Namanya Kiyara, berusia dua puluh tujuh tahun. Pekerjaan sehari-harinya hanya mengurus rumah dan suami. Kemampuan istimewa lainnya tidak ada, selain memasak di dapur. Kiyara yang hanya mengenyam pendidikan sampai SLTA tidak diijinkan oleh suaminya;Elang untuk bekerja di pabrik atau sekedar menjaga toko. Semua itu dilakukan agar keduanya segera diberi momongan.
Tak ada yang begitu istimewa dari kehidupan rumah tangganya, selain suami yang sangat menyayangi dan bersabar atas dirinya yang banyak sekali kekurangan. Yah ... walau beberapa kali ada tawaran untuk mengikuti lomba memasak di media sosial atau di lingkup ibu-ibu PKK, tetapi Kiya tidak pernah meresponnya. Duduk di rumah menonton TV layar datar besar, sambil sesekali berbincang dengan para tetangga adalah hobinya untuk mengusir penat.Namun di satu hari, semua berubah. Tepatnya di hari ini, suaminya telah menikah lagi dengan wanita yang bisa dibilang hampir sempurna. Mungkin memang tidak ada cela pada sosok Huri Hamasah;madunya.Cantik, pintar, dari keluarga berada, dan gadis itu tidak sombong. Kiya tahu itu, karena memang pernah beberapa kali bertemu dengannya dan bertegur sapa. Huri aktif membantu ibunya di lingkungan sekitar. Saat ada pembagian sembako murah di halaman rumahnya yang besar, Kiya datang ke sana dan disambut Huri dengan hangat.Justru itu yang membuat Kiyara semakin merasa kecil dan tidak ada apa-apanya dibanding Huri. Hati suaminya pun bisa terbagi dua karena gadis itu. Tidak ada yang bisa menjamin, saat lelaki dan wanita berada di atas kasur yang sama, di antara alunan rintik hujan seperti ini.Kiya duduk di atas ranjang dengan pandangan kosong dan hampa. Pintu kamar tidak ia kunci, begitu pun pintu depan, ia berharap sang suami kembali ke rumahnya malam ini, walau kemungkinannya hanya satu persen. Matanya berair. Kiya mengusap ujung matanya dengan jari tengah, lalu mematut diri di cermin. Garis lengkung bibirnya tertarik ke atas. Kita tertawa pelan. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. Sungguh tidak akan ada wanita yang benar-benar ikhlas berbagi cinta suaminya pada wanita lain. Apalagi, wanita itu jauh unggul darinya.KringKringKiya tersentak. Badannya berbalik menatap sisi kasur yang biasanya ditempati oleh suaminya. Ponselnya di sana memancarkan cahaya kerlap-kerlip dan memunculkan nama 'Suamiku Sayang'.Secepat kilat Kiya meraihnya, lalu menggeser layar terima.["Halo assalamualaikum."]["Halo, Kiya. Kamu belum tidur, Sayang?"]["Tidak ada istri yang bisa tidur, jika mengingat ini malam pertama suaminya dengan wanita lain."]["Kamu menangis?"]["Tidak perlu Abang tanya. Dari suaraku saja, Abang tahu'kan?"]["Maafkan Abang Kiya. Ada rahasia di balik ini semua. Besok Abang akan cerita. Abang juga tidak bisa tidur mengingat kamu. Rasanya Abang ingin sekali memeluk kamu. Maafkan Abang ya?"]Kiya tertawa. Namun tawa itu terdengar mengejek. Kiya merasa, suaminya penuh dengan omong kosong. Bukannya suaminya menelepon dirinya, karena baru saja selesai mendayung pulang sampai ke seberang?["Ada apa? Kenapa kamu tertawa?"]["Perkataan Abang lucu. Abang kan di sana juga ada istri. Masih muda, cantik, kaya pula. Pasti karena itu Abang tidak menolak untuk dinikahkan dengannya'kan? Jangan dibantah! karena aku tahu itu kenyataannya."]Elang di seberang sana baru saja hendak membuka mulutnya untuk menyanggah Kiya, tetapi tidak tega. Biarlah ia dengarkan dahulu kekesalan dan kemarahan sang istri.Suara isakan kembali terdengar. Kiya menangis pilu sambil memegang ponselnya.["Kalau Abang ingin memelukku, kenapa tidak pulang saja kemari? Pintu tidak aku kunci."]
["Abang sangat ingin, tetapi tidak bisa. Malam ini, ijinkan Abang menemani Huri ya? Besok dan seterusnya, Abang akan membagi jadwal antara kamu dan Huri."]["Aku mau, Abang lebih banyak bersamaku!"]["Iya."]["Huri hanya boleh satu hari saja bersama Abang. Aku tidak ijinkan lebih dari itu. Karena kalau sampai lebih dari sehari, lebih baik kita cerai!"]["Kiya, jangan memulai!"] suara Elang terdengar kesal, karena ada kata cerai yang kembali keluar dari bibir istrinya.["Abang cinta sama Kiya gak?"]["Ya ampun, Kiya ... kenapa pertanyaan konyol seperti itu ditanyakan? Udah pasti Abang cinta sama kamu. Tidak akan bisa Abang berpaling mencintai Huri. Hanya ada kamu di hati Abang. Memang terdengar lebay, tetapi itu kenyataannya."]["Kalau cinta diperjuangkan dong! Abang'kan udah menurut mau Ibu. Sekarang, Abang harus patuh pada keputusanku. Sehari saja jatah Huri dan enam hari jatahku."]["Iya, oke. Satu hari jatah aku bersama Huri dan enam hari bersama kamu. Sudah ya, jangan menangis di sana. Besok Abang ke rumah, Abang sudah rindu."]Elang terlalu asik berpacaran di telepon bersama Kiya, sehingga ia tidak sadar, bila Huri terbangun dan mendengar semua ucapan suaminya. Ia tidak boleh egois. Jika ia menjadi Kiya, bisa saja saat ini dia membakar rumah madunya karena cemburu. Kiya hanya menangis di seberang sana dan bersikap manja pada Elang. Ia tidak akan cemburu dan dia tidak boleh cemburu.Huri berbaring dengan tubuh kaku. Sudah satu jam suaminya berbincang di telepon dan sepertinya tidak ingin tidur. Huri masih setia menunggu. Hingga tiba-tiba saja perutnya terasa tidak nyaman. Huri turun dari ranjang, lalu bergegas ke kamar mandi. Elang yang melihat Huri masuk ke dalam kamar mandi, mendadak pias. Lelaki itu menutup panggilannya bersama Kiya, dengan mengatakan ia mules.Awalnya Kiya kembali marah karena itu hanya alasan Elang saja, tetapi setelah dibujuk lama, baru Kiya setuju dengan Elang untuk tidur. Panggilan pun ditutup dengan saling kecup di ponsel.Huri keluar dari kamar mandi dan berjalan kembali ke kasurnya. Dengan canggung, Elang meletakkan ponsel di samping bantalnya, lalu berbaring kaku."Tidak apa saya tidak kebagian cinta. Tidak apa saya hanya kebagian sehari saja dalam sepekan, karena saya tahu, Bang Elang sudah memiliki istri yang sangat Bang Elang cinta. Saya hanya minta, jika ingin bermesraan di ponsel, jangan sampai didengar oleh saya. Saya juga istri'kan? Posisi kami sama di mata Tuhan. Tidak mau menyentuh saya juga tidak apa-apa, paling-paling, bulan depan ada dua wanita yang akan jadi janda." Elang menelan ludah. Kalimat terakhir dari Huri kembali membuatnya takut._Bersambung_Ada tim Kiyara dan Elang?Atau Huri Hamasah dan Elang?Bisa juga Kiyara, Huri, dan Elang?"Kenapa Mama menatapku seperti itu?" Bu Latifah dan Bu Rima saling menoleh, lalu tersenyum di balik bibir mereka. Alis gadis itu mengerut. Huri merasa ada yang aneh dengan tatapan kedua ibu yang sudah duduk bersiap di meja makan.Huri menarik kursi untuknya, lalu satu kursi lagi di sampingnya untuk Elang yang belum turun dari lantai dua. Rambutnya yang masih basah, digulung dengan handuk kecil. Wajahnya segar dan aroma sampo dan sabun juga sangat segar ditangkap oleh penciuman."Mana Elang?" tanya Bu Latifah pada menantunya."Ada di atas, Bu. Lagi bersiap mau ke toko. Sebentar lagi turun," sahut Huri sambil menyesap tehnya."Loh, kenapa ke toko? Kalian'kan pengantin baru, kenapa tidak di rumah saja memadu kasih, atau saling berbincang?" tanya Bu Latifah pada Huri. Gadis itu tertawa kecil, lalu menoleh ke belakang, saat mendengar langkah kaki suaminya mendekat."Di sini, Bang." Huri menepuk
"Bang." Huri mengayunkan lima jarinya di depan wajah Elang. Lelaki itu tersentak kaget, lalu mengalihkan pandangan."Ada apa?" tanyanya, lalu senyuman lebar menggoda mengembang di bibir Huri."Apa sedang membayangkan sesuatu? Saya minta cium mungkin? Ha ha ha ... Kalung saya sudah terlepas, kenapa Abang masih bengong? Ayo, katanya harus buru-buru kerja." Huri tertawa renyah, lalu dengan mudahnya berdiri lebih dahulu dari suaminya. Tangannya terulur untuk membantu Elang berdiri, namun sayang, lelaki itu memilih bangun sendiri dengan wajah merah padam menahan malu.Aku menikahi gadis atau jin sih? Kenapa dia bisa tahu bayangan apa yang ada di kepalaku? Elang bergumam dengan bulu tangan yang tiba-tiba meremang."Ini tasnya." Huri berhasil mengambil ransel suaminya. Elang menerima barangnya dengan canggung, lalu membuka resleting di dalamnya. Lelaki itu berjalan ke depan kamar mandi, lalu membuka keranjang pak
“Abang pasti sudah meniduri Huri?” Kiya masih terisak pedih. Ia memunggungi Elang. Sama sekali enggan untuk melihat wajah suaminya. Hatinya sudah terlanjut terbakar api cemburu.“Itu tidak benar.”“Oh ya? Mana ada laki-laki yang bisa menahan godaan wanita cantik dan seksi di depannya. Halal pula. Jangan berbohong, Bang,” sergah Kiya masih dengan suaranya yang bergetar. Elang tidak mengeluarkan suara. Ia tahu istrinya pasti saat ini merasakan api cemburu yang membara dan juga sakit hati yang amat dalam. Tangan Elang terulur untuk meraih ujung rambut Kiya, membawanya ke hidungnya. Elang sangat suka aroma sampo yang dipakai oleh istrinya.“Kamu tuh harus tahu, Kiya—bahwa tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih seksi, dan lebih menggoda dari kamu. Saat bersamanya saja, Abang selalu merasa bersalah pada kamu.” Terde
Elang menarik ujung bibirnya dengan ringan, membentuk senyuman samar, sekaligus tragis. Ia tidak ingin mengingat apapun dari masa lalu Kiya yang kelam. Cukup untuk menjadi rahasia mereka berdua saja. Bahkan Ibunya saja tidak mengetahui cukup baik perihal kehidupan Kiya sebelum bertemu dengannya. Elang menatap istrinya tanpa kata-kata. Pandangannya sekilas memang terasa sedang emosi, tetapi Elang berusaha mengontrol dirinya. Ia tidak boleh marah pada Kiya. Karena di posisi saat ini, Kiyalah yang paling terluka dan itu karena dirinya dan juga ibunya.Kiya yang merasa suaminya sedang marah, hanya bisa diam sambil mengepalkan tangannya. Jarang sekali amarah Elang tersulut seperti ini dan dia belum pernah sama sekali dibentak oleh suaminya. Namun baru sehari saja di rumah Huri, Kiya hampir tidak mengenali suaminya. Ia memalingkan wajah, malas bertatapan dengan Elang.“Aku sudah sering mengingatkanmu, Kiya, jangan pernah singgung masa
Jumat pagi, Elang mengatakan pada Kiya akan masuk bekerja hari ini. Ada beberapa pelanggan yang memintanya untuk membetulkan AC dan juga kulkas. Malam panas yang dilewatinya dengan Kiya, tidak serta-merta membuatnya lupa akan janjinya pada Huri. Sepanjang malam tidurnya tidak nyenyak mengingat istri mudanya itu mungkin sedang menunggunya. Sarapan mi goreng yang dihidangkan istrinya dimakan dengan lahap, begitu juga dengan segelas air putih hangat.“Abang nanti lembur lagi?” tanya Kiya saat mengantar Elang sampai di depan teras.“Kalau sedang banyak panggilan saja, kalau tidak ya … langsung pulang,” jawab Elang sambil tersenyum. Kiya pun membalas senyuman suaminya dengan hangat, lalu mengambil punggung tangan Elang untuk dikecup.“Abang berangkat ya.” Elang sudah naik ke atas motor. Menyalakan mesin motornya, lalu meluncur di jalanan yang tidak terlalu rata.Jika Kiy
“Mau ke mana?” tanya Elang dengan canggung saat berjalan beriringan dengan Huri di koridor kampus E.“Ke kamar.” Langkah Elang terhenti dengan wajah menegang. Lelaki itu menelan ludahnya kasar, tanpa berani menoleh pada Huri. Sedangkan gadis yang berdiri di sampingnya malah tertawa cekikikan. Inilah yang membuat Huri sangat sedih bila Elang mengabaikannya. Suaminya ini bagai anak perjaka yang selalu digoda janda. Malu-malu tidak jelas.“Saya hanya bercanda. Bagaimana kalau nonton bioskop? Ada film horror yang lagi rame di media sosial. Judulnya ‘Huri Ngesot’.” Elang lagi-lagi terpaksa menghentikan ayunan langkahnya mendengar ucapan Huri yang selalu saja asal sebut. Ingin ia tertawa, tetapi tidak mungkin. Ia harus tetap jaim di depan istri mudanya.“Mana ada judul seperti itu? yang betul ‘Suster Ngesot’,” tukas Elang sambil kembali melangkah menuju parkiran mot
Ketika Elang mengatakan 'ya', bukan main bahagianya hati Huri. Wajahnya menunduk malu dengan detak jantung yang tidak beraturan. Apakah secepat ini? Tangan dan kakinya terasa membeku dan tidak bisa digerakkan. Baru sekedar ucapan, belum sampai jadi nyata.Film suster itu pun kini sudah tidak menarik lagi. Di kepalanya hanya memikirkan bagaimana nanti saat tidur bersama Elang. Apakah dia sudah menggosok daki? Atau apakah dia sudah memakai deodoran tadi? Huri menjadi pusing sendiri memikirkan bagaimana nanti malam pertamanya dengan suaminya.Elang pun ternyata membuktikan ucapannya. Lelaki itu benar-benar tidur bersama Huri di bioskop. Film horor yang sebenarnya tidak terlalu ia suka, karena bisa berdampak padanya saat di rumah, terpaksa harus ia pelototi selama hampir delapan puluh menit. Maka Elang memutuskan memejamkan mata, dengan kepala bersandar di punggung kursi."Bang, eh ... kok tidur? Ayo, filmnya sudah habis," ser
Kiya menunggu suami kembali dari toko. Seperti biasa , Elang akan pulang sebelum Magrib, jika toko sedang tidak terlalu ramai. Nmaun jika ada pekerjaan yang harus diburu, maka bisa saja Elang pulang jam sembilan malam. Kiya baru selesai salat, saat suara motor suaminya memasuki teras rumah. Segera ia bergegas berjalan keluar kamar untuk membukakan pintu. Rumah kontrakan yang mereka tempati memang sedikit berbeda dari kontrakan pada umumnya. Jika di kontrakan Kiya, ada dua kamar dan juga satu ruang tamu, serta dapur berukuran kecil. Kamar mandi juga lumayan kecil, hanya dua kamar saja berukuran cukup besar. Mereka memang mencari kontrakan yang memiliki dua kamar, karena mengira Bu Latifah;ibu dari Elang akan tinggal bersama mereka.“Assalamualaykum,” seru Elang saat melihat Kiya membukakan pintu rumah masih dengan mukenanya. Wanita itu mencium punggung tangan suaminya, lalu meraih ransel Elang untuk digantung di paku yang ada di ruang tengah