Share

4. Akting

"Me-nikah?" Kae membulatkan matanya yang sayu.

Erick memulai aktingnya, memasang wajah sedih dan mulai membuat kedua netranya berkaca-kaca. "Maafkan aku, Kae. Aku yang membuatmu begini. Saat kau ngambek, kau berlari keluar dari mobil dan tidak melihat ada mobil yang sedang melaju kencang. Kau tertabrak mobil itu. Dibanding mengejar mobil itu, aku lebih memilih membawamu ke rumah sakit, Kae. Maafkan aku." Pria bule itu menundukkan kepala agar terlihat penuh penyesalan.

Wanita itu melongo mendengar pengakuan Erick. Semua makin terlihat membingungkan. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini semua.

Pria itu sendiri, sedang memikirkan strategi berikutnya. Ia melakukan dengan mulus di hadapan dokter dan suster yang kebetulan ada di sana. Keduanya terharu melihat kesungguhan dan tanggung jawab yang coba Erick emban.

Sang pria mengeratkan genggaman, dan kembali menatap ke arah kedua netra Kae dengan sendu. "Kau bilang kau tak mau pacaran, kau ingin menikah saja, tapi waktu itu aku tak menjawabnya. Kini aku akan mengabulkan permintaanmu. Bagaimana kalau kita menikah saja sekarang, bukankah itu yang kau mau?"

"Ta-tapi ...." Kae masih melongo. Ia mencoba menggali ingatan tapi tak satu pun yang bisa ia temukan. Ia tak ingat apa pun.

"Ini agar aku bisa merawatmu. Orang tuamu 'kan sudah tiada. Aku tak leluasa menolongmu karena kita bukan mahram-nya."

Wanita itu semakin bingung. Kenapa ia tak ingat apa pun? Bagaimana ini?

Erick menyelidik di kedua netra cantik milik Kae. Wanita ini dalam kebimbangan yang dalam, karena itu pria ini meneruskan dramanya kembali. "Aku tahu kau masih bimbang. Jadi, bagaimana kalau begini saja. Aku takkan melakukan apa pun padamu kecuali kau menginginkannya. Kita menikah dan aku merawatmu, itu saja. Bagaimana?"

Netra Kae mulai melembut, walau masih terlihat bimbang. Namun begitu ia tak punya pilihan, hingga terpaksa mengangguk pelan. Erick lega. Dilihatnya suster dan dokter yang mendengarkan, ikut terharu.

"Eh, dok, apa aku bisa mendapatkan penghulu hari ini juga?" tanya Erick pada dokter yang masih berdiri di tempat.

"Eh, malam ini?"

"Iya, dok. Tolong." Pria bule itu juga menoleh pada suster yang berdiri di kaki ranjang. "Sus, kenapa calon istri Saya jilbabnya dilepas?"

"Eh, karena kepalanya ada luka. Sebaiknya pakai jilbab instan saja."

"Sekalian carikan cadar." Erick mulai memerintah.

"Cadar?" Netra suster itu membola.

"Dia tadinya pakai cadar, tapi jatuh di jalan."

"Oh, iya. Baiklah."

"Oh, iya. Satu lagi. Pindahkan dia ke kamar VIP."

Suster dan dokter itu pun pamit. Erick menatap Kae dengan senyum terukir di wajah. Babak baru kehidupannya akan di mulai.

****

Erick berdiri menghadap jendela besar di hadapan. Ia memasukkan kedua tangan di kantong celana jeans-nya. Pria ini tidak sedang mengagumi pemandangan di luar, tapi sedang memintal benang kusut di kepala yang tak kunjung selesai. Dalam sehari, nasibnya berubah drastis. Dari lajang menjadi pria yang telah menikah. Menikah pun secara mendadak dengan wanita yang membencinya, betapa takdir sedang menertawakannya saat ini.

"Bang ...."

Suara lembut Kae membangunkannya dari lamunan. Ada perasaan ingin tertawa saat itu tapi ditahannya. Walau terdengar aneh, wanita galak ini tengah bicara lembut padanya, hingga ia harus terus bersandiwara.

Erick menutup jendela dengan menarik gorden tebal itu ke samping. "Kau butuh apa? Kenapa kau belum tidur?" Ia jadi ikut-ikutan bicara lembut.

"Abang kenapa belum tidur?" Kae balik bertanya. Ia menarik selimutnya sedikit lebih tinggi.

Pria bertubuh jangkung itu datang mendekat. Ia duduk di tepi ranjang sambil memandangi sang wanita. Ada rasa bersalah terselip di lubuk hatinya. Ia hampir saja membu.nuh Kae, tapi takdir Tuhan telah menyelamatkannya. Ia bersyukur wanita ini masih hidup. Kalau tidak, namanya akan viral sebagai seorang pembu.nuh, dan bukan tidak mungkin dirinya akan masuk penjara.

Erick memperhatikan kepala Kae yang sebagian diperban. Sebagian lagi terbuka dengan rambut sang istri tergerai panjang melewati bahu dan sedikit bergelombang. Ia tentu saja prihatin. "Kepalamu masih sakit?"

"Sedikit."

"Kenapa belum tidur?"

Kae menggeleng. "Gak tau. Abang sendiri, kenapa belum tidur?"

Pria itu hanya tersenyum kecil. Ia merapikan selimut istrinya yang membuat wanita itu sedikit malu. Wajahnya tersipu-sipu. Bagaimana tidak? Ia terbangun dengan ingatan yang hilang dan tiba-tiba seorang pria bule datang mengaku sebagai pacarnya.

Pria tampan ini tanpa basa basi langsung melamarnya di depan seorang dokter dan suster, tanpa memikirkan dirinya yang tak tahu sedang menyasar di dunia mana. Menimbang niat baiknya, akhirnya ia mengiyakan karena memang ia tak punya seseorang pun tempatnya bersandar. Sepertinya, pria ini bisa diandalkan.

"Bagaimana kalau kita tidur bersama?"

"Hah?"

Tanpa menunggu jawaban, pria itu masuk ke dalam selimut. Kae membelalakkan matanya karena panik. Ranjang itu juga ukuran single dan bila harus berbagi, berarti mereka harus bersempit-sempitan di atas ranjang. Erick mengangkat punggung istrinya agar bisa menyelipkan tangannya di sana. Kae terkejut saat sang suami mendekap tubuhnya.

Erick merapatkan tubuh dan menarik selimut ke atas. Ranjang itu memang cukup sempit karena sang istri sedikit gemuk. Karena itu ia berpelukan agar tidak jatuh ke belakang. "Ayo, sekarang kita tidur."

Terlihat wajah Kae yang kaku menatap ke arah pria itu. Kenapa jadi begini? Bukankah katanya ia akan menunggu persetujuannya untuk melakukan apa pun pada dirinya, tapi kenapa ia lancang?

Erick menangkap gelagat kebingungan dari wajah Kae. "Oh, Kae. Kita hanya saling membantu untuk bisa tidur. Ngak papa, 'kan?"

"Eh ... gak papa," sahut sang wanita dengan wajah tegang. Padahal jantungnya tengah berdetak kencang. Bisa-bisanya sang suami membuat jantungnya berdebar seperti ini.

Pria itu bisa melihat ketegangan pada wajah wanita yang tidak pernah disentuh pria seakrab ini, sedang di dunia Erick, berdekatan dengan lawan jenis sudah tak aneh lagi. Apalagi cuma sekedar berpelukan. "Jangan berpikir yang aneh-aneh."

Kae menatap aneh pada sang suami. Aneh apanya? Mereka, 'kan suami istri? Kini wanita itu mengerut dahi menatap suaminya.

"Eh, maksudku. Aku bilang tidur, ya tidur. Aku tidak berniat melakukan hal yang tidak kamu inginkan, sekarang. Aku hanya ingin menghiburmu saja, agar kamu cepat tidur."

Kae terlihat lega. "Oh ... eh, kalau kamu tidak masalah, karena ranjang ini terlalu kecil untuk kita berdua."

"Tidak apa-apa. 'Kan aku bilang, aku akan menjagamu. Anggap saja aku kakakmu."

Kae meletakkan kepalanya di lengan Erick pelan dan menatap pria itu lekat. Lama-lama kedua netranya terlihat sendu. "Aku tidak mengingatmu. Maaf."

"Tidak apa-apa." Wajah mereka yang begitu dekat membuat Erick langsung bisa melihat istrinya menitikkan air mata.

"Aku juga tidak ingat siapa-siapa," katanya mulai menangis.

"Sst, jangan menangis. Aku ada di sini. Aku akan melindungimu, Kae. Tenang saja," bisik Erick tepat di telinga sang istri. Ia mengangkat kepala dan mengecup kening Kae. Pria itu menarik tubuh istrinya dalam pelukan untuk meredakan tangisnya. Tentu saja, ia ikut merasa bersalah.

Wanita itu kemudian mulai terlihat tenang. Karena Kae susah bergerak, pria itu hanya memeluknya dari samping. Erick menunggunya dengan sabar sampai istrinya tertidur dalam pelukan. Ia bertekad akan menjaga wanita itu sampai Kae sembuh. Menurut dokter, kaki istrinya masih punya kemungkinan untuk sembuh, karena itu ia bersemangat untuk membawa Kae pulang.

****

"Bang." Kae menepuk pelan bahu Erick. "Bang ...," ucapnya sekali lagi.

"Mmh." Kelopak mata pria itu bergerak pelan dan membuka, mencari tahu siapa yang telah membangunkannya. Sebentar kemudian ia tersadar. "Eh, Kae. Ada apa?"

"Sholat, Bang. Udah masuk waktu Subuh."

"Mmh?" Erick berusaha membuka matanya yang masih lengket. "Sebentar lagi ya, masih ngantuk ini." Pria itu kembali memejamkan mata dan makin mengeratkan pelukan.

Tiba-tiba .... "Ah!" Erick kembali membuka matanya. Wanita itu baru saja mencubit lengannya. "Kae ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status