“Katakan kalau kamu bukan bidadari yang sedang tersesat di bumi.” Nesa tersenyum tersipu, balas memandang suaminya yang sedang mengagumi pantulan dirinya di cermin. “Kamu ... sangat cantik, Nes,” puji Barata dengan bangga, dagunya bertumpu pada pundak Nesa yang terbuka. Sementara tangannya melingkari perut sang istri yang malam ini tampak seperti peri—cantik, mungil, murni.Barata sangat bersyukur, sepulang dari desa Nesa, hubungan mereka berangsur menjadi hangat. Telinganya sudah tidak pernah lagi mendengar kalimat ketus dan sengit dari bibir Nesa. Pun perangai dan sikap istrinya itu kini menjadi manis dan penurut. Kalau malam waktu sebelum tidur, Nesa tidak pernah menolak atau memberontak saat tubuhnya dipeluk Barata. Sampai bangun di pagi hari, tubuh gadis berparas ayu itu menempel di dada bidangnya. “Ah, tidak jadi pergilah. Begini saja. Saya mau berlama-lama memandang dan mengikatmu seperti ini,” kata Barata lagi seraya mengeratkan pelukannya di tubuh mungil sang istri. Dia ju
Narendra seperti dihantam palu tepat di jantungnya kala mendengar klaim Barata. Cintanya layu sebelum berkembang. “Istrimu?” Bahkan dia tak sadar bibirnya bergerak, menunjukkan kalimat yang baru saja menelusup ke telinga begitu mengejutkan. Matanya mengerjap lambat, masih mencoba mencerna. Bahkan, atensinya masih terpaku pada sosok yang dia asumsikan sebagai Anggun—adik Barata, beberapa saat lalu. “Kami menikah sekitaran sebulanan yang lalu,” jelas Barata dan dia kesal melihat Narendra. “Hei, tatap aku. Aku sedang berbicara.”Barata meraih tangan Nesa di bawah meja lalu mengangkatnya ke permukaan, menggenggamnya di atas meja. Dia sengaja melakukan itu untuk menegaskan bahwa Nesa miliknya. Narendra menelan kekecewaan dan berjuang menyembunyikannya dari dua sosok yang duduk bersebelahan itu. Dia mencoba mengulas senyum dan kini tatapannya jatuh pada Barata. “Aku nggak dengar kabar pernikahanmu. Anak-anak juga nggak ada yang ngabarin,” tutur Narendra. Anak-anak yang dikatakan itu meru
Semua kepala lantas menoleh pada sumber suara. Dalam sekejap, pria yang berjalan perlahan itu menjadi pusat atensi tiga sosok dengan sorot mata berbeda. Barata dengan pandangan menusuk, tatapan Narendra yang menelisik dan Nesa yang memandang dengan jijik. “Siapa yang kamu sebut kelinci kecil, Pecundang?” Tatapan Barata yang penuh permusuhan dia kirimkan pada Awan. Sementara sang istri meremas tangannya dengan gelisah. Barata merasakan telapak kecil itu basah oleh keringat. Dia tahu respons tubuh sang istri diakibatkan syok melihat keparat itu. Putra dungu Tuan Wirang itu pernah menyandera Nesa dan Barata yakin terjadi hal yang tidak menyenangkan selama Nesa dalam genggaman si pecundang itu. “Kalau yang kamu maksud itu istriku, maka tarik lagi ucapanmu itu kecuali dirimu ingin kubuat babak belur tidak berdaya di atas tanah, seperti waktu itu, heh!” Barata bukan hanya menggertak, sebab dia sudah mulai menyingsing lengan kemejanya hingga siku, bersiap bertarung. Melihat pertunjukan t
“Oh, aku lupa kalau ini memang kamarmu,” kata Nesa, melihat Barata yang tampak keras kepala—enggan meninggalkannya. “Seharusnya aku sadar diri. Kalau begitu, biar aku yang keluar.”Nesa berusaha berdiri dengan kekuatannya yang lemah, menyeret kakinya ke pintu. Jiwa Barata kian diterjang rasa bersalah kala melihat kondisi kaki sang istri. Seharusnya dia lebih mampu mengolah emosi, tetapi yang terjadi justru kalap karena terlalu dikuasai api cemburu. “Biar saya saja yang keluar,” ujar Barata. “Tapi setelah saya obati kaki kamu.”“Aku nggak butuh diobati. Kakiku baik-baik aja.” ‘Karena yang beneran sakit adalah hatiku. Kejadian ini dan kamu yang tempramen membuatku menjadi ragu buat memulai hubungan kita. Padahal sebelumnya aku berniat menerima takdir ini, mulai membuka hati buatmu, tapi—’“Auww!” Nesa memekik terkejut merasakan tubuhnya melayang, tahu-tahu dia sudah berada di atas kedua lengan suaminya. Lengannya pun secara reflek mengalung di leher Barata. Barata mendudukkan Nesa
“Roman-roman mukamu kok kayak orang kurang asupan gizi, Bar,” ledek Naren yang melihat sahabatnya itu tidak bersemangat. Dua hari setelah kejadian di restoran malam itu, hari ini akhirnya Naren berkunjung ke kediaman sahabatnya. Selain berniat silaturrahmi, dia juga ingin memastikan keadaan Nesa, perempuan yang akhir-akhir ini terbayang di benaknya. Apakah dia baik-baik saja karena sikap dingin Barata hanya saat itu saja dan sesampainya di rumah hubungan mereka kembali hangat, atau sedih karena dampak kejadian itu menjadi berlarut-larut. Sungguh, Naren sudah berusaha menghapus wajah Nesa serta kekagumannya terhadap istri sahabatnya itu, tetapi wajah Nesa masih kerapkali muncul. Dan ... dia memiliki kerinduan terhadap sosok gadis itu.“Efek begadang, ngecek-ngecek kolam,” sahut Barata, sambil melarikan perhatiannya pada ikan-ikan di kolam. Sementara tangannya melempar pakan, terlihat gurame-gurame itu berebutan.“Lah, apa gunanya itu Romi? Terus itu orang-orangmu? Mereka makan gaji bu
“Terus pantau dia.” Seorang pria berbicara melalui saluran telepon genggamnya. Sorot matanya terlihat berkilat-kilat licik, sementara satu sudut bibirnya terangkat. Saluran komunikasi dia matikan, pria itu lalu menelepon kontak lain, seseorang yang sudah dengan sangat siap menerima perintah. “Tau apa yang musti kamu lakukan?” tanyanya pada seseorang di seberang. “Tau, Juragan. Saya akan melakukan sesuai perintah Juragan.” Terdengar suara di seberang menjawab, mengundang senyum puas terbit di bibir si lelaki paruh baya yang terlihat masih bugar dan muda, seakan usia hanyalah angka baginya. “Bagus. Jangan kecewakan aku, Ramli,” tekan pria itu setengah mengancam, lalu mematikan sambungannya secara sepihak. Beberapa detik kemudian, pria itu tampak menyimpan kembali telepon pintar miliknya ke dalam saku. Lalu tangannya terangkat ke dagunya yang ditumbuhi bulu dengan lebat, mengusap-usapnya dengan lembut. “Barata, Barata. Beberapa tahun nggak nemu cara balas dendam ke kamu, sekarang akh
“Apa yang bisa kamu lakukan untuk saya, Nes?”Suara berat dengan bahasa formal yang kaku itu menyentak kesadaran Nesa. Sudah pasti lelaki itu persis dengan apa yang digambarkan kepalanya. Dari namanya saja seolah sudah terbaca; Barata—Tua, tambun, jelek dan genit. Jemari Nesa meremas ujung baju kurungnya yang menjuntai hingga atas lutut dengan kuat. Dia dikirim ke rumah besar ini sebagai tebusan utang menggunung bapaknya pada sang tuan tanah.Dia harus kabur dari sini. Dia sudah berbalik dan hendak mengeluarkan jurus seribu langkah, tetapi suara bariton lelaki itu berhasil menghentikannya.“Jika kamu nekat keluar dari rumah ini, maka pintu rumah ini akan selamanya tertutup untuk kamu. Dan kamu tahu apa artinya?”Nesa meneguk salivanya susah payah. Bapaknya akan dipenjara jika tidak segera melunasi utang itu dan bagaimana nasib adik-adiknya selanjutnya?Akhirnya dia menggeleng dan segera berbalik lagi menghadap lelaki yang sedang duduk memunggunginya itu. Dia tak boleh egois. Mungkin
“Mbok Damiii.” Terdengar seruan yang memanggil nama perempuan itu. Mbok Dami dengan tergopoh-gopoh keluar kamar Nesa dan meninggalkan obrolan mereka.“Iya, sebentar Mas Rom!” Nesa menghela napas dalam-dalam. “Dari suara beratnya dia terdengar tua. Mungkin rumor itu nggak sepenuhnya cuma rumor. Nesa, sebaiknya legowo dan bersiaplah menjadi istri lelaki tua.” Dia memejamkan matanya.Bebera jam kemudian. Saat langit sudah tampak gelap.“Mbak Nesa, bangun Mbak.”Dengan setengah kesadarannya, Nesa mendengar suara Mbok Dami membangunkannya dan merasakan tangan perempuan itu mengguncang lengannya.“Bangun, Mbak. Ini saya bawakan baju dan peralatan mandi untuk Mbak Nesa. 20 menit lagi waktunya makan malam.” Sambil menggosok kedua matanya, Nesa menguap. “Makasih lagi Mbok, sudah bangunkan saya,” ucap Nesa setelah kesadarannya berangsur pulih. Beberapa jam di perjalanan membuat tenaganya terkuras dan untunglah beberapa jam lalu tidurnya nyenyak dan mudah-mudahan efektif mengembalikan tenagan