Share

Surat Perjanjian Pernikahan

“Kenapa? Kamu tidak setuju?”

Ranum tak segera menjawab. Dia sibuk menetralkan perasaan berkecamuk dalam dada, yang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Entah takdir apa yang digariskan Tuhan, sehingga harus berada dalam situasi pelik seperti saat ini. “Bagaimana bila saya tak kunjung hamil?” tanyanya, setelah terdiam beberapa saat.

“Kamu punya waktu selama satu tahun. Jika dalam rentang waktu tersebut tak ada tanda-tanda kehamilan, aku akan melepaskanmu,” jawab Windraya penuh wibawa.

Ranum kembali terdiam. Sesekali, wanita muda berambut panjang itu menunduk. Memainkan ujung kebaya yang belum sempat diganti. “Lalu, bagaimana dengan uang seratus juta yang Bu Nindira berikan? Apakah saya harus mengembalikannya?”

“Kau bisa mengemblikan setengahnya,” sahut Windraya, dengan nada bicara tidak berubah.

Ranum mengembuskan napas pelan sambil terus menunduk, saat mendengar langkah kaki mendekat. Gemuruh dalam dada kian hebat, menyadari Windraya berdiri di hadapannya.

Ini adalah kali pertama bagi Ranum, berduaan dengan seorang pria dalam satu kamar. Pikiran sulung dari dua bersaudara tersebut mulai tak menentu. Kali ini, Ranum bukan hanya memikirkan masalah uang, pernikahan kontrak serta kehamilan, tetapi juga sibuk menebak-nebak apa yang akan Windraya lakukan.

“Ranum Atmariani,” sebut Windraya pelan dan dalam. Suaranya begitu menggetarkan kalbu. Membuat angan wanita manapun yang mendengarnya, pasti akan langsung melayang tak tentu arah.

Windraya memegang dagu Ranum, lalu mengangkatnya perlahan. Dia menatap lekat paras cantik wanita muda yang baru dinikahinya beberapa saat lalu. Harus diakui bahwa Ranum memiliki kecantikan berbeda dibandingkan dengan Mayla. “Pergilah ke kamar mandi, lalu ganti pakaianmu,” suruh Windraya, setelah puas menikmati paras menawan wanita muda itu.

Ranum mengangguk pelan. Walaupun belum berhasil menetralkan rasa gugup dalam dada, tapi tetap berusaha membuat dirinya nyaman. Wanita dengan kebaya putih itu berdiri, lalu melangkah ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi mewah dan sangat bersih itu, Ranum mendapati sebuah lingerie berwarna merah. “Ya, Tuhan. Baju apa ini?” gumamnya, seraya mengamati setiap detail dari pakaian tidur berbahan satin halus tersebut. Sebelum melepas kebaya yang masih melekat di tubuh, Ranum lebih dulu meraba-raba permukaan lingerie tadi. Ragu, dirinya mengambil baju tidur yang digantung rapi di kastop stainles.

Beberapa saat kemudian, Ranum sudah selesai berganti pakaian. Dia mengepang rambut panjangnya yang hitam berkilau, meskipun tak pernah tersentuh perawatan salon mahal. Wanita muda dengan tinggi 165 cm tersebut, memandangi diri lewat pantulan cermin wastafel.

Seumur hidup, baru kali ini Ranum mengenakan pakaian terbuka. Dia meraba tali kecil di pundak, lalu pinggiran dari bahan lace halus, yang memperlihatkan sebagian dadanya. “Maafkan aku, ibu,” ucap Ranum pelan, sebelum berbalik ke pintu. Dia melangkah keluar dari kamar mandi. Wanita muda itu langsung tertegun, saat mendapati Windraya sudah duduk penuh wibawa di tempat tidur.

Ranum segera menundukkan wajah. Dia tak berani menatap pria itu terlalu lama. Pasalnya, Windraya hanya mengenakan celana panjang. Pengusaha tampan tersebut memamerkan tubuh atletis, yang selama ini selalu tertutup kemeja formal atau T-Shirt lengan panjang.

“Kenapa hanya berdiri di situ?” Suara berat Windraya seakan jadi magnet kuat, yang menarik Ranum agar mendekat. Wanita muda itu melangkah perlahan, meski tetap menundukkan wajah.

“Kemarilah.”

Ranum mengangguk pelan. Dia memberanikan diri naik ke tempat tidur, lalu duduk bersimpuh di dekat Windraya. Pria yang tadi siang masih jadi majikannya.

“Jujur saja. Sebenarnya, aku tidak menyukai ini,” ucap Windraya, diiringi embusan napas berat.

“Kenapa Bapak harus menikahi wanita lain demi mendapatkan keturunan?” Ranum memberanikan diri bertanya. “Bukankah ada Bu Mayla?”

“Tidak bisa,” jawab Windraya singkat. Pria itu terdiam sejenak. “Di awal pernikahan, kami sudah memeriksakan diri ke dokter. Hasil diagnosa menyatakan bahwa Mayla mengalami penyumbatan tuba falopi, yang membuatnya sulit hamil.”

“Apakah tidak bisa dengan program bayi tabung?” tanya Ranum lagi, polos.

Windraya menggeleng. “Tidak akan berhasil,” jawabnya datar.

“Kasihan sekali,” ucap Ranum pelan.

“Sebenarnya, itu bukan masalah bagiku dan Mayla. Namun, tidak dengan mama. Dia menginginkan cucu laki-laki sebagai penerus keturunan Keluarga Sasmitha,” ucap Windraya lagi, lalu terdiam sesaat. “Jangan lupa dengan perjanjian yang sudah dibuat. Kamu harus menandatanganinya terlebih dulu, sebelum kusahkan lewat pengacara.”

Mendengar kata ’pengacara’, membuat Ranum seketika jadi gugup. “Apakah saya akan dipenjara, jika menyalahi perjanjian?” tanyanya, seraya mengangkat wajah.

“Bisa saja,” jawab Windraya enteng. “Oleh karena itu, kusarankan agar mengikuti aturan yang sudah ditentukan.”

“Bagaimana jika saya menolak menandatangani surat perjanjian itu?”

“Kami akan meminta kembali uang seratus juta yang sudah diberikan padamu. Sekarang juga.”

Ranum terdiam dengan mata terbelalak tak percaya. Situasi yang tengah dihadapinya terdengar begitu memusingkan, padahal belum dijalani. Wanita muda itu tak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mengembuskan napas pelan bernada keluhan.

“Ambil surat perjanjian tadi,” suruh Windraya, tanpa mengubah sikap duduk.

Lagi-lagi, Ranum hanya dapat menuruti perintah majikan yang kini sudah jadi suaminya. Wanita muda itu turun dari tempat tidur. Dia mengambil map berisi surat perjanjian pernikahan, lalu kembali ke dekat Windraya. Ranum duduk bersimpuh seperti tadi, kemudian menyodorkan map tersebut diiringi ekspresi wajah teramat tegang.

“Baca sekali lagi isi surat perjanjian itu. Aku tidak mau kamu merasa tertipu atau dirugikan. Pahami setiap detailnya dengan baik. Setelah itu, tanda-tangani.” Kata-kata Windraya terdengar begitu lugas, layaknya tengah berbicara pada relasi bisnis.

Tak ada yang Ranum lakukan selain menurut. Dia membaca ulang isi surat perjanjian itu. Namun, sudah ditelaah berkali-kali pun hasilnya tetap sama. Ranum tak memiliki pilihan lain. Dia harus menuruti peraturan yang dibuat Windraya dan Nindira.

“Bagaimana?” Suara berat Windraya menyadarkan Ranum, dari renungan pendeknya.

“Iya, Pak. Bagaimanapun juga, saya tidak punya pilihan lain. Sekarang, saya sudah menjadi istri siri Anda. Andaikata menolak, saya tidak sanggup harus mengembalikan uang seratus juta saat ini juga. Uang itu sudah diberikan pada ibu saya dan dibayarkan ke pihak rumah sakit.” Ranum menyentuh sudut mata, sambil terus menunduk.

Melihat sikap wanita muda di hadapannya, tak membuat Windraya tersentuh. Pengusaha tampan tiga puluh delapan tahun itu menyunggingkan senyum tipis. “Inilah hidup, Ranum. Tak jarang membuat kita tertekan dan tidak memberikan kesempatan untuk memilih.”

Ranum mengangguk pelan, seraya menerima bolpoin dari Windraya. Dia membubuhkan tanda tangan di sana.

“Kamu sudah menandatangani surat perjanjian. Itu artinya, kesepakatan telah tercapai.” Windraya mengambil map dari tangan Ranum, kemudian meletakkannya di meja dekat tempat tidur.

“Ranum ….” Windraya menyebut nama, lalu mengangkat dagu istri sirinya perlahan.

Tanpa aba-aba, dia meraup bibir wanita muda itu dan melumatnya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Najwa Aini
langsung cus aja si pak Win ini
goodnovel comment avatar
AkiraYuki
Ahhh, Pak Win
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status