun dan usil menyentuh Haidar tanpa penghalang. "Hahaha … batal."

Haidar menatap lekat ke arah Ciara, sebagaimana tatapan cowok dingin. Wajahnya terlihat kesal, tetapi malas untuk berdebat di hari yang lumayan masih ngantuk. Mereka wudhu bersama dan menjalankan ibadah secara berjamaah.

"Om mau jujur, tapi Isbay jangan marah," kata Haidar.

"Jujur apa?"

"Om belum cinta sama kamu. Menikah juga karena rasa ta'dzim dan jabatan CEO, ngeluluhin Isbay kemarin hanya cosplay. Aslinya, Om itu orang yang dingin dan belum ingin menikah untuk saat ini," ungkap Haidar.

"Ngawur! Aku tidak bisa sesabar itu, ya jelas marah!" Ciara kembali duduk di atas ranjang.

"Maaf, tapi Om tidak akan melepaskan Cia. Sudah menangisnya! Ini bukan perkara yang menyedihkan, ini hanya tantangan. Bukannya Isbay yang cantik ini menyukai tantangan?" Haidar mencoba duduk di sampingnya.

Ciara menoleh dengan wajah galak. "Tidak begini juga tantangan yang Cia suka! Ternyata pernyataan Om yang katanya manis sampai beruban itu omong kosong! Bener kata temen-temen Cia, huaaaa!"

Haidar masih berpikir. Itulah keputusan yang telah diambil. Apa saja resiko yang muncul, itu sudah harus menetapkan sebagai langkah yang pasti. Intinya tidak boleh membiarkan dirinya lengah dan menyerah atas apa yang sebaiknya ia lakukan meskipun itu menyakitkan.

"Itu bukan omong kosong! Om akan pertahanin itu. Ya … bagaimana? Serba salah, sih! Begini saja, sekarang kan sudah terjadi meskipun Om belum cinta. Kita menikah baik-baik kok, jalur langit tidak ditinggalkan. Anggap saja sekarang menjadi tugas kamu untuk meluhkan, Om! Biar tahu rasanya juga pas Om meluluhkan kamu, tidak mudah, mulai dari kecelakaan sampai Om puyeng nonton video bikin sate ayam!" Haidar mengeluarkan napas panjang.

"Ceraikan saja mumpung lukanya masih satu hari!" pintanya.

"Gak akan! Om bukan laki-laki buruk yang ada dalam pikiran kamu. Belum cinta, bukan berarti selamanya tidak cinta!" Haidar mencubit pipi Ciara.

"Sebenarnya, Cia udah terlanjur jatuh cinta sama Om! Dendam ih ganti Cia yang ngeluluhin!" seru Ciara. "Kenapa cubit-cubit?"

"Tuh, kan … gak usah keluarin kata cerai lagi, justru perceraian itu malah bikin kamu lebih sakit. Tidak dendam, tetapi kenyataan mengharuskan begitu kalau kamu ingin bahagia. Semalam ingin dimainin, sekali dicubit malah protes!" Haidar melepaskan cubitan.

Dingin bukan berarti selalu tidak peduli. Justru Haidar sebenarnya sangat peduli, hanya saja melakukan atau mewujudkan perkara dengan cara yang tidak biasa sehingga membuat Ciara atau siapa saja wanita yang menjadi istrinya merasa kurang disentuh dan memang kenyataannya seperti itu. Sekarang semua sudah terbongkar, tetapi tetap pura-pura cinta jika di depan orang tuanya mereka berdua.

"Iya ... Om Sayang, tidak protes!" Ciara memeluk Haidar, marahnya seakan hangus begitu saja. "Sayang ya, pernikahan kita belum seperti sempurnanya kalam."

"Tunggu saja! Aku akan memenuhi, tetapi juga harus kamu jemput!"

Haidar yang seperti ini yang membuat Ciara bahagia dengan sangat. Ini yang membuat air matanya tidak bisa berlama-lama dan aslinya Ciara memang bukan orang yang mau merenung meskipun berada di titik terpahit. Ciara bahagia karena suaminya tidak menyerah begitu saja, dia lelaki yang bertanggung jawab, berani masuk merebut cintanya Ciara, Haidar tidak akan membuangnya begitu saja.

"Melewati ujian demi ujian dalam setiap rumah tangga adalah hal pasti yang ada dalam kehidupan dan inilah langkah kebahagiaan yang sesungguhnya. Rumah yang indah ya rumah tangga kita. Sesakit apa saja yang menerpa, aku itu temboknya dan Om dindingnya. Bertahan ya Om, kita harus kuat! Rumah kita akan lebih indah jika di dalamnya terdapat isi-isi yang bermanfaat, apa coba isinya?" Ciara memancing keromantisan suaminya, berusaha menepis bentuk dingin dari perlakuan Haidar, ia tetap memeluk suaminya.

Meskipun risih, Haidar membalas pelukan Ciara. "Isinya, anak kita. Nanti bikin yang banyak, dapat twins, sesuai keinginan Om dari awal, semoga Allah menghendaki."

"Aamiin," jawab Ciara berdoa.

"Namun, sabarnya jangan sampai lepas! Bikinnya tunggu sampai cinta Om bisa hadir ke Isbay. Perjodohan kita itu indah kok, asal kuncinya tidak dilepas," ucap Haidar, "kamu sabar menebar dan aku sadar ditebar."

Senyum yang manis terurai dari bibir Ciara. Mengingat dan ingin selalu tersenyum tentang kunci yang suaminya berikan. Mereka bergegas untuk ke luar kamar hotel setelah sapaan mulut mereka selesai.

***

"Om Sayang tetap kerja hari ini?" tanya Ciara.

"Iya," jawab singkat Haidar.

"Yaaahhh!" Ciara tiduran ke dada bidang Haidar yang sedang melihat ponsel.

"Bangun! Tidak usah seperti ini, Isbay!" Haidar berusaha membangunkan Ciara.

Ciara kecewa, di hari yang masih pagi sikap dingin Haidar sudah mulai kembali lagi. Pada umumnya, setelah qobiltu itu sudah saatnya menikmati rasa cinta yang selama ini didambakan. Kali ini tidak terjadi pada Ciara dan Haidar yang masih terjebak dalam proses meluluhkan setelah diluluhkan meskipun telah mereka bicarakan baik-baik juga tentang sebuah kenyataan.

"Sewotnya! Istri tidak boleh dilakukan seperti ini!" bentak Ciara.

"Hukum siapa?" tanya Haidar.

"Hukum alam! Itu namanya tidak menghargai, Om! Katanya alumni pesantren, hati Om di mana … bisa tega begitu sama istri?" Ciara beralih untuk make up di depan cermin sembari mengusap air matanya dulu, baper menghampiri.

Cia seorang BA kosmetik di perusahaan papanya yang juga masih menjadi seorang mahasiswa. Pagi itu seharusnya ia lebih cepat datang ke kantor. Namun, mengingat kenyataan dan sekarang menghadapi Haidar yang seperti itu, membuat sesaknya dada mengguncang lagi. Sepertinya, itu hal tersedih yang pernah ia alami selama ini.

"Berangkatnya kan bareng. Isbay tidak bersyukur banget! Kemarin yang mengecup kening, cubit pipi sama yang Isbay peluk siapa? Memang ya, perempuan itu selalu kurang!" Haidar ngomel sambil keluar kamar.

"Wajar ini mah, kurangnya 99℅, kita pengantin baru loh, Om! Harusnya juga masih menghabiskan waktu berdua, ini malah kerja kerja dan kerja!" gumamnya.

"Bukannya kamu gila kerja?" tanya Haidar.

"Kan sudah dibilang, lebih gila cintaku ke Om!"

Ciara menjadi malas mau sarapan bersama dengan suaminya. Hal ini tidak bisa Haidar abaikan. Tidak dalam kesedihan saja, Ciara sering lupa makan. Apalagi saat harinya tidak baik-baik saja dan sudah muncul rasa malas? Suaminya harus gerak cepat mengembalikan mood makan.

"Ayo sarapan dulu!" ajak Haidar.

"Hhhhh! Mood makan udah kabur," jawab Ciara sembari mengangkat telepon. "J-jangan, Ma!"

"Isbay, kenapa? Dapat telepon dari siapa?" Haidar menghampiri istrinya yang terlihat panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status