Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi.
“Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya.
“Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih.
“O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya.
“Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya.
Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu.
Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir.
“Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari permukaan itu sendiri. Mbak Sumi belum tahu siapa aku. Jangan sampai ucapan Mbak Sumi malah berbalik ke Mbak Sumi sendiri.” Ratih tidak tahan kalau tak membangkang. Perempuan seperti Sumi ini satu kotak dengan Prapto. Mereka tidak bisa dikasih hati, Ratih harus berhati-hati setelah melihat kibaran bendera perang.
“Kamu cukup bernyali ternyata.” Sumi tersenyum, segera pergi dari kamar Ratih karena ada satu hal yang lebih penting menurutnya.
Ratih menutup pintu kamarnya keras. Tebakannya benar adanya. Menikah dengan Prapto adalah awal hidupnya memasuki neraka. Andai dia tak asal bicara, mungkin tak seperti ini sekarang.
*****
Prapto ....
Pria itu baru selesai mandi, menghilangkan jejak penat di tubuhnya. Handuk yang baru saja digunakan untuk mengeringkan rambut disampirkan ke tempatnya. Prapto mengambil sisir dan merapikan rambutnya di depan cermin. Dari sana pula terpantul Sumi yang baru saja membuka pintu kamar. Prapto tetap merapikan rambutnya, tangan Sumi yang meraba tubuh telanjangnya dari belakang. Namun, hanya dibalas senyuman saja oleh Prapto.
Sumi menyandar di punggung Prapto. “Dari sekian banyak wanita yang kamu bawa ke sini hingga akhirnya kamu menikah dengan Iis dan Fitri, kamu selalu meminta izin dariku dulu. Apa istimewanya Ratih sampai kamu melupakan hal sepenting itu, Kakang?” tanya Sumi yang belum melepas pelukannya.
Prapto terkekeh, meletakkan sisirnya, dan mengurai tangan Sumi yang membelit tubuhnya. Prapto berbalik, duduk di kursi santai yang ada di kamarnya, “Tidak ada yang lebih penting sekarang, kamu tahu atau tidak, tetap tidak akan mengubah keputusanku,” jawab Prapto.
Sumi ikut duduk di sebelah Prapto, “Apa cintamu untukku sudah hilang?”
Prapto terkekeh, “Tidak ada yang hilang, tidak ada juga yang tumbuh, kamu tetap menduduki posisi tertinggi di hatiku.” Prapto menjauhkan diri, merebahkan kepala di pangkuan Sumi, saat Sumi mengusap kepalanya, Prapto memejamkan mata untuk menikmati sentuhan itu.
Sumi tersenyum mendengarnya, “Benarkah? Aku sangat bahagia.” Tangan Sumi masih membelai, lalu memijit karena gemas dengan Prapto.
“Ini sangat nyaman, Sumi.” puji Prapto. Dia pun membuka mata dan segera menarik tengkuk Sumi agar menunduk untuk bisa mencium bibir Sumi. Saat lumatan kecil menjadi semakin liar, letupan gairah pun memanas dengan sendirinya. Prapto mengajak Sumi memadu kasih, saling memacu untuk merengkuh asa bersama, tanpa memikirkan hal lain yang menyapanya silih berganti.
*****
Malam kini tiba. Ratih tidak pernah tahu kalau rumah sebesar ini memiliki kamar mandi di setiap kamarnya. Seperti dirinya saat ini, dia tak perlu ke luar kamar hanya untuk membuang seni dan mandi sekali pun. Saat ketukan di pintu terdengar, Ratih berdiri untuk membukakan pintu itu.
“Ya?”
“Ndoro Ratih, saya yang diperintahkan mbok Jum untuk menemani Anda. Makan malam sudah siap, Anda diminta bergabung ke ruang makan.”
Ratih menarik napas panjang dan dalam, “Di mana ruang makannya?”
“Saya akan mengantar Anda, Ndoro Ratih. Mari!” Pelayan itu berjalan lebih dulu meski sesekali menoleh ke majikan barunya.
Sesampainya di ruang makan, Ratih duduk di tempat yang diperuntukkannya, tak mengambil apa pun karena semua orang yang duduk juga belum mengambil makanan. Prapto tidak ada di tempat ini, sepertinya semua orang menunggu Prapto.
Sumi baru datang. Iis dan Fitri segera tersenyum ke arahnya dan dibalas oleh anggukan dari Sumi. Dia menoleh ke Ratih dan dapat melihat keangkuhan di wajah itu, Sumi pun terkekeh melihat sikap Ratih.
Tak lama, Prapto pun datang. Pria itu segera duduk dan memberikan piring kosong ke Sumi. “Bukankah malam ini tidak ada orang yang datang untuk minta sumbangan?” tanya Prapto.
“Acara tujuh harian sudah selesai, Kakang,” jawab Fitri.
Prapto mengangguk. “Malam ini kita bicara dulu, setelah makan jangan langsung tidur.”
“Ini, Kakang.” Sumi memberikan piring Prapto, baru kemudian mengambil makanan lagi untuk dirinya sendiri, dan disusul oleh penghuni lain.
Setelah semua orang yang ikut duduk di meja makan mengambil makanan, barulah Ratih mengambil makanan untuknya. makan dalam diam sambil menunggu kejadian apa saja yang akan dilewatinya di rumah besar ini.
Seperti yang diinginkan tadi, Prapto dan keempat istrinya duduk di ruang tengah, “Di rumah ini tidak ada yang lebih tua atau yang baru,” Prapto menoleh ke Ratih, “seperti Ratih, semua di sini sama, tidak ada yang istimewa dan berhak minta jatah lebih banyak atau apa pun, aku akan memperlakukan semuanya secara adil. Hanya ada satu kepala keluarga, dan itu adalah aku, jadi siapa yang akan tidur bersamaku hanya aku yang boleh memilih.”
Prapto mengedarkan padangan, menatap semua istri-istri yang selalu taat padanya, “Paham?”
“Iya, Kakang,” jawab ketiganya serentak.
Hanya Ratih yang tak menjawab. Dia tak tertarik sedikit pun dengan pembicaraan yang membosankan ini. Dirinya malah bergidik dan membayangkan apa yang dikatakan Prapto membuatnya semakin jijik.
Prapto menoleh ke Ratih. Hanya Ratih yang tidak menjawab dan itu membuatnya heran. “Kamu tidak menjawab? Apa ada yang membuatmu keberatan atau bahkan masih bingung?” tanya Prapto.
Ratih membuang napas kasar, “Apa kamu tahu? Apa yang kamu katakan barusan menjijikkan. Tidakkah kamu merasa risi? Mengumbar semuanya di depan kami? Bahkan, tanpa kamu katakan, kami pun tahu tentang kewajiban kami. Tapi, kamu membeberkan semuanya seolah kamu ini hebat. Memalukan!” Ratih berdiri. Dia menarik jarik yang dia kenakan setinggi lutut, dan kembali ke kamarnya.
Prapto tak menyangkal. Namun, harga dirinya seolah dirobek oleh Ratih. Wibawanya runtuh di depan ketiga istrinya karena digulung begitu saja oleh Ratih.
“Kakang—“ Sumi segera menutup mulutnya saat Prapto menghentikan protesnya melalui tangan yang terangkat.
Prapto yang terbakar emosi segera ke luar. Dia ingin menyegarkan dirinya sendiri untuk beberapa saat atas penghinaan ini.
“Mbak Sumi, siapa Ratih? Anak itu sepertinya menentang kakang Prapto?” tanya Iis saat suaminya sudah tidak di ruangan itu.
“Jangan berpikir begitu, Ratih memang masih sangat muda, umurnya saja jauh dariku,” bela Fitri, “sepertinya, Ratih masih kaget karena tahu kakang Prapto punya tiga istri.” imbuhnya lagi.
Sumi terkekeh, “Jangan membelanya, Fitri! Iis benar, Ratih memang menantang Prapto tadi. Sangat terlihat kalau dia tidak suka, tapi aku juga tidak tahu kenapa semua sikapnya seolah berbanding terbalik dengan kenyataan Ratih yang mau menjadi istri kakang Prapto.”
Iis mengangguk, “Iya, aku setuju sama Mbak Sumi.”
Sumi pun terkekeh lagi.
“Kalian tidurlah, biar aku yang mengajari Ratih tentang cara bersopan santun di sini.” Sumi segera beranjak dari ruang keluarga untuk pergi ke kamar Ratih.
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Ratih mencuci tangan setelah puas memberi makan kelinci pemberian Prapto. Hari ini terasa rumah besar ini begitu sepi, tak seramai biasanya, dan itu membuat Ratih rindu dengan ibu dan bapak yang dia tinggalkan tak lebih dari sebulan itu. Dia pun pergi ke dapur, para pelayan yang sibuk segera menunduk hormat, dan itu membuatnya canggung. Ratih hanya diam di tempat saat ini.“Ndoro Ratih, membutuhkan sesuatu atau ingin membuat sesuatu?” tanya pelayan pribadi Ratih.“Apa ...aku boleh menggunakan dapur?” tanya Ratih.“Tentu saja. Mari, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mempersilakan juragannya. “Ndoro lainnya juga menggunakan dapur ini, Njenengan bisa ke sini kalau ingin masak sesuatu, saya akan membantu dan mencarikan apa pun yang tidak tersedia di dapur bersih ini.” ucap pelayan itu lagi.Ratih tersenyum, mendekat ke dapur yang ditunjuk pelayan itu, dia membuka almari, banyak bahan makanan dan perabotan yang bagus. Ratih tersenyum semakin lebar, tangannya yang lincah segera menghasilkan karya,
Ratih membuka mata, ini bukan kamarnya, dan cuitan burung di luar seolah menyadarkan kalau hari sudah berganti. Lebih mengejutkan lagi saat Prapto terlelap di sebelahnya. Ratih segera bangun, dia menimang bagaimana dirinya bisa lancang naik ke ranjang dan tidur, kalau Prapto tahu? Ratih segera menggeleng, turun dan duduk di tempat yang semalam didudukinya. Tangannya dengan enggan mengulur untuk menyentuh kening Prapto, dingin melebihi tangannya sendiri, Ratih yakin kalau Prapto sudah membaik. Dia pun ke luar dari kamar itu, “Akh!” Terkejut saat melihat Fitri di depannya.“Ratih? Kamu tidur di kamar kakang Prapto?” tanya Fitri heran.“Hm ...Mbak Fitri ...kapan pulang?” tanya Ratih sambil menunduk.Fitri tak akan terpengaruh, “Baru saja, mbak Iis masuk mandi, tapi kenapa kamu sepagi ini di kamar kakang Prapto? Kamu—““Ada apa?” Prapto baru muncul dari balik pintu kamarnya.Fitri menarik salah satu sudut bibirnya, “Kakang Prapto, semalam tidur dengan Ratih?” tanyanya yang diangguki oleh
Sedari kebun Ratih tidak fokus dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Saat ini dia ada di kadang memberi makan kelincinya, pikirannya terus melayang ke beberapa jam nanti, dan itu membuatnya tak dengan saat Iis memanggilnya. Lengannya yang terasa tercubit meski kecil, membuat Ratih sadar, dan menoleh, “Mbak Iis?”“Aku memanggilmu seperti orang gila dan kamu tetap melamun di sini dengan kelinci tak bergunamu ini?” tanya Iis sinis.“Maaf, Mbak Iis.” Ratih merasa tak ada yang benar sejak tadi.Iis hanya membuang napas kasar, “Ini.” Diulurkannya lumpang, “Fitri sibuk, dia memberikan ini padaku agar diberikan ke kamu, kuharap lumpang itu bisa berguna bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua penghuni rumah besar ini, apa kamu paham?” tanyanya setengah mengejek.Ratih mengangguk. Setelah Iis pergi, dia pun melihat lumpang barunya, tersenyum karena sesuai dengan apa yang dia perkirakan, dan segera membawanya ke dapur. Ratih membuat jamu, dengan begitu dia akan merasakan suasa rumah, kerindu
Kebaya merah melekat ke kulit langsat yang bersih. Lampu temaram yang sudah meredup membuat drama semakin seru, dada naik turun Ratih membuatnya Prapto tahu kalau gadis kecil itu sangat gugup. “Kamu ...” ucapannya terus menggantung karena sorot mata tak kunjung lega.“Ingat, Mas Prapto. Setelah kamu memiliki anak dariku, maka lepaskanlah aku.” Ucapan itu sangat menyakitkan untuk Ratih, tapi dia juga tak ingin terus mendekam dalam sangkar emas ini.“Aku tidak akan membiarkan perceraian hadir dalam hidupku.” tolak Prapto tegas.“Aku di sini hanya untuk membayar hutangku, tidak lebih, tak ada perasaan apa pun, berbeda dengan ke tiga istrimu, Iis yang kau ajak bercanda di taman tadi—““Apa kamu cemburu?” tukas Prapto.Ratih menahan amarahnya, tombak ucapan Prapto menancap tepat di dadanya.“Meski semua kata sengaja kamu katakan untuk menggagalkan malam ini, aku akan tetap melakukan apa yang seharusnya, Ratih.” Prapto membuka kancing surjan yang dia kenakan, “Kalau kamu memang menganggap s
Sudah terlalu siang. Semua orang di rumah besar sarapan terlambat hari ini karena Prapto ke luar tak tepat waktu. “Sumi belum pulang?” tanya Prapto di sela makan.“Belum, Kakang.” jawab Iis, “Semalam hujan di daerah sana, bukankah rumah yatim itu tempatnya hampir sama dengan tempat bazar? Aku yakin mbak Sumi terjebak hujan. Kalau sudah begitu mungkin nanti malam baru sampai.” imbuhnya lagi.“Maaf, Mas. Aku ke belakang dulu.” Ratih baru saja selesai makan, dia segera berpamit dan pergi setelah Prapto mengangguk.Fitri mengerutkan kening, “Bukankah selama ini Kakang tidak pernah suka saat melihat kami pergi lebih dulu sebelum Kakang selesai makan? Kenapa dengan Ratih tidak? Bocah ingusan itu melanggar adat di rumah ini.” ketusnya.Prapto terkekeh, “Habiskan saja makananmu, aku akan berangkat ke pasar sekarang.” Prapto mengusap bibirnya dengan sapu tangan, bersiap untuk berdiri dan pergi.Iis malah tertawa meski menutupi bibirnya dengan sebelah tangan, “Itu karena Kakang Prapto baru saja