"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
"Tidak terasa, seminggu lagi masa pernikahan kontrak ini akan berakhir." Seorang gadis bergumam, seraya menghela napasnya dan menatap piring yang sudah mulai bersih dia cuci.Dia merapikannya ke dalam rak, lalu mengambil sebuah kain lap dan mulai melangkah ke arah meja-meja. Di meja makan seorang pria sedang duduk, terlihat begitu datar dan angkuh."Kenapa? Kau sedih hanya karena akan bercerai dariku?" tanyanya dingin dan angkuh. Stella Danasya Gracia, itu adalah nama dari gadis yang sedang mencuci piring itu. Dia menatap ke arah Bian Dominic, suaminya, alias suami kontraknya yang sedang sarapan di atas kursi makan."Tidak, aku hanya mau mengingatkan.""Tidak perlu kau ingatkan juga, aku tidak akan lupa." Bian berkata datar lalu menatapnya seraya bangkit. "Kau bersiap saja untuk semua rencananya. Jangan membuat ulah di hari perceraian kita."Setelah itu, semua pembicaraan selesai begitu saja karena Bian sudah akan pergi berangkat bekerja ke perusahaan. Tetapi belum sempat dia melangka
Stella mengejar langkah Bian yang sengaja memintanya untuk bicara berdua kala ibunya mulai tenang dan tertidur.Bagaimanapun ini harus diluruskan, bagaimana bisa Bian seenaknya begitu? Dia kira hamil dan melahirkan itu mudah? Setelah melahirkan, dengan sangat santai mereka akan berpisah? Benar-benar tidak punya hati! Seenaknya membuat keputusan dan seenaknya pula mengakhiri semuanya."Bian!"Pria yang sedang duduk di kursi belakang itu tampak acuh saat Stella memanggilnya. Hal yang membuatnya bergerak dan berdiri dihadapan Bian."Bian ... kau harus memikirkan semua ucapan dan janjimu itu. Bagaimana bisa kau malah menyetujui permintaan Mama? Siapa yang akan mengandung anakmu? Aku?" tanyanya dengan wajah yang memerah, tampak hampir marah karena pria ini bertindak sesuka hatinya.Memutuskan sesuka hatinya, memaki sesuka hatinya. Dia kira dia siapa? Stella sudah tidak mau berurusan dengannya lagi dan bagaimana mungkin Bian malah mengatakan hal itu."Aku juga tidak memintamu mengandung ana
"Maaf atas kekeliruan yang sudah kulakukan, masih ada waktu. Aku dan Stella akan memperbaikinya dan melakukan dengan sungguhan apa yang diminta oleh Mama." Bian melangkah ke arahnya, membuat Stella mengerutkan dahi. "Kami akan memperbaikinya, iya, 'kan, Stella?"Stella mengerutkan dahinya makin dalam, dia tak mau. Ini diluar dari kesepakatan! Apa-apaan ini?"Stella ..." panggil Bian pelan tapi juga tajam dipendengarannya. Stella menatap dalam-dalam wajah pria tampan yang dingin dan sesuka hatinya ini. Benar-benar brengsek! Kemana rasa berani dari Bian yang selama ini dia tunjukkan? Kenapa tidak muncul di hadapan bibinya? Tangan Bian terasa melingkar dipinggangnya, menariknya hingga tubuh mereka berdempetan. Stella mengerutkan dahinya dengan mata yang mulai menajam, tapi Bian malah tersenyum seakan-seakan menahan rasa takut dan tak bisa melawan."Sebenarnya kami ada masalah dalam rumah tangga, makanya kami bertengkar tadi," ujarnya dengan lembut membuat Stella melotot. "Kami akan mem