Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
(Empat tahun sebelumnya … )Namanya Rania Manalli. Gadis berusia 19 tahun yang sangat periang, hingga seluruh penduduk desa itu menjulukinya gadis matahari. Berparas cantik, periang, pintar dan berbadan proporsional, harusnya tak menjadi penghalang bagi Rania untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang dia inginkan. Tapi nyatanya kini dia hanyalah tinggal di desa kecil ini. Rania hidup berdua dengan sang ayah, yang bekerja sebagai buruh tani miskin. Setiap musim panen, ayahnya akan mendapatkan imbalan dari si pemilik sawah atas kerja kerasnya menanam padi.Rania memilih untuk bekerja sebagai guru les anak-anak SD di sekitar rumahnya, dengan bayaran yang lumayan untuk membeli sayur dan lauk pauk harian. Rania selalu mensyukuri apapun, bahkan dalam hal paling kecil dan tak berarti.Brak!!Keributan besar tiba-tiba terjadi di halaman rumah Rania. Orang-orang bergerombol, namun tidak ada satu orang pun yang maju untuk mengecek keadaan.Maka Rania yang baru saja pulang dari mengajar, berlari
Rania duduk tersungkur. Pias memandang para warga yang membantu proses penurunan jasad ayahnya. Sepanjang malam dia hanya merenung, membiarkan sang ayah bergelantungan diam tanpa meminta pertolongan. Dia sama sekali tidak menangis. Bahkan untuk sekedar mengedipkan mata pun, Rania sudah tak punya tenaga. Segala rasa sakit dan penderitaannya telah terkuras habis, kecewa karena dikhianati sang ayah.Sang ayah yang lebih memilih menyusul ibunya, daripada berjuang sampai darah terakhir bersamanya. Padahal Rania telah merelakan masa mudanya yang cerah demi memberikan kehidupan yang lebih baik.“Ran, jenazah ayahmu sudah kami bereskan. Pemakamannya pun sudah. Kami minta, kamu segera pergi dari rumah ini,” ucap kepala desa, yang kasak-kusuk terdengar suara di belakangnya.“Kenapa? Ini rumah saya,” protes Rania.Kepala desa itu menoleh ke belakang, seakan meminta pendapat orang-orang yang berkasak-kusuk di belakang punggungnya.Dia menarik nafas panjang. “Kami tidak suka para preman Tuan Hadi
“T-tapi … “ Pria tua itu terbata-bata tak percaya, saat si pria muda dengan lantang berteriak akan melunasi seluruh hutang Rania.Si pria muda berjalan angkuh ke hadapan si pria tua. “Bilang pada ayahku, aku yang akan melunasi seluruh hutang ayahnya. Termasuk bunganya,” tegas si pria muda sekali lagi.Rania tidak bisa banyak bersuara. Lidahnya terkunci, masih berusaha memutar ulang ucapan pria muda itu di dalam otaknya. ‘Apakah ini yang disebut malaikat pelindung?’ batin Rania.Maka karena tak punya lagi alasan untuk berada lebih lama di rumah Rania, para preman itu beranjak pergi–meski hati mereka tampak dongkol dan kecewa.Si pria muda itu menoleh, memandang Rania yang masih berdiri kaku sedikit ketakutan.“Siapa namamu?” tanyanya.Rania gelagapan. Dia ingin menjawab, namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.“Siapa namamu?” tanya pria itu sekali lagi. “Kamu tidak perlu takut. Kamu aman sekarang,”“Rania. Rania Manalli,” Akhirnya Rania mendapatkan kembali suaranya.Pria muda i
Ingatan Rania kembali pada kenangan empat tahun lalu, saat dia pertama kali menerima tawaran Tama untuk menikah. Tawaran naif dari seorang gadis muda, yang menganggap cinta itu ada.Dan kini dia menyesali keputusannya. Keputusan yang membawanya pada sebuah penderitaan mental tanpa akhir.Rania memikirkan segalanya dengan sangat matang. Dia ingin menghabisi Tama secara perlahan dan diam, agar saat hari kematian Tama datang, tak akan ada orang yang mencurigainya.Bahkan saat ini, detik ini juga, dia harus merelakan urat malunya pergi saat tubuhnya dipertontonkan bagaikan objek oleh Tama–dihadapan anak buahnya.“Bagaimana? Apakah menurut kalian istriku cantik?” tanya Tama, dengan nada dingin nan keji. Dia menatap satu persatu anak buahnya–yang berjumlah delapan orang itu dengan irama ketukan pistol senada jarum jam.“Bagaimana?” Nada Tama merendah.Namun tak ada satu pun yang berani menjawab, meski tidak ada juga yang menundukkan kepala mereka.Tubuh Rania gemetaran, dan refleks menutup
“S-sejak kapan?” Bergetar tangan Rania, memegangi sekantong kecil obat pemberian Arif.Pria itu melirik Rania dari balik spion tengah. “Aku tahu, sejak awal kita bertemu, bahwa aku tidak bisa meremehkanmu begitu saja,” ucap Arif. “Tapi aku juga tidak menyangka jika kamu menggunakan cara ini untuk lepas dari Tama,”“Lalu apa yang harus kulakukan?!” Rania berteriak. Dia membuang obat itu, kembali ke arah Arif. “Apakah ada hal yang bisa kulakukan selain membunuhnya pelan-pelan? Kamu tahu, aku bukan wanita baik. Aku hanya wanita yang ingin bebas,” isak Ranian, tak sadar riasan yang telah susah payah dipoleskan itu kembali rusak–karena Rania menangis.Arif menggenggam erat kemudi mobilnya. “Apakah hanya itu cara yang kamu punya?” tanyanya.“Kenapa, Rif?” Rania balik bertanya. “Kamu mau melaporkanku pada Tama?”Arif memungut kembali obat itu. Pelan-pelan dia arahkan pada Rania, tanpa memutar tubuhnya.“Tidak ada kebaikan yang bisa menang melawan kami. Kamu harus berpikir seperti kami, untuk