Tangan wanita itu bergelayut manja di tangan sang pria. Sambil mengucapkan kata-kata candaan yang tampaknya sama sekali tak menarik si pria. Keduanya berjalan menuruni undakan, menuju mobil yang sudah terparkir di teras gedung. Namun, sesosok mungil yang melangkah mendekat segera menghentikan langkah si pria. Mulutnya menegang mengenali sang wanita.
“Ada apa, Lucius?” wanita cantik yang bergelayut di lengannya mengangkap kepalanya, mengikuti arah pandangan Lucius. Senyum di wajahnya seketika membeku, menatap si wanita dengan pakaian lusuh tersebut. Dress yang sudah memudar warnanya dan rambut panjang bergelombang yang dikuncir asal-asalan. Membuat beberapa helai rambut tersebut menutupi wajah mungilnya yang tirus. Dan bahkan sandal yang dikenakan sama sekali tak layak untuk di pakai, apalagi di tempat sepremium ini. Penampilannya tak ada beda dengan gembel dan sudah jelas tak punya rasa malu karena berani menginjakkan kaki di tempat ini. “A-apa …”Tangan Lucius terangkat sebelum si wanita cantik menyelesaikan makian yang sudah ada di ujung lidah. “Kau datang?” dengusnya menatap penampilan wanita itu mencemooh.Si wanita kumuh mengangguk pelan, sejenak melirik ke arah wanita cantik dan seksi yang berdiri di samping Lucius. Menatapnya tak suka. “Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ucapnya lirih. Hampir tak terdengar.“Lucius.” Wanita cantik itu sengaja mendekatkan wajahnya ke wajah Lucius saat berkata, “Kita harus bergegas. Semua orang sudah menunggu kita.”Lucius sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari si wanita kumuh. Menarik lengannya dari dekapan wanita cantik. “Kau pergilah dengan Albert, Divya.”Raut Divya berubah muram, ingin membantah tapi tangan Lucius lagi-lagi terangkat. Ia tak butuh diperingatkan dua kali. Wanita itu pun berjalan ke mobil yang seharusnya menunggu mereka dan hanya akan membawanya.“Well, selarut ini kau repot-repot datang kemari, pasti ada sesuatu yang penting, kan?” Ujung bibir Lucius menyeringai. “Calia.”Calia menggigit bibirnya, bisa merasakan tatapan jijik Lucius. “A-aku membutuhkan bantuanmu.”“Ya, memangnya apalagi yang akan membawamu kepadaku jika bukan uang?”Ada luka yang menggores di kedua mata Calia yang berair, tetapi wanita itu segera mengerjapkan matanya. “Bisakah kau memberikan apa yang kuinginkan?”“Tergantung apa yang bisa kau berikan padaku.”“Apapun.”Seringai licik Lucius naik lebih tinggi, sekali lagi mengamati penampilan Calia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Satu jawaban itu sudah cukup untuk merenggut hidup Calia yang tak bisa dimilikinya. Sekaligus menuntaskan dendam yang mengendap di dadanya. “Apapun?”Calia mengangguk dengan cepat, sebelum kewarasannya kembali. “Apa yang bisa kau berikan untukku?”Pertanyaan tersebut tentu saja menyinggung seorang Lucius Cayson. Memangnya apa sih yang diinginkan oleh wanita itu sehingga masih mempertanyakan hal semacam itu. Meski begitu, Lucius tetap menjawab dengan penuh keangkuhannya. Mumpung suasana hatinya sedang baik. “Apapun.”Calia mengangguk lagi. Ya, hanya itu yang ia butuhkan dari seorang Lucius Cayson.“Dan aku ingin pembayaranku sekarang juga.”Mata Calia membelalak. “S-sekarang?”Salah satu alis Lucius terangkat. “Kau keberatan?”Calia jelas tak punya pilihan. Ia pun menggeleng.“Baguslah.” Lucius menangkap pergelangan tangan Calia dan membawa wanita itu menuju trotoar, dengan cepat mendapatkan taksi untuk mereka.“Hotel Bell King.” Lucius memberitahu tujuannya. Sementara Calia menggigit bibir bagian dalamnya dengan gugup. Tentu saja ia mengenali nama hotel bintang lima tersebut. Kedua tangannya yang berada di atas pangkuan saling meremas dan mulai berkeringat. Tubuhnya menegang, mempertanyakan keputusannya. Apakah ini keputusan terbaiknya? Apakah ini sepadan?Calia meyakinkan dirinya sendiri. Ya, semua ini sepadan. Ini satu-satunya harapannya. Jangankan tubuhnya, bahkan jika Lucius menginginkan nyawanya sebagai pembayaran, ia akan memberikannya. Apapun itu, layak untuk apa yang diinginkannya dari seorang Lucius Cayson.Part 1 Biaya 500 Juta‘500 juta?’ Calia mengulang nominal fantastis yang baru saja diucapkan oleh Reno. Sang dokter yang menangani buah hatinya, Zayn. Nominal yang tak masuk akal baginya. Tapi …Reno mengangguk, ada rasa iba yang menyergap dadanya dan merasa bersalah telah mengucapkan nominal tersebut.‘Apakah itu kesemuanya biaya?’Reno menggeleng. ‘Masih ada biaya kamar dan lainnya yang masih belum rinci.’Calia mengerjap mengingat perbincangannya denga sang dokter kemarin siang. Yang mendorongnya melakukan kenekatan ini. Lucius Cayson, seharusnya menjadi satu-satunya orang yang tak mungkin ia datangi. Namun, ia tak bisa memungkiri pria itulah satu-satunya harapan yang dimilikinya di tengah keputus asaannya saat ini.Jantung Calia berdegup kencang ketika kecepatan taksi mulai menurun dan benar-benar berhenti di teras gedung hotel yang tinggi menjulang di tengah kota. Tentu saja ia tahu apa yang diinginkan oleg Lucius darinya di tempat ini. Perasaannya campur aduk dan wajahnya, ia ta
Part 2 Permintaan KeduaCalia menatap sang putra yang pulas dalam tidurnya di ranjang pasien. Dengan berbagai macam alat yang tersambung ke tubuh kecil dan rapuh tersebut. Ujung matanya memanas, tak tahan hanya mampu menyaksikan penderitaan sang putra. Tanpa mampu mengurangi sedikit pun rasa sakit tersebut.Hatinya benar-benar terasa diperas, menyaksikan tubuh sekecil dan serapuh ini harus menanggung penderitaan yang begitu besar. Yang bahkan orang dewasa saja kesulitan untuk menanggungnya. Air matanya kembali menetes, yang kemudian ia seka dengan punggung tangannya. Ia tidak boleh menangis di hadapan sang putra. Ia harus terlihat kuat. Lebih kuat dari siapa pun.“Calia?” Panggilan lembut dari arah belakang menghentikan lamunannya. Merasakan pundaknya yang diremas pelan sebelum ia menoleh. “Aku sudah membawakanmu makanan. Makanlah. Aku yang akan berjaga di sini.”Calia mengangguk, bangkit dari kursinya dan berjalan ke kursi, melihat kotak makanan yang dibawa sang kakak. Setelah mengi
Part 3 Ketiga KembarLucius menutup berkas di hadapannya dengan kasar. Berkali-kali membacanya, tak ada satu pun yang berhasil masuk ke kepalanya. Otaknya benar-benar terasa buntu dan belum pernah ia menjadi tidak professional seperti ini.Tangannya menggusur rambut di kepalanya dengan penuh kegusaran dan mengusap wajahnya dalam helaan yang keras. Sejak kembali dari hotel, pikirannya benar-benar kacau dan tak bisa berkonsentrasi dengan benar. Perasaannya amburadul dan uring-uringan. Tak ada satu pun berkas yang bisa diselesaikannya sejak tadi pagi.Inilah dampak yang selalu diterimanya dengan kedatangan Calia di hidupnya. Tapi ia selalu tak punya alasan untuk menolak wanita itu. Dorongan tubuhnya untuk menghancurkan hidup Calia sama besarnya dengan keinginannya untuk memiliki wanita itu.Mengerang keras, ia melompat berdiri. Dan tepat ketika pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” jawabnya dengan kasar meski sungguh ia tak butuh gangguan sialan ini.Pintu ruangannya terbuka dan sang adik,
Part 4 Jatah Ketiga Kembar"Apa yang kau lakukan di sini, Lucius?" desis Caleb begitu berhenti di samping Lucius yang masih mengamati kedua keponakannya dengan seksama.Lucius memutar kepalanya, pandangannya turun pada dua kepalan tangan Caleb yang siap melayang ke arahnya. Jelas pria itu bisa mengendalikan amarahnya meski cukup sulit. Yang Lucius duga karena si kembar dalam pelukan Calia.'Merindukan putraku?" Salah satu alis Lucius terangkat dengan cemooh yang begitu jelas. "Ah, anak-anakku."Wajah Caleb lebih merah padam lagi. "Jangan konyol kau. Kau sudah membuang mereka. Dengan cara yang buruk. Ingat?" desisnya lirih agar tak sampai terdengar oleh kedua keponakannya."Mama?" Salah satu dari si kembar yang perempuan menarik-narik tangan Calia. "Siapa om ini?" tanyanya dengan polos.Calia menggigit bibir bagian dalamnya. Menatap sang kakak untuk meminta bantuan."Om?" Lucius jelas tak akan melewatkan kesempatan tersebut untuk memperkenalkan diri. "Kalian bisa memanggilku papa."Ked
Part 5 Masih Istri Sah“Mama.” Suara ceria Zsazsa menyambut kedatangan Calia. Dengan kedua lengannya putrinya tersebut memeluk pinggangnya. Lalu wajah mungil terdongak dan dengan tatapannya yang polos, anak itu bertanya, “Kapan papa datang lagi?”Pertanyaan tersebut membuat hati Calia mencelos. Menatap wajah polos sang putrid an merangkumnya. Ada harapan yang rasanya sulit untuk dihancurkannya dalam tatapan polos tersebut, tapi … bagaimana mungkin ia mengharapkan kedatangan Lucius. Tanpa sepatah kata pun yang mampu keluar dari bibirnya, Calia membawa Zsazsa ke dalam pelukannya. “Zsazsa ingin bertemu papa?” bisiknya dengan gumpalan keras yang mengganjal di tenggorokan.Zsazsa mengangguk dengan penuh keantusiasan yang polos. “Akhirnya Zsazsa punya papa seperti teman-teman. Bolehkah Zsazsa memamerkannya pada teman-teman sekolah Zsazsa? Sekaranh Zsazsa tak hanya punya om, tapi juga papa. Rara tidak punya om.”Senyum getir melengkung di kedua ujung bibir Calia. Untuk pertama kalinya kehila
Part 6 Kembali Vania tercengang dengan keras, menggelengkan kepalanya tak percaya. “T-tidak mungkin,” ucapnya dengan suara tercekik.Sementara kedua tatapan Lucius jelas tak main-main. Keseriusan menegaskan ekpresinya wajahnya yang tegang. Kemarahan dan kekecewaaan terhadap dirinya dan mamanya bercampur aduk jadi satu. Ya, ia tak pernah menceraikan Calia. Karena itu adalah hukuman untuk wanita itu. Setelah semuanya, ia tak mungkin membiarkan wanita itu bebas dan berbahagia dengan siapa pun di luar sana. Itulah alasannya tak pernah menceraikan wanita itu. Agar wanita itu tak pernah menjadi miliki pria lain. Terutama adiknya sendiri.“Mama tahu aku tak pernah bercanda,” ucap Lucius dengan bibir yang menipis tajam. “Terutama untuk hal seserius ini.”Vania tak perlu mempertanyakan keseriusan sang putra sulung. Ketegasan di mata Lucius adalah kebenaran yang tak bisa disangkal.“Aku akan membawanya kembali ke rumah ini. Ke tempat seharusnya dia berada.”Dengan mulut yang membulat penuh ket
Part 7 Sang MertuaCalia menggeleng pelan. “Aku tak tahu, Caleb. Setidaknya aku sudah mengusahakan yang terbaik untuk Zayn. Aku tak akan menyesali semuanya.”Caleb tak mengatakan apa pun lagi. Setidaknya jika hasil tes Lucius tidak cocok, masih ada keluarga utama Lucius yang berkemungkinan cocok. Ia begitu membenci Lucius dan keluarga pria itu, tapi ia tak bisa menyangkal darah yang mengalir di nadi ketiga keponakannya adalah darah yang sama dengan mereka semua.Lama keduanya tenggelam dalam keheningan.“Apakah semua ini akan sepadan?” tanya Caleb memecah keheningan tersebut.“Hubungan darah memang tidak bisa berbohong, Caleb. Zsazsa dan Zaiden menyukainya.”Caleb mendengus. Tak akan menyangkal bagaimana keantusiasan kedua keponakannya dengan kemunculan Lucius. “Dasar pengkhianat kecil.”Calia tertawa kecil. Sedikit mencairkan suasana di antara mereka.*** Calia beranjak keluar dari ruang perawatan Zayn, hendak menghubungi Caleb untuk membawakannya beberapa barangnya nanti sore. Ia m
Part 8 Baru DimulaiCalia tak mengatakan apa pun untuk menyangkal tuduhan tersebut. Ia membuang wajahnya ketika tatapannya sempat bertemu dengan Lucius."Kita bicara di luar, Ma." Lucius memegang lengan sang mama, berbicara dengan nada setenang mungkin."Apa?" Mata Vania mendelik tak percaya. "Kau tak mendengar dengan baik apa yang mama katakan, Lucius." Tangannya menunjukan ke arah Vania. "Dia berusaha mendorong mama ...."Lucius mendesah kasar. "Aku melihat semuanya, Ma. Dan aku bukan anak kecil untuk menelaah apa yang terjadi tepat di depan mataku."Mulut Vania menganga, kehilangan kata-kata tertangkap basah telah berbohong. Tak mau dipermalukan di hadapan Calia, ia bersikeras membela diri. Menunjukkan pergelangan tangannya. "Dia mencengkeram tangan ...""Kita pergi."Vanie menggeleng, kali ini tak ada lagi sandiwara yang mendramatisir, tetapi emosi yang sesungguhnya terhadap Calia. Kebencian dan kemarahan. "Aku tak akan menerinya kembali ke rumah kita. Tak akan pernah, Lucius."Ra